CHAPTER 6

1525 Words
Saat bangun kembali, Manaka sudah ada di kamarnya sendiri. Sudah bersih, memakai piyama dalam selimut yang hangat. Aaron tak sedang minum teh di beranda, suara sedang memasak dari dapur juga tak terdengar. Merasa Aaron sedang pergi, tubuh Manaka menjadi rileks. Ia kembali berbaring santai. Mengutuk Aaron atas rasa sakit dan bekas ikat yang tertinggal di tubuhnya. Kegilaan itu sudah berlebihan, sampai merekam dan dikirim ke kakaknya segala. Hem, tunggu dulu!? Mungkin itu hanya gertakan. Aaron, kan suka pura-pura baik. Mana mungkin dia kirim yang seperti itu pada kakaknya? Emery si tiran yang suka berselisih tiap kali bertatap muka dengan ayahnya itu. Tiba-tiba Manaka jadi lega sendiri. Tahu Aaron hanya dua bersaudara saja, dan saudara kembar pacarnya bukan orang yang suka melihat tontonan vulgar seperti itu. Mata Manaka lalu menemukan sebuah ipad di meja samping tempat tidur, di bawahnya ada secarik kertas bertuliskan tulisan tangan Aaron. Rapi dan cantik seperti tulisan perempuan, tapi isinya horor. “Aku pergi untuk membunuh seseorang. Rekaman itu sudah sampai ke tangan kakakku. Dia bilang suka, kalau kaupenasaran dengan hasil editan Tifa, lihatlah sendiri.” Manaka sampai merinding ketika membacanya. Cepat-cepat ia menyalakan ipad itu, memutar satu-satunya video yang tersedia di sana. k*****t itu tak sedang bercanda, rekaman tubuhnya yang sedang permainkan oleh berbagai jenis mainan itu sungguh nyata. Hanya dirinya yang terekspos dengan jelas. Sedangkan Aaron hanya terlihat tangannya saja, tangan laknat yang dengan ahli memasang semua itu di tubuhnya. Sialnya lagi, dirinya di rekaman itu terlihat sangat menikmati. Mengerang dan mendesah c***l meskipun mulutnya sudah terikat. Seluruh tubuhnya basah dipenuhi oleh cairannya sendiri, begitu erotis menggerakkan pinggul dengan liar ketika bagian belakangnya dimasukkan sebuah batang tiruan ukuran besar. Putingnya mengeras dengan nikmat saat tergesek berkali-kali oleh tali yang ditarik dengan kasar oleh Aaron. Bahkan miliknya begitu gagah, terus berdiri dengan tegap tak peduli berapa kali pun ia keluar. Manaka sampai shock tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sejak kapan ia jadi seperti itu? Kenapa malah dia yang terlihat bersenang-senang ketika dipermalukan oleh Aaron? Tak ingin menerima kenyataan, Manaka melemparkan ipad itu ke dinding. Menghancurnya rekaman bukti kejalangannya. Dia tak mau percaya, tapi ketika ia meraba beberapa bagian tubuhnya yang dipenuhi bekas kemerahan akibat ikatan itu ... ia malah merasa bersemangat. Merasa terangsang ketika merasakan sakit dari sisa permainan itu yang tertinggal di kulitnya. “Aaron sialan! Apa yang kaulakukan pada tubuhku!” Manaka berteriak menyalahkan, mulai ngeri saat tahu ia telah membuka sebuah pintu terlarang. Tak ingin masuk ke sana dan menerima dirinya yang sesungguhnya, padahal kakinya sudah melangkah sedikit masuk. *** Akhirnya Manaka memutuskan untuk kabur dari rumahnya sendiri. Mumpung Aaron sedang pergi, dia bisa kabur dengan mudah. Bermodal uang tunai, tas ransel dan pakaian seadanya. Berpikir jika demikian, Aaron tak akan bisa melacaknya lagi. Setelah memercayakan kantor pada anak buahnya, ia pergi naik kereta. Tujuan Manaka ada kampung halaman ibunya. Sebuah desa kecil di balik bukit yang tak terlalu berkembang. Tak ada jaringan internet dan hanya ada sekumpulan orang tua pensiunan saja yang tinggal di sana. Setelah sampai, Manaka berjalan kaki dari halte ke rumah neneknya. Pikirannya kembali tenang menghirup udara yang segar, mengenang kembali masa kecil yang kadang ia habiskan secara singkat di sini. Itu hanyalah sebuah rumah tua tak terawat. Tidak ditinggali lagi setelah kakek dan neneknya pindah ke rumah saudara ibunya. Kunci bisa ditemukan dengan mudah dalam pot bunga, tak pernah berpindah selama bertahun-tahun dan tak pernah ada yang berniat memasukinya juga. Manaka masuk ke dalam, terbatuk karena banyaknya debu. Harusnya dia ingat untuk membawa satu anak buah, dan sekarang dia yang harus bekerja keras sendiri membersihkannya. Aaron memang b******n! Gara-gara pria itu dia sampai harus susah-susah mengangkut air dari sumur, menyapu dengan sapu rotan hanya untuk bisa kabur darinya. Saat sore hari, tempat itu sudah layak untuk ditinggali. Namun ia tak bisa memakai tungku tradisional dan tak ada bahan makanan. Manaka kelaparan, mulai bisa bersyukur dimasakan selama ini. Tiap bangun pagi ditanya mau makan apa, siang hari sudah ada makanan hangat diantarkan ke ruangannya saat ia lelah bekerja dan malam hari ketika ia pulang ... Aaron akan menyambut dengan memakai apron, memasakan apa pun yang ia minta. Apa yang kupikirkan! Siapa yang mau makan masakan laki-laki! Aku akan pergi ke kedai saja! Manaka mulai perang batin sendiri, menampar dirinya sendiri ketika ia memikirkan Aaron setelah susah-payah kabur dari laki-laki gila itu. Dengan semangat itulah, Manaka berjalan kaki mengelilingi desa kecil itu. Kakinya berhenti di sebuah kedai ramen berumur ratusan tahun. Entah sudah generasi ke berapa, yang jelas tempatnya sudah semakin bobrok sejak terakhir ia datangi ketika masih bersekolah dulu. Masa bodoh. Perut nomor satu! Manaka masuk ke dalam, duduk di depan paman penjual. “Ichiran ramen, pakai telur setengah matang!” pesan Manaka. “Bukannya kau itu Manaka? Kenapa ada di sini?” Paman itu masih mengenal wajah Manaka, terakhir dia datang itu empat tahun lalu saat bantu-bantu kakek dan neneknya berkemas untuk pindah. “Kakek dan Nenek sehat?” “Paman mau tahu saja, aku mana tahu. Mereka tinggal dengan Bibi,” jawab Manaka asal. “Dasar anak muda. Jangan bilang kau ke sini karena ingin kabur dari seseorang? Berkelahi lagi?” Paman itu menebak dengan tepat, tapi alasan kaburnya salah. Manaka mulai merasa risih saat arah pandangan paman itu terarah ke pergelangan tangannya, bekas ikatan tali yang masih belum hilang. Yang ada malah mulai berubah menjadi memar, salah Aaron jahat itu. Mengikat tak tanggung-tanggung. “Hiduplah lebih benar Manaka, kausudah bukan remaja lagi. Mau jadi preman sampai kapan?”   “Seumur hidup! Gangster itu tak jelek, Paman.” “Dasar kau ini, nanti dapat karma baru menyesal.” Manaka menerima mangkuk ramen yang diberikan. Dalam hati bergumam sendiri, dia sudah dapat karma berbentuk seorang pacar sadis bernama Aaron. Soal menyesal atau tidaknya Manaka masih gamang, yang jelas dia kelaparan. Jadi otaknya berhenti berpikir sejenak, makan dengan lahap hingga tak sadar ada seseorang yang baru datang. Manaka baru sadar ketika orang itu duduk di sampingnya. “Kau kembali ke sini. Kenapa? Sedang jadi buronan?” Seorang wanita teman masa kecil, namanya Haruna Kisaki. Kabarnya habis lulus SMA, dia dilamar oleh direktur dari kota. Menikah dan meninggalkan kampung bertepatan ketika kakek dan nenek Manaka pindahan. “Bukan kok, kau sendiri? Kenapa kembali ke kampung begini? Diceraikan?” Mulut Manaka tak dijaga, seenak udelnya berkata. Lupa kalau Haruna sempat jadi pacarnya, meskipun hanya percobaan selama seminggu sih. “Sesuatu seperti itu,” balas Haruna. Manaka diam. Jadi belum cerai, hanya kabur seperti dia? Eh!? Apa Manaka pikirkan? Dia dan Haruna tak sama, dia tak kabur dari suami seperti Haruna. “Kau tak tanya alasannya?” Haruna yang lebih dulu kembali bersuara, memecah lamunan Manaka. “Aku tak ingin tahu.” Kalau diberi tahu, nanti malah Haruna ingin tahu alasan dia kabur ke kampung juga. Masa dia harus bilang kalau kabur dari pacar karena merasa bakal dituntun memasuki dunia SM? “Kau tak berubah Manaka. Selalu saja begitu, tak mau orang tahu tentangmu dan tak ingin tahu tentang orang lain.” Masa iya? Manaka tak pernah tahu kalau Haruna berpikiran seperti itu tentangnya. Kalau diingat-ingat lagi, dulu alasan putus juga sepertinya mirip-mirip. Saat liburan sekolah sudah habis dan mereka akan mulai LDR, Haruna banyak tanya karena cemas. Manaka yang dulunya masih seperti berandalan malah marah-marah merasa tak dipercayai. Lalu mereka putus begitu saja waktu Manaka pulang. Bertemu kembali dua tahun kemudian saat Haruna dalam persiapan pernikahan. Pas diingat sekarang, Manaka baru sadar begitu kacaunya hidup dia sewaktu remaja. Yah, sekarang juga kacau sih, dengan alasan yang berbeda. Dulu kacau karena wanita desa dan sekarang karena laki-laki asing. Memikirnya membuat Manaka lelah sendiri. Selesai makan, mereka pulang bersama-sama. Singgah ke tepi sungai tempat biasa mereka duduk berjemur di siang hari dulunya. Saat malah hari, tempat ini begitu cantik dengan banyak kunang-kunang beterbangan. Cantiknya pemandangan itu, juga suasana hangat di antara mereka membawa rasa nostalgia. “Dulu, aku sungguh-sungguh suka padamu.” Tanpa sadar Manaka berucap. Membuat air mata Haruna menetes, merasakan perasaan kuat yang bercampur aduk dengan kenangan. “Aku juga, aku menyesal bilang ingin putus. Aku menyesal tak menunggumu dan malah menikah dengan laki-laki yang tak kusukai.” Itu hanyalah cinta masa lalu, tapi karena mereka berdua sedang ingin lari dari kenyataan di saat ini ... maka secuil sisa dari kenangan itu sudah cukup untuk membuat mereka menganggap bahwa perasaan itu masih ada. Manaka yang memulai, membakar kembali api cinta yang sudah padam. Ia mencium Haruna, membawa istri orang itu ke rumah kakeknya. Memeluk wanita milik orang lain. Sungguhan berselingkuh dari Aaron. Saat ini pikirannya bahkan sudah lupa sepenuhnya pada laki-laki cantik serupa iblis itu. Manaka tak ingin memikirkan apa pun saat ini, begitu juga dengan Haruna. Mereka tak ingin memikirkan sosok pacar dan suami yang tengah mencari mereka. Lari dari kenyataan bersama hanya untuk menyembuhkan luka hati mereka sendiri.  Malam itu, Manaka merasa kembali ke masa mudanya. Kehangatan tubuh wanita yang ia suka tak berubah, tetap saja bisa membuasnya puas. Jadi dia belum sepenuhnya jatuh pada jebakan Aaron. Belum jadi laki-laki segila hasil rekaman Tifa. Benar. Dirinya bukan masokhis, hanya Aaron yang mencoba membuat dirinya tampak seperti itu. Manaka percaya dia masih normal ketika bangun di pagi hari sambil memeluk Haruna. Harusnya dari kemarin-kemarin dia lakukan hal ini, mencari kejelasan dengan tindakan nyata.                              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD