Anastasya tersenyum kepada Catur Laksono, suaminya yang sedang memperhatikannya.
“Kenapa sayang?” Tanya Anastasya.
“Anakmu itu lho, apa ada masalah? Setahuku tidak ada jadwal kerja ke Hongkong dalam waktu dekat.” Catur balik bertanya.
“Hmm.. Pap... kalau anak kita jatuh cinta pada gadis yang bukan dari kalangan kita, menurut papa gimana?” Tanyanya to the point.
“Ngomong apa mama nih, apa maksud mama, Alisha itu?” Jawab Catur sambil senyum jahil.
“Kok papa tahu?” Anastasya heran.
“Ah mama ni, apa yang papa tidak tahu?”. Katanya lagi sambil tergelak.
Anastasya kembali tersenyum, sambil merebahkan diri di samping suaminya.
“Tapi mama serius pa, menurut papa gimana?”.
“Memangnya harus gimana ma? Biar saja anak-anak punya pilihan sendiri, yang penting kan orangnya baik. Latar belakang atau apapun kan pinjam istilah mama, ‘bisa diciptakan’. Benar?” Jawab Catur.
“Sudah, sini... kita harus istirahat.” Lanjut Catur sambil menarik kepala Anastasya agar tidur di bahunya.
Hubungan suami istri antara Anastasya dan Catur nyaris tanpa konflik yang berarti. Mereka selalu dekat sejak dari pacaran dulu. Tidak ada yang berubah diantara mereka.
.....
Lewat tengah malam, Sisca Wardoyo dalam perjalanan pulang, hatinya sedikit lega karena Bramantyo tidak mungkin bersama perempuan itu. Alisha.
Berdasarkan pembicaraan dengan Jafar tadi, Alisha berada ditangannya dan besok pagi, mereka akan menikah di desa.
Sisca telah menelepon Bramantyo puluhan kali, tapi tak satupun diangkat oleh Bramantyo.
Dia memutuskan untuk menghubungi via chat.
“Mas, kamu dimana? Ketemu yuk, aku ada kabar penting tentang Alisha.” Pesan terkirim.
Bramantyo membaca pesan itu. Menimbang-nimbang apakah perlu menemui Sisca atau tidak.
Bramantyo paham, Sisca memancing untuk menemuinya. Sementara itu, Bramantyo penasaran, ada kerjasama apa Sisca dengan Jafar.
Mengingat tujuan Jafar adalah menikahi Alisha dan Jafar mempunyai kaki tangan sendiri juga mempunyai banyak uang hasil dari kejahatannya, tidak mungkin melibatkan Sisca dalam penculikan Alisha.
Keputusan Bramantyo adalah menunda menemui Sisca, lagipula dia sedang berada di Hongkong kan?
Bramantyo menunggu sekitar tujuh menit lalu memberikan balasan dari nomor telepon yang lain.
“Sorry, Asistenku bilang kamu chat tentang Alisha? Aku lagi disini.”
Bramantyo mengirim poto bukti Check-in atas namanya di sebuah hotel bintang lima di Hongkong.
Bukti check-in itu dikirim setelah Bramantyo menghubungi staff hotel untuk dibuatkan.
Bramantyo mempunyai saham di hotel itu. Sisca tidak tahu mengenai hal ini.
“Baru sampai. Next time ya. Btw, thanks infonya. See you.” Bramantyo mengakhiri percakapan.
Sisca melotot membaca poto yang dikirim Bramantyo. Tanggal dan jam yang tertera benar sekarang ini.
Bramantyo meninggalkan acara jam 19.30an. Butuh waktu enam jam untuk sampai hongkong, kecuali naik pesawat pribadi.
Sisca menarik nafas panjang. Dia ingin mencari tahu ke kantor penerbangan keluarga Bramantyo, namun dia tidak punya akses sama sekali.
Tiba-tiba hatinya merasa kesal. Banyak hal yang dia tidak ketahui dari keluarga Bramantyo, terutama tentang Bramantyo.
“Nanti, ya nanti, setelah menjadi istri Bramantyo, aku akan kuasai semua harta keluarga itu.” Bathin Sisca.
Ingin sekali Sisca menyusul Bramantyo saat itu juga, namun dia tidak punya pesawat pribadi. Ayahnya, Dirga Wardoyo, tidak mau menghamburkan uang dengan membeli pesawat pribadi.
“Lebih baik menginvestasikan uang yang ada daripada membeli sesuatu yang membutuhkan pengeluaran sangat banyak.”
Sisca teringat ucapan ayahnya waktu dia bertanya kenapa keluarga mereka tidak punya pesawat pribadi.
Sisca menelepon temannya, artis top yang bersuamikan pengusaha muda sukses.
“Hi Gema, aku bisa sewa pesawat untuk sekarang?” Tanya Sisca.
Raut wajah Sisca penuh dengan kekecewaan. Gema bilang bahwa pemesanan tidak bisa mendadak. Setidaknya harus sehari sebelum keberangkatan.
.......
Suara tangisan Alisha tidak terdengar lagi. Bramantyo melongok ke dalam kamar.
Tampak Meilani sedang menyelimuti Alisha yang kelelahan.
Guratan sedih yang mendalam masih membayang di wajahnya yang cantik.
Meilani melihat Bramantyo lalu menghampirinya.
“Bisa bicara sebentar?”. Tanya Meilani.
“Mari..” Jawab Bramantyo sambil mempersilahkan Meilani jalan di depan.
Mereka duduk di ruang tengah, tidak ketinggalan Fado.
“Saya mohon, malam ini Mey menginap sini untuk menemani Alisha.” Ujar Bramantyo.
“Tidak masalah bagi kami. Besok kami akan membawa Alisha pulang.” Kata Meilani mengejutkan Bramantyo.
“Tidak. Tidak mungkin karena situasinya sangat berbahaya bagi Alisha, begitupun kalian bisa kena dampaknya.” Bramantyo menjawab.
“Kenapa memangnya? Alisha tinggal bersama saya. Dia gak punya siapa-siapa lagi setelah nenek Hamidah meninggal.”
“Lagipula, maaf, anda siapanya Alisha?”. Lanjut Meilani.
“Alisha di culik oleh Jafar, lolos dari penjagaan rumah sakit. Alisha korban tabrak lari depan Puskesmas, lalu saya bawa Alisha ke rumah sakit. Dia menderita gegar ringan dan patah tulang.”
“Setalah kondisinya membaik malah diculik, bertepatan dengan neneknya meninggal.”
“Oleh karena itu, Alisha lebih aman disini untuk sementara. Rencananya subuh ini Jafar akan menjemput Alisha ditempat penyekapan.” Bramantyo menjelaskan panjang lebar.
“Dari mana anda tahu semua itu? Siapa Pak Praja yang membawa jenazah nenek Hamidah?”. Kata Meilani penuh keraguan.
Bramantyo membuka handphonenya lalu memperdengarkan rekaman pengakuan bibi Suminah.
Meilani menutup mulutnya yang menganga.
“Praja adalah asisten saya.”
“Lalu.. anda Dewa apa?” Kembali Meilani bertanya.
“Saya hanya seorang pria biasa, bukan Dewa.” Bramantyo tersenyum merasa lucu akan tingkah Meilani.
“Besok kita akan bawa Alisha ke makam neneknya, dengan penjagaan yang ketat tentu saja. Tidak keberatan kan?” Tanya Bramantyo
“Oh, tidak, tidak. Aku setuju saja kalau itu untuk keselamatan Alisha.” Jawab Meilani.
“Kalau begitu, selamat istirahat ya.. Fado sudah tahu kan kamarnya?”. Bramantyo melirik Fado yang menjawab dengan mengangguk.
“Terimakasih.” Meilani menjawab sambil bangkit untuk kembali ke kamar Alisha.
....
Jafar bersiap-siap. Dia membawa dua orang bawahannya. Segala hal untuk kepentingan pernikahannya besok pagi sudah diurus dengan matang.
Dia hanya tinggal menjemput sang pengantin. Pengantin yang akan menjadi pengantin tercantik di abad ini menurutnya.
“Akhirnya kita bersatu juga gadis jutek.” Gumam Jafar sumringah.
Rasanya tidak sabar untuk segera menikmati tubuh ranum Alisha yang selalu terbayang-bayang dimatanya.
Tepat jam tiga pagi Jafar sampai di rumah penyekapan. Dia menyuruh anak buahnya untuk membuka kunci depan rumah.
Jafar agak gelisah, karena bibi Suminah tid
ak mengangkat teleponenya berulang-ulang.
“Sialan. Masa tidur kaya kebo sih tuh nenek.” Umpatnya kesal.
Jafar memasuki rumah, menyalakan lampu. Dia kaget karena pintu kamar tempat Alisha terbuka lebar.
Jafar bergegas menghampiri kamar. Jantungnya serasa mau lepas saat melihat ada genangan darah di ubin.
Jafar segera masuk kamar dan kosong. Tidak ada siapapun disana.
“Bos, pintu dapur terbuka, banyak jejak kaki di luar bos. Seperti sepatu karet.”
Jafar lari ke halaman belakang. Tampak tumpukan palang dan paku-paku diatas lembaran kain hitam. Saat itu juga Jafar sadar, Alishanya telah diculik orang.
“Sialan, Bramantyooo..” Teriak Jafar.
“Balik kota.” Seru Jafar kepada anak buahnya.
.....
Bramantyo tersenyum kecut mendengar Jafar meneriaki namanya. Setidaknya Bramantyo tahu kalau Jafar tidak akan berada di desa besok. Alisha bisa kemakam neneknya dengan tenang.
“Kamu, standby di sini. Perbaiki dan bersihkan rumah.” Jafar memerintah pada salah satu anak buahnya.
“Iya bos.” Dijawab dengan patuh.
Bramantyo hendak beranjak tidur. Masih ada waktu sampai jam tujuh pagi. Tiba-tiba telephonenya berdering.
“Ya?” Bramantyo.
“Bos, satu orang tinggal di rumah itu. Petunjuk?”. Kata penelepon.
“Awasi saja. Pagi-pagi harus clear area.”
Bramantyo mematikan telepon. Lalu terlelap. Dia memang butuh tidur.
Satu jam kemudian Bramantyo terbangun dengan rasa kaget. Pertanyaan dalam mimpinya membangunkannya karena dia tidak punya jawaban.
“Acara pernikahan yang akan digelar oleh Jafar, dimana? Bibi Suminah hanya berkata di desa. Desa mana?”.
Bramantyo bangkit lalu segera mengontak penjaga tempat Suminah di kurung.
“Tanyakan padanya, acara pernikahan akan digelar dimana, sekarang!” Perintah Bramantyo.
“Laksanakan.” Jawab penjaga
Bramantyo menyalakan laptopnya, memakai headset dan menunggu.
.....
Jafar meminta supirnya untuk ngebut. Lalu dia menelepon Sisca Wardoyo.
“s**t, aku ingin bercinta sekarang.” Jafar bicara dengan nada mengandung kemarahan.
“Sepertinya bakalan liar nih..” Sisca menjawab dengan nada menggoda.
“Tidurlah dulu. Aku masih jauh.” Ujar Jafar lalu mematikan telepon.
Sisca kembali tertidur.
......
Tampak di layar, Bibi Suminah sudah bangun. Dia diperlakukan dengan baik. Luka tembaknya mendapatkan perawatan yang semestinya.
Salah satu penjaga masuk lalu duduk.
“Bibi, selamat pagi.” Sapanya.
“Pagi, kapan saya bisa pulang?” Tanya bibi.
“Kenapa harus buru-buru bi? Beberapa hari di sini sampai lukanya sembuh bukan hal yang buruk.” Jawab penjaga.
“Bibi tolong jawab, acara pernikahan Jafar rencananya digelar dimana?”. Tanya penjaga.
“Di desa Bhakti, di sana ada tempat yang disewakan untuk acara kawinan. Namanya Balai Nikah.” Kata Bibi Suminah.
“Sewa tempatnya atas nama saya.” Lanjut Suminah.
“Terimakasih bi.” Penjaga langsung keluar ruangan, mengunci pintu.
“Kirim orang kesana.” Perintah Bramantyo terdengar ditelinganya.
“Laksanakan.” Jawab penjaga.
.....
Jafar sampai dikondominium mewah tempat Sisca Wardoyo tinggal.
Dia naik melalui lift pribadi untuk sampai langsung ke ruang tamu kondominium itu.
Ruangan remang-remang. Jafar yang telah mengenal baik ruang-ruang di sana, melangkah tanpa ragu menuju kamar utama yang dihuni Sisca.
Melihat Sisca tergolek hanya mengenakan lingerie warna merah menyala, kontras dengan kulit putihnya, bagaikan porselen yang dipahat indah.
Jafar begitu bergelora melihat pemandangan didepannya. Nafsu bejatnya membuncah.
Jafar setengah melompat, menyergap Sisca, meciuminya dengan buas, tangannya meremas sana sini tak terkendali.
“Indah banget tubuhmu...” Desah Jafar sambil terus mencium dan menghisap.
Sisca terbangun, dia memang telah mempersiapkan diri untuk momen-momen yang tak terduga seperti ini.
Mereka bergumul dengan ganas dan penuh gairah. Teriakan-teriakan Sisca tidak bisa dibendung, diselingi dengan lenguhan dan erangan.
Satu jam kemudian, Jafar dan Sisca terkapar dalam ketelanjangan, titik-titik peluh nampak pada keduanya.
“Bukannya kamu mau kawin pagi ini?”. Sisca tidak tahan untuk bertanya.
“Merpatiku di culik Bramantyo keparat.” Makinya.
Sisca terduduk kaget.
“Hah? Bagaimana bisa? Tahu dari mana kalau yang nyulik Bramantyo? Dia lagi di Hongkong.” Pertanyaan Sisca beruntun saking herannya dan tidak percaya.
“Siapa lagi kalau bukan dia.” Jawab Jafar pendek sambil memejamkan matanya.
Tak lama terdengar dengkuran halus dari mulut Jafar.
“Aah Sialan. Langsung tidur aja lo.” Sisca memukul Jafar dengan bantal.
Sisca turun dari ranjangnya, Hawa terasa panas. Pipinya memerah karena pertempuran tadi. Pertempuran yang memuaskannya.
Sisca meraih handphone untuk memeriksa laporan dari orang-orang yang disuruhnya.
“Aargh shit.. Kerja apa tidak sih mereka? Masa gak ada laporan sama sekali” Keluh Sisca sambil melempar handphonenya.
Dia merasa kalah langkah dari Bramantyo. Belum diberi informasi olehnya, Bramantyo sudah bergerak cepat mengambil Alisha.
“Kenapa perempuan itu sangat disukai Bramantyo?” Keluhnya.
“Apa kelebihan anak sampah itu, sampai-sampai orang se-level Bramantyo menyukainya? Dan Jafar yang sangat jago bermain di ranjangpun tergila-gila sama perempuan sampah itu.” Sisca membathin.
Dia kembali meraih handphonenya.
Mencari poto-poto Alisha yang pernah dikirimkan oleh orang yang disuruh mencari tahu tentang Alisha.
Selain penampilannya yang norak, memang Sisca harus mengakui, Alisha punya kecantikan alami yang memikat.
Emosi membuncah di dadanya. Keinginan untuk melenyapkan Alisha semakin kuat. Sisca pantang disaingi.
Dia akan mencari tahu, dimana Bramantyo menyembunyikan Alisha. Sudah saatnya dia kembali merancang pembunuhan.
“Kalian memang orang-orang sampah harus berkumpul segera di akhirat.” Geram Sisca.
......
Bramantyo telah menyiapkan baju berkabung untuk Alisha dan pakaian lainnya. khusus pesan kepada designer ternama, lengkap dengan tas, sandal, sepatu juga dompet dan selendang.
Pesanan sampai tepat jam tujuh pagi, diantar oleh salah satu pengawal Bramantyo.
Meilani ternganga melihat pakaian-pakaian itu. Pakaian yang sangat bagus yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Meilani memilihkan baju berkabung, gaun warna putih semata kaki, bahannya sangat halus dan jatuh, dihiasi renda-renda pada setiap ujung bahan, bagian pinggang ada lilitan warna gading s**u yang cukup besar. Memberi kesan kemewahan.
Tidak lupa, Meilani menyampirkan selendang berwarna senada pada kepala Alisha dan melilitkan ujungnya pada leher belakang melalui bahu Alisha.
Sebelumnya Meilani mendandani Alisha. Membubuhkan pelembab pada wajah Alisha, memoleskan sunscreen, menutup sedikit lingkaran hitam dimata Alisha dengan Consealer, menambahkan mascara tipis-tipis sebab bulu mata Alisha panjang dan lentik.
Terakhir, membedaki Alisha dengan bedak two way cake dan memoleskan lipstik warna pink muda di bibir Alisha.
Hanya dengan riasan sederhana, Hasilnya Alisha tampak lebih keren dari artis papan atas.
Rambutnya diikat cepol ke belakang, dengan menyisakan sedikit rambut terurai di samping kiri dan kanan yang jatuh ke pipinya.
Setelah semua siap, Meilani menggandeng Alisha keluar dari kamar, menuju meja makan.
Fado sedang bicara dengan Bramantyo, tiba-tiba tertegun melihat kedatangan Meilani dan Alisha. Fado merasa pangling dengan Alisha.
Melihat Fado yang tertegun, Bramantyo menoleh ke belakang dan terkesiap.
Sambil merasa gugup, Bramantyo berdiri menyambut Alisha, menarik salah satu meja makan untuk Alisha. Mempersilahkan duduk dengan pandangan mata tidak lepas dari Alisha.
Alisha yang memang bawaannya super cuek, tidak perduli dengan orang-orang yang melihatnya penuh kekaguman, penuh puja puji yang pada ujungnya berakhir dengan melakukan pelecehan.
Alisha sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan para pria dihidupnya.
Alisha duduk dengan tegak dan anggun. Benar-benar laksana Dewi. Wajahnya tanpa ekspresi. Tidak ada senyum. Hanya anggukan kepala ringan tanda dia siap untuk sarapan pagi.
Bramantyo menyendok sedikit nasi goreng, mengambil lauk pauk lengkap dengan sayuran lalu menyodorkannya pada Alisha.
"Terimakasih." Ucap Alisha pelan tanpa menoleh pada Bramantyo.
Meilani dan Fado sangat heran dengan sikap Alisha yang dingin kepada orang yang jelas-jelas menolong hidupnya.
Alisha menggeser piring yang berisi nasi goreng, lalu mengambil piring kosong yang lebih kecil, mengisinya dengan setangkup roti tawar, mengolesinya dengan mentega dan coklat.
Sikap Alisha sangat mengejutkan Meilani, sampai Kaki Alisha ditendang pelan oleh Meilani sambil melotot kepada Alisha.
Alisha hanya melirik Meilani sekilas, tidak perduli. Alisha mulai memakan rotinya pelan-pelan.
"Baiklah, nasgornya untukku saja." Bramantyo memecah ketegangan dengan nada ringan.
mereka sarapan dalam diam.
Meilani merasa tidak enak hati pada Bramantyo atas sikap Alisha. Tapi Bramantyo terlihat santai tidak terpengaruh sama sekali oleh sikap Alisha kepadanya.
Selesai sarapan, mereka bersiap berangkat ke makam.
Tujuh macam bunga untuk ditaburkan di makam telah disiapkan, begitupun dengan botol-botol kemasan berisi air mineral.
Masing-masing orang diberi keranjang rotan berisi bunga. Tidak terkecuali Bramantyo.
Mereka ber-empat masuk ke dalam mobil Pajero sport yang biasa dipakai oleh Praja.
Perlahan mobil meninggalkan paviliun, diringi para pengawal di depan dan belakang mobil pajero sport.
Pengawal lainnya telah bersiaga di area makam tanpa mencurigakan penduduk sekitar.
Banyak pesan masuk ke handphone Bramantyo, namun Bramantyo tidak ingin terganggu saat-saat kebersamaan dengan Alisha yang membisu.
Dada Bramantyo selalu berdebar tiap melihat Alisha.
Berdekatan dengan Alisha bagaikan candu baginya. Sedetikpun Bramantyo enggan jauh darinya.
Sesampainya di makam, banyak penduduk yang berbondong-bindong datang untuk melihat rombongan tiga mobil yang datang ke makam.
Situasi agak tidak kondusif untuk Bramantyo.
Meilani di suruh turun duluan disusul oleh Alisha. Para pengawal sudah berdiri rapat untuk memblok mata para penduduk dari Alisha. Mereka seperti menggiring Alisha dan Meilani.
Berbeda dengan Alisha yang super cuek, Meilani justru celingukan, perasaannya tidak menentu, di kawal oleh para pengawal seolah dia orang yang sangat penting, membuat Meilani merasa bangga dan ingin pamer kepada penduduk yang notabene adalah tetangganya sendiri.
Alisha bersimpuh di pusara Neneknya. Dia membaca nama neneknya. Alisha menatap pusara dengan sinar mata yang hidup. Seakan-akan dia sedang berkomunikasi.
Perlahan air mata jatuh di pipi Alisha yang pucat. Butiran bening itu seakan menggambarkan segala macam luka bathin Alisha.
Tiga puluh menit berlalu, Alisha masih menatap pusara. Meilani mengingatkan Alisha untuk menabur bunga. Alisha mengangguk tanda setuju.
Satu persatu, bergantian, mereka menaburkan bunga sambil berdoa disusul dengan mengucurkan air secara merata di sepanjang makam.
Mereka berdiri bersiap-siap untuk meninggalkan makam. Alisha mematung, menatap Meilani dan Bramantyo bergantian.
Seperti di komando, Meilani dan Bramantyo mendekat kepada Alisa berbarengan.
"Aku sudah ikhlas dan rela menerima kepergian nenek." Alisha membuka suara.
"Meskipun aku sebatang kara, tidak punya siapa-siapa lagi." Lanjut Alisha dengan sinar mata yang tajam, masih melihat kepada Meilani dan Bramantyo bergantian.
"Kalian sama sekali tidak boleh mengasihaniku, setelah ini, aku tidak akan ikut kamu, Mey.. juga tidak akan mau terus menerima bantuan darimu, kang ganteng."
"Tapi aku menghargai kalian, aku akan pergi untuk mangadu nasib, bertanggung jawab pada diriku sendiri, setelah kalian ijinkan." Tutur Alisha.
Tidak tampak keraguan pada Alisha. Meilani tahu dia harus diam saat ini. Karena kalau dia protes sekarang, maka pertengkaran akan terjadi seperti yang sudah-sudah.
Bramantyo menoleh ke arah Meilani. Bramantyo heran, kenapa Meilani hanya diam saja. Meilani adalah sahabatnya tentu dia paham harus berbuat apa.
Bramantyo ikut berdiam diri.
"Tidak ada yang protes, berarti kalian setuju. Mari kita kembali ke rumah kang ganteng." Kata Alisha dengan ringan sambil melangkah melewati Meilani dan Bramantyo yang masih bengong.
"Kang ganteng?" Bathin Bramantyo sambil tersenyum.
Di dalam mobil menuju paviliun, tidak ada yang bersuara. Semua diam sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Alisha merasakan kepedihan yang dalam, tapi tidak ingin orang lain mengetahuinya, terlebih Meilani yang sedang mengandung. Dia tidak ingin Meilani stress yang akan berakibat buruk pada janinnya.
Dia juga tidak ingin membebani lelaki ganteng yang telah sangat baik kepadanya.
Meilani sangat mengerti sahabatnya. Dia tahu kalau Alisha pura-pura tegar. Dia juga tahu Alisha begitu karena tidak ingin membuatnya sedih.
Fado memikirkan dagangannya yang pasti pada membusuk. Dia harus segera pulang ke kota.
Bramantyo hatinya senang bukan kepalang, mendengar kata kang ganteng dari bibir ranum kekasih hatinya. Di samping itu, dia juga tidak sabar ingin segera melihat laporan-laporan dari lapangan mengenai peekembangan Jafar, Sisca dan yang lainnya.
Praja membawa mobil memutar-mutar dulu. memasuki jalan raya, bergerak sejauh tiga kilometer lalu putar arah.
Memasuki perkampungan lain yang jalannya berbatu.
Ini harus dilakukan untuk antisipasi kalau-kalau ada yang mengikuti mereka.
Empat puluh lima menit kemudian mereka baru sampai paviliun.
"Lisa, aku mau pamit dulu sama emak dan bapak, beresin barang-barangku lalu kesini lagi ya." Meilani pamit kepada Alisha.
"Baiklah, salam buat emak dan bapak, maaf belum bisa nemuin. Aku pasti gak bisa ikut kan?" Kata Alisha sedih.
"Ya, untuk amannya begitu." Jawab Meilani.
"Biar diantar supir." Bramantyo menyambar, memotong obrolan mereka.
"Aku akan nemenin kamu beberapa hari Lisa. Fado pulang ke kota." Kata Meilani.
"Terimakasih mey.. kamu memang yang terbaik." Alisha tersenyum senang.
Bramantyo mengantar Alisha ke kamarnya.
"Istirahat ya, aku ada pekerjaan yang harus diurus. kita ketemu saat makan siang, ok?" Kata Bramantyo kepada Alisha.
Alisha hanya mengangguk dan menutup pintu kamar.
Bramantyo bergegas ke kamar tamu, membuka laptopnya.
Laporan dari team labolatorium forensik;
Pencocokan data : Dua sidik jari. Pemilik sidik jari yang pertama seorang dokter bernama Mustafwan. Dari rumah sakit Pelita. Di duga dokter itulah yang mengisikan racun ke dalam pipet.
Pemilik sidik jari ke-dua adalah Hilman, seorang drop out dari militer. Pekerjaan sebagai keamanan di sebuah diskotik kelas menengah.
Laporan mengenai rekening bank masing-masing. Keduanya menerima sejumlah uang yang cukup besar sebanyak dua kali transfer. Total masing-masing dua ratus juta dan tiga ratus juta.
Transfer pertama dua hari sebelum pembunuhan. Yang ke-dua di hari pembunuhan pada sore harinya.
transfer melalui setoran tunai. Tidak ada nama pengirimnya.
Team meminta rekaman CCTV bank tersebut dengan membawa surat dari kepolisian.
Tayangan slide dari CCTV bank.
Seorang pria telah datang dua kali ke bank. Sebelum pembunuhan dan di hari pembunuhan.
Bramantyo terhenyak. Dia sangat mengenali orang tersebut.