1. Crystal's Death

1152 Words
Summerdale, California “Aaah!” erangan Crystal di bibir Ares memicu hasrat pria 23 tahun itu untuk terus mencicipi rasa manis bibirnya. Getaran semangat menjalar ke seluruh tubuh Crystal saat tangan besar dan kuat Ares menyelusup ke pinggang ramping gadis itu, menariknya mendekat, dan bibirnya bereaksi dengan liar di bibir Crystal. Ares menguasainya, mendesakkan lidah ke mulutnya dengan keahlian tinggi. Pria itu membuat kepala Crystal berputar-putar seperti habis menenggak sebotol wiski. Benar-benar memabukkan. Seharusnya malam itu ia dan Ares hanya bersenang-senang menikmati musik dan berdansa di pesta ulang tahun Athena, adiknya Ares. Memadu asmara dengan Ares tidak termasuk dalam rencananya. Crystal mengutuki diri sendiri karena sebagian tubuhnya tidak mau bekerja sama. Ia semakin menegang saat tubuhnya kian merapat dengan tubuh Ares, merekat erat dalam dekapan pria yang menjadi cinta dalam diamnya selama hampir tiga tahun. “A-res.” Crystal mengucapkan nama Ares dengan sedikit terengah. “Sstt!” desis Ares memperingatkan. Tangannya menyelinap ke dalam kaus Crystal, merasakan, menyusuri, dan menikmati kulit lembut punggung sahabat adiknya itu. Jemari Ares terus bergerak naik hingga ia menemukan bra Crystal. Dengan cekatan, ia membuka pengait bra dan kembali menginvasi bibir Crystal dengan sentuhannya hingga menciptakan desahan-desahan  yang tak terelakkan yang terlontar dari mulut gadis itu. Jangan lakukan itu, Crystal! Crystal memberi peringatan pada dirinya. Namun, rasa cinta yang butuh diungkapkan tidak dapat dibendung. Serangan bertubi-tubi Ares melemahkan sistem pertahanannya. Ia hanya pasrah pada keadaan.  Seperti bisa membaca pikiran Crystal, Ares perlahan menanggalkan semua pakaian yang membalut tubuh gadis itu dan tubuhnya sendiri, menanggalkan semua keraguan yang terpendam selama beberapa tahun, menanggalkan rasa angkuh yang merantai diri, dan menanggalkan pertengkaran-pertengkaran kecil selama mereka berteman. Ia membaringkan Crystal di atas tempat tidur berseprai sutera putih, menyurukkan wajah ke lehernya, dan menghirup aroma bunga mawar  yang menyeruak dari tubuh gadis itu. Semua rasa berpendar dan menguap menjadi satu  kegilaan yang menyenangkan. Kegilaan yang menghilangkan jarak antara manusia dan makhluk "dunia bawah". “I love you, Crystal,” bisik Ares dengan napas terengah-engah di telinga Crystal. “I love you too.” Crystal hampir tak bersuara mengucapkan tiga kata krusial itu karena tenaganya sudah hampir habis. *** Sinar matahari pagi yang hangat membelai kulit kecokelatan Ares. Perlahan, ia membuka matanya. Bibir yang tipis dan kemerahan mengembangkan senyuman. Semua beban di hatinya telah menguap. Tiga tahun lamanya memendam perasaan pada Crystal sungguh menyiksa. Akhirnya, semalam ia berhasil mengklaim Crystal sebagai miliknya. Tangan Ares bergerak mencari sosok Crystal yang terbaring di sampingnya. Jemari lentik tapi kuatnya menyusuri kulit lengan Crystal yang lembut hingga ke punggungnya yang basah.  Basah? Ares terkesiap. Ia membuka matanya lebih lebar lalu duduk. Secara otomatis, intuisinya mengatakan hal buruk telah terjadi. Menjawab kuriositasnya, Ares mengangkat tangan dan mensejajarkan dengan pandangan. Jantungnya hampir meledak saat ia melihat darah segar di telapak tangannya. Damn! What have I done? Ares mengumpati dirinya sendiri. Ia menoleh ke samping kiri pelan-pelan seperti gerak lambat dalam sebuah adegan film, berharap Crystal baik-baik saja, tetapi keadaan Crystal yang tertangkap pandangan membuatnya membeku selama beberapa saat.  Ini bukan mimpi. Ares mengerjap-ngerjapkan mata cokelat keemasannya. Seribu kali ia mengerjap pun, ia tahu Crystal tidak akan bangun.   “Crystal!” Ares mengguncang tubuh Crystal. “Crystal, wake up! Crystal!!!”  Crystal tetap tak bergerak di atas tempat tidur dengan seluruh tubuh berlumuran darah. Putus asa, Ares merengkuh tubuh Crystal ke dalam pelukannya. Air matanya lolos begitu saja. Boys don't cry, kutipan itu tidak berlaku saat ini. Kehilangan Crystal bagaikan kehilangan separuh jiwanya. Bahkan, lebih dari itu. Ares merasa kehilangan dirinya sendiri.  "Aaargh!" Teriakannya menggema memenuhi vila milik orangtuanya. Dalam hitungan detik, teriakan Ares berubah menjadi lolongan yang menyayat hati dan kemudian suaranya menggeram menjadi berat. Tanpa ia sadari, ia telah bertransformasi menjadi lycan. Desakan amarah yang menggucang jiwa bercampur aduk dengan penyesalan—menjadikan Ares lycan yang tak terkendali. Ia melompat, membanting, dan menghancurkan semua perabotan di dalam kamar mewah vila tersebut. Sang Alpha mengamuk. Tidak berapa lama, cahaya putih seperti lampu tembak yang disorot dari udara tiba-tiba muncul di sudut kamar. Kilatan yang ditimbulkan cahaya itu menyilaukan pandangan Ares. Ia menggeram sekali lagi. Tubuh lycan-nya yang hampir menyentuh langit-langit kamar menyerang dengan melompat dan mencakar cahaya tersebut dengan kuku-kuku tajamnya. Tentu saja, dalam sekejap ia berhasil menghancurkan sebagian langit-langit kamar tersebut. “Damn! Ares, ini aku!!!” Suara teriakan seorang gadis yang berjalan keluar dari cahaya putih  menghentikan kebrutalan Ares. Tatapan sebiru samuderanya menatap tajam Ares. Ia berucap dengan telepati pada Ares, "What you did?" Mata lycan Ares yang berkilat penuh amarah mulai meredup. Bulu-bulu yang menutupi tubuhnya perlahan menghilang. Ares menjatuhkan lututnya ke lantai dan kembali ke wujud manusia. Si gadis bermata biru dengan cekatan menarik selimut yang sedikit terkoyak dan terdapat noda darah dari atas ranjang. Ia berjalan ke hadapan Ares lalu mensejajarkan tubuhnya hingga mencapai face level yang setara. Gadis itu menutupi tubuh polos Ares dengan selimut lalu bertanya, “Kau membunuhnya?” “Aku tidak tahu, Athena. Aku tidak tahu. Aku terbangun dan mendapatinya sudah tak bernyawa.” Suara Ares terdengar serak dan sedikit bergetar. “Look at me!” Gadis bernama Athena itu memerintah. “Aku tidak bisa menembus telepatimu sejak semalam sampai tadi saat kau mengamuk. Aku tetap adikmu meskipun ayah kita berbeda. Aku tahu jika kakakku melakukan kesalahan dan berada dalam puncak emosi yang tinggi. I can feel it.” “Athena, mungkin aku memang membunuhnya secara tidak sadar,” sesal Ares. “Tanpa melihat aku bisa tahu keadaan Crystal. Tubuhnya tercabik-cabik kuku lycan. Namun, aku yakin jika itu bukan kukumu. Ada yang janggal tapi aku belum tahu apa," duga Athena. “Jangan menghiburku dengan kalimat yang menyatakan aku tidak bersalah, Athena. Kau bisa mencium hanya ada bau lycan-ku di sini. Tidak ada yang lain selain aku dan Crystal.” Ares mendesis pasrah. Itu benar. “Tapi intuisiku—“ “Sudahlah, Athena. Jangan memakai intuisimu. Sudah jelas aku yang membunuh Crystal,” potong Ares benar-benar putus asa, lalu menunduk dengan wajah muram dan hati yang hancur sehancur harapannya. Jantungnya berdenyut kencang hingga memekakan pendengaran Athena yang lebih sensitif dari  stetoskop. Athena berdiri. Ia bersedekap. Tatapannya tertuju pada tubuh Crystal yang terbujur kaku di atas ranjang. Seprai putih yang melapisi ranjang itu berubah menjadi merah. “Jika benar kau membunuhnya, kau menyatakan perang dengan manusia, Ares.” Ares menggertakkan gigi. Rahang tegasnya mengeras mengunci mulutnya untuk menyatakan pembelaannya. Athena memang benar. Sebagai seorang Alpha, ia tidak diperboleh membunuh manusia tanpa alasan yang kuat. Perjanjian itu sudah dibuat oleh ayah sambungnya, Vladimir de Lioncourt, si penguasa dunia bawah dengan pemimpin bangsa manusia yang tidak lain adalah kakek buyut Crystal berpuluh-puluh tahun silam. “Aku akan menghubungi Ayah dan Ibu.” Athena berjalan secepat gelombang suara ke luar dari kamar tersebut hingga Ares hampir tak menyadari kepergian adik satu-satunya itu. Ares mengedarkan pandangan menyusuri setiap jengkal kamar. Ia tak menemukan keganjilan yang menyebabkan Crystal tewas selain dirinya. Perasaan sedih merayap ke seluruh tubuhnya, melemahkan saraf-sarafnya, dan menciptakan sensasi sakit luar biasa di hatinya.  ===== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD