Teman Masa Lalu

1086 Words
"Loe ada dimana?" tanya Queen pada seseorang disana. "Di kantor, kenapa?" jawabnya. "Gue tunggu loe di tempat biasa," sahut Queen kemudian memutuskan panggilannya. Queen sudah sampai sebuah rumah besar yang penuh dengan kenangan, wanita itu melihat sebuah foto lama yang terletak di meja. Foto itu menampilkan dua anak kecil yang tersenyum lebar—Queen kecil dan Alex, teman masa kecilnya. Kilas balik membawa Queen ke masa lalu ketika mereka sering bermain bersama di halaman belakang rumah Alex. Beberapa hari setelah insiden dengan Richard kemarin, Queen memutuskan untuk pergi ke rumah Alex, tempat yang sering dia kunjungi untuk mencari ketenangan. Rumah Alex berada di daerah pinggiran kota dengan suasana yang sejuk karena dekat dengan hutan. Saat duduk di taman belakang, menikmati secangkir kopi yang dibuatkan oleh asisten rumah tangga sang sahabat, matanya tertuju pada seorang pria yang baru saja memasuki rumah. Saat ia mendekat, Queen langsung memeluknya erat. "Queen?" Alex mendekat dengan senyum hangat di wajahnya. "Alex? Kenapa lama sekali?" jawab Queen dengan senyum kecil, mencoba menyembunyikan kesedihan hatinya. "Maaf, tadi ada sedikit kerjaan yang belum selesai," jawabnya "Duduklah, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kupikir, kau sudah melupakanku," canda Alex. Queen menggelengkan kepalanya. "You are still my bestfriend, Alex." Dalam lubuk hati Alex yang terdalam. Dia menginginkan lebih dari sekedar teman. Dia mencintai Queen sejak pertama wanita itu membelanya dari temannya yang sengaja mengerjainya. Mereka pun duduk bersama. Ada debaran tak biasa yang dirasakan oleh Alex saat berdekatan dengan Queen, cinta sejatinya. "Kamu tahu, aku sudah menjadi CEO sekarang, dan kamu tidak bisa meremehkanku lagi," ucap Alex membanggakan diri. "Aku tidak pernah meremehkanmu Alex. Aku hanya ingin, kamu membuktikan pada mereka yang telah menghinamu dulu, bahwa kamu bisa sukses. Apa yang aku katakan padamu bukanlah sebuah hinaan, melainkan motivasi untukmu supaya kamu berubah. Dan sekarang terbukti bukan?" ucap Quen. Alex mengangguk membenarkan, dulu, dia adalah seorang lelaki cupu yang sering di-bul-ly oleh teman-temannya. Hanya Queen, wanita cantik yang mau menjadi temannya. Queen jugalah yang mengubah penampilannya menjadi tampan seperti sekarang ini. Seiring percakapan yang berlangsung, Alex mulai memperhatikan raut wajah Queen yang tampak sendu. Dia seolah memendam luka di balik senyumnya. "Queen, bagaimana kabarmu? Kudengar, kamu sudah menikah. Apa kamu bahagia? Wajahmu, terlihat sedih. Apa ada masalah? Kamu bisa bercerita padaku," tanya Alex dengan nada lembut namun penuh perhatian. Queen awalnya ragu untuk bercerita, tetapi dia butuh teman untuk mencurahkan isi hatinya. Dan ia merasa nyaman dengan Alex, seperti dulu saat mereka masih anak-anak. Queen pun akhirnya menceritakan segala yang terjadi antara dirinya dan Richard, termasuk pernikahan kontrak mereka, mulai dari kehamilannya, hingga penolakan Richard dan permintaan gilanya. Alex mendengarkan dengan seksama, hatinya terenyuh melihat penderitaan Queen. Setelah Queen selesai bercerita, Alex menggenggam tangannya. "Queen, aku tahu, aku tidak berhak mencampuri urusan rumah tanggamu. Namun, aku tidak rela jika kamu terus sengsara bersamanya. Tinggalkanlah dia, Queen! Lelaki seperti itu, tidak pantas mendapatkan cintamu!" "Tapi, aku mencitainya Lex! Dan aku sudah berjanji pada diriku bahwa ini, adalah usaha terakhirku. Kalau memang tidak berhasil, aku akan pergi," lirih Queen sambil menerawang jauh membayangkan kehidupannya nanti tanpa suami dengan anak yang dia lahirkan. Melihat beban hidup dan kegelisahan hati sang sahabat, Alex merasa kasihan. "Queen, kau tidak perlu melalui semua ini sendirian. Aku akan selalu ada untukmu, seperti dulu," kata Alex dengan tegas. "Aku akan membantumu keluar dari situasi ini." Queen terharu, merasa sedikit beban di pundaknya terangkat. "Terima kasih, Alex. Aku benar-benar butuh seseorang di sisiku saat ini." Mereka pun saling berpelukan. Setelah mengajak Queen makan siang, Alex pun mengantarkan Queen pulang ke rumah Richard. Sejak pertemuan itu, Alex mulai mengamati kegiatan Queen dari kejauhan. Dia bahkan sering mendatangi rumah Richard, dengan harapan, dia bisa melihat Queen dan memastikan dia baik-baik saja. Alex juga mulai mencari segala hal tentang Richard dan perusahaannya, dia ingin mengetahui situasi Queen lebih jauh. Dia juga melihat, bagaimana kerasnya usaha Queen untuk mendapatkan hati Richard, meskipun itu harus berakhir dengan rasa kecewa. Dan itu membuat Alex yakin, akan membantu Queen lepas dari Richard. Queen dan Alex mulai bertemu lebih sering. Seperti saat ini. Queen mendatangi Alex di kantornya. Wanita hamil itu menangis karena selalu diacuhkan oleh Richard. "Hiks, hiks aku harus bagaimana Alex? Maksudku, dengan menunda perceraian ini, aku ingin dia menjadi suami yang baik. Menemani aku saat morning sickness, membelikan makanan apa yang aku inginkan. Tapi apa yang terjadi? Bahkan disaat aku mual dan muntah karena mengandung anaknya, sedikitpun dia tidak mendekat. Saat aku ingin dibelikan dawet, dia malah menyuruhku membeli sendiri. Aku sedih, kesal, dan ...." Alex mendengarkan keluh kesah sahabatnya dengan sabar. "Tidak ada kata yang bisa aku katakan Queen, selain, kalau kamu lelah dan ingin menyerah, kamu tahu dimana tempatnya. This is your choice. Aku yakin, kamu kuat menghadapi ini semua." Alex hanya bisa mendukung Queen, meski hatinya terasa sakit. Alex juga mengutuk perbuatan Richard pada sahabatnya. Suatu saat, jika Queen memutuskan menyerah, dia akan membalas setiap air mata yang sahabatnya keluarkan, supaya Richard tahu, bagaimana sakitnya hati Queen saat bersamanya. Kehadiran Alex benar-benar menjadi pelipur lara bagi Queen di tengah penderitaannya. Lelaki itu setia mengantarkan kemanapun Queen pergi dan membelikan apa yang sahabatnya idamkan selama kehamilan. Meskipun Alex belum mengungkapkan perasaannya secara langsung, perhatiannya yang tulus mulai memberi Queen harapan baru. Dia mulai merasa tidak sendirian lagi dalam menghadapi cobaan hidupnya. Paris "Sayang, bagaimana? Kita jadi menikah bulan depan bukan?" tanya Sarah pada sang kekasih saat melakukan panggilan video call. Richard menghela nafas panjang. Dia juga bingung, bagaimana mengatakan hal ini pada Sarah. Dia takut Sarah berubah pikiran dan memutuskan untuk menunda kembali pernikahan mereka. "Sayang, kita akan tetap menikah di Paris. Hanya saja, kalau kamu ingin diadakan pesta besar-besaran dengan mengundang media, itu tidak mungkin kita lakukan," ucap Richard dengan hati-hati. "Kenapa?" tanya Sarah bingung. "Begini, saat ini, Queen sedang hamil. Dan dia, ingin perceraian ini ditunda hingga dia melahirkan," jawab Richard. "What! dia hamil? Itu artinya kalian ....?" Mata Sarah berkaca-kaca saat mendengarnya. "Sayang, maaf, waktu itu, aku mabuk. Dan aku hanya sekali melakukannya," bohong Richard. Sarah terlihat kecewa. Mati-matian dia menahan diri dari godaan lelaki lain disini. Sementara sang kekasih, malah dengan mudahnya tidur dengan wanita lain, meskipun, itu istrinya sendiri. "Sayang, aku minta maaf," sesal Richard. Sarah mencoba meraup nafas sebanyak-banyaknya agar bisa mengurangi sesak di d**a. "Aku tahu, aku tidak mungkin melarang suami tidur dengan istrinya sendiri," lirihnya. "Sayang, kumohon, mengertilah. Malam itu, setelah menemani klien minum, aku sedikit mabuk dan tak mampu mengontrol diriku sendiri. Maafkan aku." Richard kembali berbohong untuk membuat kekasihnya tidak lagi marah padanya. "Baiklah, aku memaafkanmu, tapi dengan syarat, kita tetap menikah, tanpa harus menunggu wanita itu melahirkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD