“… Keluarga korban Klitih yang melawan hingga pelaku Klitih di kawasan Casa Gra*de dengan cara memukul kepala pelaku dengan batu tak bisa berbuat apapun selain meradang marah. Pasalnya, aksi membela diri itu kini malah berlanjut dan menjadikannya tersangka kasus pembunuhan….”
Suara pembawa berita tertimpa suara Eyang yang mengomentari dengan nada prihatin.
“Dilawan bui, nggak dilawan mati.”
“Yo ngono kui (Ya, begitu itu). Aparat ndak bisa bertindak lagi. Kalo orang dewasa, takut bolone, kalo masih kecil, nggak bisa dipenjara.” Kali ini Kakungnya menimpali.
Mendengar percakapan itu, Farhan yang duduk di lantai plester berselimut karpet plasti terkekeh. Berbeda dengan Eyang dan Kakungnya yang memandangi berita di TV dengan pandangan prihatin, Farhan justru terlihat senang dan tertarik. Sesuatu bergolak kencang dalam dirinya. Dia sudah tak sabar menunggu jam berdetik ke angka delapan agar dia bisa keluar rumah.
Farhan keluar tepat jam delapan malam. Dia tak pamit pada siapapun di rumah. Saat dia akhirnya bangkit dari depan TV, Eyang dan Kakungnya sudah terlelap di dipan yang ada di depan TV seperti biasanya, sedangkan ibunya belum pulang dari acara rewangnya. Dia mengeluarkan sepedanya, menuntunnya agak jauh dari rumahnya sebelum menaikinya dan menggenjotnya dengan terburu - buru. Dia ingin cepat sampai di tempat yang ditujunya.
Suasana di sekitar rumahnya sepi. Kadang saat bulan purnama, anak - anak kecil yang baru pulang dari latihan gamelan dan tari akan lewat sambil bersenda gurau di depan rumahnya. Tapi selain hari - hati itu, di sana cukup sepi. Meskipun kampung mereka dekat kota, tapi mayoritas penduduknya adalah pedagang pasar, pedagang lesehan di malam hari, buruh harian seperti ibunya atau petani seperti Eyang - Kakungnya. Yang terakhir, hanya tersisa beberapa orang yang masih sepuh saja. Selain karena sawah di sekitar kota Jogja sudah menipis, rata - rata anak mudanya lebih suka bekerja ikut orang daripada menggarap sawah. Jika mereka mendapatkan warisan berupa tanah pun, mereka lebih suka menjualnya untuk membeli tanah lain yang lebih luas di luar kota seperti daerah Kulon Progo atau Gunung Kidul.
Farhan tidak melewati jalan raya untuk sampai ditujuannya. Sebagai syarat pertama, dia harus lewat jalan dalam. Melewati sungai dan cerukan serta beberapa pohon bambu lebat yang selalu gelap. Konon, di daerah tersebut jika diberi penerangan tak pernah bertahan lama. Paling tiga bulan, dan lampunya akan mati dengan sendirinya. Tapi Farhan tak takut. Farhan anak yang pemberani. Dia melewati jalan - jalan gelap tersebut dengan berani. Kemudian berhenti sejenak untuk mengambil bunga kantil yang pohonnya sudah amat tua di sebelah TPU.
Farhan tak mengerti kenapa yang dipetik adalah bunga kantil. Kenapa bukan bunga yang lain, tapi ya sudah, dia toh hanya sendirian, tak ada yang bisa dia tanyai saat ini.
Dia sampai di tempat yang ditujunya tak lama kemudian. Di sana, sudah ada beberapa pemuda yang lebih dulu sampai. Rata - rata lebih tua darinya. Hanya dia dan satu orang lagi yang sepertinya seumuran. Tapi Farhan tak begitu tahu siapa anak tersebut. Sepertinya dia bukan anak kampung Farhan.
"Wah! Dab Farhan wis teko, Lur! (Mas Farhan udah dateng, Guys!)" Salah seorang berseru, membuat yang ada di sana menoleh padanya. Rupanya itu Panji. "Rene, Han. Tak kenalke ro liyane (Sini Han, kukenalkan sama yang lain)."
Farhan menurut. Menyenderkan sepedanya di salah satu pohon di dekat sana dan berjalan mendekat. Dia menunjukkan bunga kantil yang tadi dipetiknya pada Panji, bertanya dengan nada heran.
"Lha ini buat apa, Mas?"
"Wah, bunganya jug dapet! Keren kamu, Han! Bro Rolis, nih, Bro. Sesuai request mu." Panji berseru memanggil seseorang.
Satu pemuda yang terlihat paling kharismatik muncul. Umurnya mungkin sekitar dua puluh tahunan. Ada codet bekas luka di pipi kirinya, badannya tegap dan lengannya penuh dengan tato. Farhan sedikit ciyut melihatnya. Tapi dia diam saja saat pemuda tersebut mendekat padanya. Sama sekali tak mengambil langkah mundur barang sejengkal pun.
Pemuda yang dipanggil Rolis itu kemudian mengangkat salah satu sudut bibirnya ke atas dan berkata tanpa memutus koneksi mata mereka.
"Joss yang ini, Bro. Pemberani!"
"Yo mesti! Sopo neh sing ngajakin dia?! (Ya jelas! Siapa dulu yang nyari?!)"
Pemuda yang dipanggil Rolis itu kemudian bertanya pada Farhan. “Namamu siapa?”
Farhan menahan diri agar tak menelan ludah di depan Rolis. Mempertahankan wajahnya yang datar dan posturnya yang tegap. Meskipun baru berumur empat belas tahun, tapi postur tubuh Farhan tinggi dan tegap. Tak kalah dengan mereka yang sudah bersekolah di SMA. Mungkin gen dari Bapaknya. Karena Ibunya mungil, Eyang dan Kakungnya juga tak terlalu tinggi. Tapi dia tak bisa memastikan karena dia tak pernah tahu siapa sosok yang menjadi Bapaknya itu. Ibunya tak pernah mau bercerita tentang Ayahnya. Saat Farhan memaksa, dia malah akan dimarahi.
“Farhan, Dab (Dab adalah bahasa walikan khas Jogja untuk memanggil ‘Mas’, agar menjadi lebih akrab. Bahasa ini sudah agak jarang digunakan di daerah Jogja. Hanya marak di kalangan tertentu saja)”
“Tahu apa yang kita kerjakan di sini?”
Pertanyaan Rolis selanjutnya menyita semua atensi Farhan. Seperti dia sudah menunggu – nunggu kapan akan ditanya seperti ini.
“Tau!”
“Kamu nggak takut resikonya? Bisa kita dimassa, bisa kita masuk bui.”
Farhan terkekeh geli. “Aku masih dibawah umur, Mas. Nggak mungkin ditangkep.” Farhan menjawab mantap.
“Tapi kita tetap bisa masuk Bui loh, Han.” Panji mengingatkan. Terlihat khawatir karena sepertinya Farhan tak begitu tahu apa yang akan mereka hadapi nanti di lapangan.
“Paham, Mas Panjul. Aku siap sama semua konsekuensinya.”
Rolis dan Panji saling berpandangan. Sementara beberapa pemuda lain yang sudah sampai di sana sibuk di belakang menyiapkan peralatan mereka. Mengasah berbagai benda tajam agar aksi mereka mulus. Ini tentang kepuasan batin. Bagi mereka, ini adalah seni. Mereka bahkan memperhitungkan apa yang mereka gunakan agar eksekusi mereka mulus dan tak membuat mangsa mereka kesakitan.
Farhan mnelengkan kepalanya, menunjuk pada senjata yang tertumpuk di dekat sana. “Tapi aku nggak punya begituan, Mas.”
“Nggak papa. Nggak semua dari kita bakal bawa begituan. Hanya sebagian. Kita kan bagi tugas; mengintai, menyiapkan, mengisolasi, blokir, eksekusi dan escape.” Rolis menjelaskan apa saja tugas dari bagian – bagian yang disebutkannya tadi sedangkan Farhan menyimak dalam diam. Otaknya yang cerdas tak butuh waktu lama untuk mencerna semua penjelasan Rolis. Dia mengangguk paham di akhir penjelasan pemuda yang dinobatkan sebagai ketua kelompok mereka itu. “Tugas itu nggak selamanya itu – itu saja. Nanti kita gantian biar kita semua ngerasain gimana mengatur aksi sebagai apa. Paham kamu?”
“Paham, Mas.”
“Lur!” Rolis berseru, dan sebentar saja mereka semua langsung mendekat secara serempak. Lur adalah kependekan dari Sedulur yang berarti saudara – saudara sekalian. “Kita ada anggota baru. Kenalin, namanya Farhan. Mala mini, Farhan yang akan menjadi eksekutor aksi kita bersama Hadi dan Kodok.”
Farhan mengerjap sementara Rolis menunjuk siapa yang namanya Hadi dan siapa yang namanya Kodok. Dia baru saja bergabung. Apa tak ada training pendahuluan yang harus dilaluinya?
Rolis melihat kebingungan Farhan dan menjawab. “Ini sebagai inisiasimu, Dab. Berani nggak?”