Ares menapakkan kaki di sebuah bandara di kota yang ribuan mil jauhnya dari Brasov. Sebuah kota dari negara yang berada di lintasan garis khatulistiwa, Jakarta, Indonesia. Kota di mana ibunya dibesarkan dan untuk pertama kalinya ia bertemu ayah kandung Ares.
Ares disambut oleh seorang pria lokal, Dimas Hartono, putra orang kepercayaan Vladimir. Putra mantan perwira Angkatan Darat yang seusia dengan Ares itu menyapa dengan hangat.
“Welcome to Jakarta, Mr. Lioncourt.” Dimas mengulurkan tangannya.
“Hi. Terima kasih sudah menjemputku,” balas Ares dalam bahasa Inggris sambil menjabat tangan Dimas.
Ares memang mengerti Bahasa Indonesia karena selama ini ibunya selalu mengajarkan bahasa asal tanah leluhurnya, tapi ia masih kaku untuk mempraktikannya dalam berbicara. Ares tidak membawa banyak barang. Ia hanya membawa barang-barang pribadi dalam bagpack-nya. Ia seperti benar-benar berada dalam pelarian.
Dimas menghentikan laju Lambhorgini hitamnya di area parkir basemen sebuah gedung apartemen kembar yang terkenal dengan gedung apartemen termewah dan terbaik—milik perusahaan Vladimir—di pinggiran Jakarta.
“Tuan Lioncourt, apa tidak sebaiknya Anda tinggal di penthouse?” Dimas terkejut ketika Ares memintanya menyiapkan apartemen bertipe studio, padahal ia sudah menyiapkan penthouse untuk anak tuannya itu.
“Aku tidak mau. Carikan saja apartemen bertipe studio yang kosong dan aku akan tinggal di sana,” tolak Ares.
“Baiklah, Tuan.” Dimas mengangguk patuh.
“Satu lagi. Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja namaku. Aku yakin usia kita tidak terpaut jauh.”
“Baik, Tu ... eh, Ares,” ucap Dimas gugup.
Dimas mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menyiapkan apartemen yang dimaui Ares.
“Sementara menunggu, bagaimana kalau kita bersantai dulu di kafetaria?” saran Dimas.
Ares tidak punya pilihan selain menuruti saran Dimas. Ia baru pertama kali menginjakkan kaki di bumi Jakarta dan masih merasa asing dengan semuanya. Wajah tampan yang ditunjang oleh postur tinggi atletisnya langsung menghipnotis para pengunjung saat ia memasuki kafetaria yang terletak di lantai dasar gedung itu. Alih-alih melayani para pengunjung kafetaria, para pelayan di sana justru tak melepas pandangan mereka dari Ares. Kehadiran orang asing seperti Ares mampu menarik perhatian dalam waktu singkat.
“Dimas, apa ada yang aneh denganku? Kenapa mereka melihatku seperti itu?” tanya Ares sebelum ia duduk di kursi yang sudah disediakan Dimas.
Dimas tersenyum melihat kecemasan Ares. “Tidak ada yang salah denganmu, Ares. Mungkin karena kau terlalu tampan, jadi membuat mereka terpesona.”
Ares mengangkat kedua alisnya memberi pandangan skeptis pada Dimas. Bagaimana mungkin ia yang hanya mengenakan kaus biasa berlapis jaket denim biru dan celana ripped jeans dianggap memesona? Pikirnya.
“Kau sekarang berada di belahan bumi yang berbeda, Ares. Kau berdiri di tanah Asia Tenggara, bro,” tutur Dimas menjawab keraguan Ares.
“Oh, begitu.”
Hampir satu jam mereka berada di kafetaria itu sampai anak buah Dimas menghubunginya memberi tahu bahwa apartemen untuk Ares sudah siap ditinggali. Dimas membawa Ares ke lantai delapan gedung apartemen tersebut. Apartemen yang dipilih terletak di ujung koridor dengan jendela dan balkon menghadap ke jalanan.
“Apakah apartemen ini tidak terlalu sempit untukmu?” Dimas mengkhawatirkan pendapat Ares.
Pandangan Ares menjelajah seisi ruang apartemen. “Tidak. Terima kasih.”
“Bagaimana aku akan menjelaskan pada Tuan Lioncourt bahwa kau tidak mau tinggal di penthouse?”
“Jangan berkata apa pun padanya. Dia pasti tahu tanpa kau beri tahu.”
“Baiklah kalau begitu. Kau bisa beristirahat. Semua keperluanmu sudah ada di sini. Jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa menghubungiku.”
“Oke. Aku sudah menyimpan nomermu. Ayahku yang memberitahu.”
Ares melangkah masuk lebih dalam ke apartemennya setelah Dimas pergi. Ia menjatuhkan dirinya ke sofa kulit cokelat di bawah jendela. Punggung dan kepalanya tergolek di sandaran sofa. Pandangannya menyusuri kembali ruang demi ruang yang hanya dipartisi oleh lemari berwarna abu-abu yang senada dengan dinding. Ruangan sempit itu menghimpit dinding hatinya dan mengingatkan ia akan Crystal. Enam tahun jatuh cinta dalam diam kepada gadis itu harus berakhir dengan kematiannya.
Ares memijat dahinya. Hatinya tertusuk duri-duri penyesalan. Lara yang mengendap di hatinya meremas tubuhnya, menyebarkan sakit luar biasa. Tiba-tiba bisikan dari suara yang tidak asing tertangkap oleh telinga pria itu.
“Ares.” Bisikan lembut yang memanggil namanya kian mendekat.
Perlahan tapi pasti, Ares merasakan sentuhan selembut sutra menyapa kulit wajahnya, menekan bibirnya, dan mendekapnya. Untuk sesaat Ares terbuai dalam kehangatan sentuhan itu.
Ares membuka mata perlahan. Crystal tersenyum. Gadis itu berada di pangkuan Ares dengan hanya menggunakan lingerie merah transparan yang cukup menggoda.
“Crys—“
“Ssst!” Crystal mendesis sambil meletakkan telunjuknya di bibir Ares.
Crystal mengecup bibir Ares, melumatnya, dan memberi gigitan kecil. Ia tak memberi kesempatan Ares untuk berpikir. Dengan tangan gemetar Ares melingkarkan tangannya ke pinggang Crystal. Sementara itu, Crystal meraih tengkuk Ares lalu menahan kedua tangannya di sana. Tatapan gadis itu menawarkan undangan sensual yang berliku-liku. Bibir Ares yang lapar merenggut bibir Crystal. Ciumannya liar dan menuntut. Kemudian, dengan cekatan Ares menurunkan tali lingerie dari pundak Crystal hingga tubuh gadis itu terekspos dan menimbulkan sensasi panas. Panas yang meningkat seribu kali lipat ketika Crystal dengan tangan terlatihnya membuka kancing celana jin Ares lalu menyelusupkan tangannya di sana.
“Crystal!” Ares terperanjat. Ia membuka matanya lebar-lebar. Jantungnya berdegup kencang hingga hampir memecahkan gendang telinganya sendiri. Ares berdiri lalu membuka pintu menuju balkon. Dinginnya angin malam menerpa wajah dan tubuhnya. Sesekali ia mengembus napas panjang untuk menghilangkan efek mimpi atau lamunannya. Ares sendiri merasakan hal yang baru saja terjadi seperti bukan sebuah mimpi. Sentuhan itu nyata, tapi tak berwujud.
Pandangan Ares tertuju ke bawah ke jalanan. Gemerlap lampu-lampu dari deretan kafe dan restoran yang berada di seberang jalan memperjelas penglihatan tajamnya. Ares bahkan bisa menangkap suara percakapan di luar sana saat ia menajamkan pendengarannya.
“Hahaha....”
“Crystal?” Ares mendengar tawa riang Crystal. Ia berbalik dan celingukan mencari sosok Crystal dengan mengarahkan pandangannya ke dalam apartemen.
“Hahaha.... Tidak di sini.”
Degup jantung Ares semakin kencang. Itu jelas suara Crystal, tapi kenapa ia berbicara dengan bahasa yang aneh? Pikir Ares. Ares tersadar akan keberadaannya saat ini. Pria itu mengeraskan rahang tegasnya dan mengepalkan tangannya erat.
Sekarang aku berada di Indonesia dan kata-kata tadi berarti dia tidak di sini, batinnya.
Frustrasi, Ares kembali berbalik dan mengarahkan lagi pandangannya ke jalanan. Tatapannya terarah pada tiga orang perempuan yang baru saja keluar dari sebuah restoran siap saji. Mereka berjalan bersenggolan sambil bercanda. Mereka tertawa. Sialnya, suara tawa salah satu perempuan itu mirip suara Crystal. Ares menajamkan tatapannya pada ketiga perempuan itu. Tangan Ares gemetar mencengkeram erat besi pagar pembatas balkon sambil berucap, “Crystal.”
Tanpa berpikir panjang dan cemas orang-orang mengetahui jati dirinya, ia melompat dari balkon. Beruntung ia mendarat di pelataran yang hanya mendapat sedikit pencahayaan dan sepi. Namun sayang, ketiga perempuan itu sudah menghilang saat Ares akan mengejarnya. Bau tubuh mereka pun sudah tak tercium. Baru beberapa minggu kehilangan Crystal sudah membuatnya hampir gila.
=====
Alice Gio