Bagian 5
Sesampainya di garasi, kulihat pintu belakang sedikit terbuka, aku pun langsung masuk tanpa mengucap salam terlebih dulu. Biasanya aku selalu mengucap salam saat hendak memasuki rumah ataupun saat mau membuka butik, tapi untuk kali ini aku hanya mengucapkan salam di dalam hati.
Saat melewati dapur, aku terkejut mendapati piring kotor menumpuk di wastafel. Sampah plastik mie instan berserakan di atas kompor. Meja makan berantakan. Gelas-gelas yang tadi pagi telah dicuci bersih dan ditata di tempatnya telah berpindah ke wastafel. Lantai juga kotor dan berminyak.
Astagfirullah … aku mengelus d**a sambil beristighfar berulang kali agar bisa menenangkan hati.
Siapa yang tidak marah jika mendapati rumah yang tadi ditinggal sudah bersih, saat pulang malah berantakan seperti kapal pecah. Tidak cukup sampai di situ, saat memasuki ruang tengah, sampah kacang kulit berserakan dimana-mana. Begitu juga dengan ruang tamu, di atas sofa dipenuhi dengan sampah kacang kulit.
Astagfirullah … lagi-lagi aku mengelus d**a sambil beristighfar. Baru sebentar wanita itu tinggal di rumah ini, keadaannya sudah seperti kapal pecah.
Apa saja sih yang mereka lakukan sampai rumah berantakan seperti ini?
Aku sudah capek, tambah capek lagi setelah menyaksikan kondisi rumah seperti ini.
Anehnya dari tadi aku tidak melihat batang hidung Mas Farid dan wanita itu. Pikiranku terlalu fokus dengan rumah yang berantakan sehingga aku melupakan rencanaku pulang lebih awal hari ini.
Pintu kamar Rini tertutup rapat, nampaknya Rini sedang berada di dalam.
Aku memasuki kamar kami, kulihat Mas Farid sedang tidur di atas ranjang dengan hanya memakai celana hawai saja. Kuperhatikan tubuhnya berkeringat, padahal ada AC di dalam kamar ini, aneh.
Kuletakkan tas di atas meja rias dengan sedikit keras agar Mas Farid terkejut. Benar sekali, Mas Farid akhirnya terbangun dan segera mengambil baju di lemari, kemudian memakainya.
"Sudah pulang, Dek? Tumben pulangnya cepat," tanya Mas Farid. Ia kini duduk di atas ranjang dan menatapku yang sedang melepas Khimar.
"Mas enggak senang kalau aku pulang?" tanyaku ketus.
"Bukan begitu, Dek. Biasanya kan kamu pulangnya habis magrib, tumben dua hari ini kamu pulang cepat." Mas Farid malah balik bertanya padaku. Kelihatan sekali bahwa ia tidak suka aku pulang cepat. Mungkin ia senang jika aku pulang malam, jadi bisa berduaan terus dengan wanita itu.
"Tadi siang kenapa enggak ngasih kabar, Mas? Ngapain Mas pulang segala ke rumah? Mas kan tahu kalau aku di butik, kenapa Mas malah pulang ke rumah?" Kucecar Mas Farid dengan berbagai pertanyaan.
"E-nggak, bu-bukan begitu, Dek. Mas pikir karena kita baru kedatangan tamu, mungkin kamu nggak kerja, karena enggak enak ninggalin tamu sendirian di rumah," jawab Mas Farid terbata. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Yakin?"
"Apaan sih, Dek. Kamu kok' curigaan gitu sih?" Mas Farid malah tersinggung dengan ucapanku.
"Jika memang enggak ada apa-apa, enggak usah sewot gitu, dong, Mas."
"Aku juga mau tanya, Mas, kenapa rumah kita jadi berantakan? Sudah seperti kapal pecah saja! Sampah berserakan di mana-mana, dari ruang tamu sampai dapur. Kalian di rumah ngapain aja, Mas?" Kutatap Mas Farid dengan tatapan tajam, menanti jawaban darinya.
"Oh, itu. Biar nanti Mas beresin. Enggak usah diperpanjang. Mas capek," ucapnya, kemudian melangkahkan kakinya hendak keluar kamar, tapi aku menahannya.
"Mas, tadi kamu pulang jam berapa? Kok ada yang bilang kalau hari ini Mas nggak ngantor?" tanyaku penuh selidik. Mas Farid terlihat salah tingkah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku hapal betul bagaimana kelakuan Mas Farid. Jika ia sedang menyembunyikan sesuatu pasti ia akan menggaruk-garuk kepalanya. Pasti ada yang tidak beres dengannya!
" Mas, jawab dong!"
"Jangan terlalu percaya sama ucapan orang, Dek. Percaya sama suamimu saja. Mas mau mandi dulu, ya!" Mas Farid mengambil handuk kemudian meninggalkanku yang masih menunggu penjelasan darinya.
Ya Allah, sulit sekali untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi antara suamiku dan wanita itu.
***
Tidak lama kemudian, Mas Farid kembali lagi. Wajahnya terlihat lebih segar. Ia membuka lemari dan mengambil bajunya di rak paling atas.
"Dek, bantuin Mas beresin rumah yuk," ajaknya dengan santai sambil menyisir rambutnya.
"Eggak mau! Suruh si Rini aja yang beresin. Kan kalian yang berantakin! Aku mau istirahat," jawabku ketus.
"Nggak enak nyuruh Rini, Dek. Jangan dulu ganggu dia. Kasihan, nanti dia stres loh, Dek."
"Jika Mas merasa nggak enak, biar aku saja yang menyuruhnya," tegasku. Tidak kuhiraukan lagi ucapan Mas Farid.
Enak saja, sudah numpang gratis di rumahku, sudah berantakin rumah, tapi tidak mau membereskannya. Eggak bisa!
Tok … tok … tok ….
Kuketuk pintu kamar Rini, tapi tak ada jawaban. Kuketuk lagi pintunya, hingga aku mendengar sahutan dari dalam.
"Sebentar!"
Tak lama kemudian, Rini membuka pintu kamarnya. Aku sungguh terkejut saat melihatnya hanya memakai daster tipis di atas lutut. Seksi sekali!
"Ada apa, Mbak?" tanyanya cuek.
"Kamu menggunakan pakaian seperti ini di rumahku? Aku tidak suka kamu berpakaian seperti ini. Di rumah ini bukan cuma ada kamu dan aku, tapi ada suamiku juga."
"Yaelah, Mbak! Masalah pakaian juga di permasalahkan. Aku enggak berniat merebut suamimu, Mbak. Aku itu cuma kepanasan," kilahnya. Seolah tidak terima jika aku melarangnya berpakaian seperti itu.
"Ini rumahku, dan orang yang tinggal di rumah ini wajib mematuhinya," tegasku agar ia tahu diri bahwa ia hanya menumpang di rumahku.
"Ngomong-ngomong, apa saja kerjaanmu di rumah seharian? Kenapa rumah jadi berantakan seperti kapal pecah? Sekarang juga kamu bersihin, ayo cepat," perintahku pada Rini. Aku yang dari tadi mencoba bersabar, tidak tahan lagi menghadapi sikapnya.
"Iya … iya!" Rini pun melewatiku yang masih berdiri di depan pintu kamarnya.
"Tunggu, kamu tidak boleh keluar kamar dengan pakaian seperti ini. Cepat ganti!"
Rini terlihat kesal, ia berdecak sambil mengumpat, "dasar cerewet," lirihnya. Meskipun pelan, tapi aku bisa mendengarnya.
"Kamu bilang apa barusan?" tanyaku dengan sorot mata tajam, mengisyaratkan kemarahan.
"Eggak ngomong apa-apa, Mbak," kilahnya. Padahal aku mendengarnya.
Aku juga ikut masuk ke kamar Rini untuk memastikan bahwa ia memakai baju yang sopan alias tidak kekurangan bahan.
"Mbak kok' ikutan masuk sih?" Ia memonyongkan bibirnya karena tidak suka aku memasuki kamarnya.
"Kamu lupa? Ini kan rumahku, kamu hanya numpang." Aku sengaja berkata seperti itu agar ia sadar diri.
Saat menunggu Rini yang sedang mengganti pakaian, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang berbeda di kamar ini. Hawanya begitu sejuk dan dingin, seperti ruangan ber-AC.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, ternyata benar bahwa kamar ini telah di pasang AC.
Sejak kapan ada AC di kamar ini? Setahuku hanya kamarku dan Mas Farid saja yang ada AC nya.
"Siapa yang memasang AC di kamar ini, Rin? " tanyaku, tidak sabar ingin mendengar jawabannya. Berani sekali wanita ini memasangnya tanpa persetujuan dariku.
"Anu, Mbak. Begini, mm …." Ia gelagapan, sepertinya tidak tahu mau jawab apa.
"Anu apa? Jangan berbelit-belit!" Aku melipat tangan di atas d**a, wanita ini benar-benar menguji kesabaranku.
Bukan Jawaban yang kudapat, melainkan suara tangisan yang kudengar. Rini malah menangis seperti anak kecil yang habis dipukul.
"Ada apa ini? Kenapa Rini menangis?" Tiba-tiba Mas Farid sudah berdiri di ambang pintu.
"Enggak tahu tuh, Mas. Aku cuma nanya, eh … dia malah nangis," jelasku pada Mas Farid.
Rini masih menangis sesenggukan, sedangkan Mas Farid tampak kasihan melihatnya.
"Aku cuma nanya masalah AC, tapi dia malah nangis. Salahku dimana, coba?" Aku mengedikkan bahu, pertanda tidak tahu perihal yang membuat Rini menangus seperti itu.
Rini pandai sekali ber acting, seperti orang yang habis disakiti, padahal aku tidak melakukan apapun padanya. Aku tahu, pasti ia ingin menarik perhatian Mas Farid.
"Oh, masalah AC. Mas yang membelinya dan menyuruh orang buat masangnya. Mas enggak tega lihat Rini kepanasan," ucap Mas Farid, seolah tanpa beban.
Keterlaluan sekali Mas Farid, ia tidak memikirkan angsuran rumah dan cicilan mobil yang harus dibayar tiap bulannya. Sekarang malah beli AC. Duit dari mana, coba! Pasti memakai uang hasil gaji Mas Farid.
Aku mendengus kesal melihat dua manusia di hadapanku. Gegas ku masuk ke kamar sambil membanting pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. Aku tidak peduli!
Bersambung ✍️