Temuan Tak Terduga

3164 Words
Seorang wanita tengah baya, mengayuh sepeda dengan perlahan. Membawa sekantung belanjaan sayur mayur yang dikaitkan pada stang sepedanya. Memakai celana panjang kain dan T-shirt yang kebesaran. Namanya Suminah. Sudah dua hari ketitipan seorang gadis cantik dari kota dalam keadaan sakit. Dia bertugas untuk merawat dan menjaga gadis tersebut yang tiada lain adalah Alisha Diandre. Terlalu banyak instruksi yang diberikan kepada Suminah. Dia terpaksa harus menjalaninya, termasuk merahasiakan bagaimana gadis itu bisa berada di desanya, karena dia dibayar mahal untuk itu. Alangkah terkejutnya Suminah ketika melihat sosok Alisha Diandre yang sedang celingukan dengan mimik kebingungan di luar rumah. Buru-buru Suminah mengayuh sepedanya agar cepat sampai untuk menegur Alisha. "Marni, kenapa kamu keluar kamar? kamu harus masuk dan menunggu bibi datang." Kata Suminah setengah menghardik. Alisha terkejut mendapat hardikan tiba-tiba, dan bibi itu memanggilnya Marni? "Maaf bi, saya Alisha dan saya tidak tahu saya berada dimana?". Terbata Alisha menjawab. Alisha merasakan firasat buruk. Alisha merasa sangat ketakutan. "Masuk!". Kali ini Suminah benar-benar membentak Alisha. Alisha terdiam, tapi dia tetap masuk kedalam ruangan sambil menunggu Suminah ikut masuk. Tak lama setelah Suminah memarkirkan sepedanya dan membawa bungkusan belanjaan, Suminah ikut masuk dengan raut wajah kesal dan khawatir akan sesuatu. "Siapapun kamu, disini nama kamu adalah Marni. Paham?" Suminah berkata setelah menutup pintu dan berdiri tepat di depan Alisha. "Tolong beritahu, saya ada dimana, bibi siapa, Bagaimana saya bisa berada disini dan kenapa saya ada disini bi?". Tanya Alisha menahan rasa kesal yang mulai menjalar. "Kamu tidak usah banyak tanya. Tugas kamu di sini hanya tidur, makan dan jangan keluar rumah." Jawab Suminah ketus. "Bisa tolong gak bicaranya dengan cara baik bi?". Alisha memohon dengan suara bergetar. "Tidak ada yang perlu dibicarakan baik-baik. Kehadiran kamu jangan sampai menambah malapetaka lain. Sekarang masuk kamar!." Teriak Suminah memerintah sambil mengacungkan telunjuknya ke arah kamar yang di tempati Alisha. Alisha menatap tajam ke arah Suminah, perlahan tubuhnya berbalik dan melangkah ke kamar. Suminah terpana mendapat tatapan tajam yang dingin menantang dari Alisha. Selama ini, belum pernah ada siapapun yang berani bersikap seperti itu padanya. "Siapa sebenarnya gadis cantik ini?". Suminah membathin. Suminah beranjak ke arah dapur melewati kamar Alisha. Tugasnya sekarang ini adalah memasak untuk Alisha. Setelah mempersiapkan semua bahan masakan, Suminah berjalan menuju halaman belakang. Dari saku celananya dia mengeluarkan handphone dan memencet satu tombol yang langsung tersambung. "Ya?". Suara dari ujung telepone "Perempuan ini bukan penurut. dia terlalu berani. Bibi takut akan menjadi masalah besar kalau dia tetap disini." Suminah membuka pembicaraan langsung ke intinya. "Jadi masalah atau tidak, tergantung bibi. Bersikap manis maka tidak akan jadi masalah. Ngerti?". Yang ditelepone seakan paham dengan apa yang telah terjadi. Mendengar itu, Suminah cemberut. Hatinya panas. Apa daya dia tak bisa membantah. Telepone pun terputus. Alisha duduk ditepian kasur, dia berusaha membuang rasa bingungnya supaya bisa berpikir jernih. Dia butuh jawaban satu persatu, terutama butuh kabar tentang neneknya. Alisha mencoba berbaring dengan rileks, memejamkan mata lalu mengingat-ngingat peristiwa sejak dia terdampar di rumah sakit dengan ruangan sangat mewah, serta lelaki tampan yang menyediakan dirinya secara suka rela menjaga Alisha siang malam. ...... Hari ini adalah hari perayaan suksesnya pembangunan kota satelit terbesar di negara ini. Acara yang telah dirancang dan disiapkan lebih dari tiga bulan lalu, akan menampilkan kolaborasi antara dua perusahaan raksasa yang mana masing-masing perusahaan diwakili oleh dua CEO muda yang sangat populer. Bramantyo Laksono dan Sisca Wardoyo. Tentu saja kehadiran mereka sangat ditunggu-tunggu oleh berbagai kalangan, terutama yang mempunyai kepentingan, seperti para pejabat tinggi, anggota dewan, para investor, tidak ketinggalan entrepreneur-entrepreneur dari seluruh pelosok negri. Sementara para pegiat media dan masyarakat umum lebih tertarik terhadap dua sosok muda tersebut. Bramantyo Laksono, selain statusnya sebagai CEO di perusahaan multi properti, dia juga anak pertama dari konglomerat ternama yaitu Catur Laksono, pemilik tunggal beberapa pulau penghasil aneka tambang dengan tekhnologi mutakhir. Terlahir dari seorang wanita keturunan jerman, yang kerap muncul diberbagai media sebagai ketua pengusaha wanita. Selain berparas cantik, Anastasya juga piawai mengelola bisnis sampai ke manca negara. Bramantyo berperawakan tinggi, mempunyai garis wajah tegas dan pandangan mata yang dingin menusuk, membuat siapapun akan segan kepadanya. Secara keseluruhan, Bramantyo tidaklah begitu tampan, namun ganteng menarik. Sisca Wardoyo, seorang Arsitek, putri tunggal salah satu konglomerat juga. Dipercaya oleh ayahnya Dirga Wardoyo untuk membawahi perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi. Wajahnya yang elok dengan tubuh tinggi dan sintal, membuat semua mata pria tidak mampu berkedip. Sisca sangat populer, selain bergaul dengan sosialita lainnya, dia aktif di media sosial, membagi cerita melalui poto-poto dirinya. ..... Waktu menunjukan pukul enam pagi, Sisca Wardoyo telah sampai di kediaman keluarga Bramantyo. Supir membukakan pintu. Sisca keluar dari mobil, berjalan perlahan menyusuri tanaman perdu yang dibentuk sangat rapi. Lalu dia berbelok ke arah kolam renang karena tujuannya langsung menuju ruang makan keluarga. “Selamat pagi non.” “Selamat pagi nona Sisca.” “Selamat pagi..” Para pelayan rumah yang melihat kehadiran Sisca menyambut dengan ucapan selamat pagi yang hanya dibalas dengan acuh tak acuh Sisca. Sesampainya di ruang makan, Sisca menarik salah satu kursi dan duduk disana. Biasanya ada pelayan yang sibuk menata meja, namun sekarang tidak tampak satupun pelayan di ruang makan. Sisca kembali berdiri, mengambil gelas besar dan mengisinya dengan air mineral. Lalu mengambil baki dan menatanya dengan serbet tangan. Lalu melenggang keluar dengan hati berbunga. Sisca tahu kebiasaan Bramantyo ketika pagi harus meminum air mineral. Sisca memencet tombol lift untuk naik kelantai empat. Kamar Bramantyo dilantai empat di rumah orang tuanya ini. Sisca mengetuk pintu yang berukuran besar dengan alat pengetuk pintu yang dihiasi ornamen klasik. “Masuk”. Suara Bramantyo terdengar. Sisca memegang handle pintu dan menekannya ke bawah, menyusupkan kepalanya pada sela pintu sebelum membukanya selebar tubuhnya. Bramantyo sedang duduk di sofa masih mengenakan piyama bernuansa biru sambil menatap laptopnya. Sisca menutup pintu, lalu berjalan perlahan dan duduk tepat diaamping Bramantyo. “Morning arjunaku”. Sapa Sisca ceria. Bramantyo yang terkejut tanpa sadar menjatuhkan laptopnya seiring dia bangkit berdiri dan menghadik. “Siapa yang suruh kamu masuk kamarku?”. Teriak Bramantyo, “Keluar. Keluar!”. Usirnya dengan nada tinggi. “Maaf, bukan maksudku bikin kaget kamu, mas..” “Keluar sekarang juga.” Ucap Bramantyo sedikit merendahkan suaranya, sambil berjalan ke arah pintu untuk membukakan pintu. “Ya aku keluar, tapi kita butuh bicara lho buat acara nanti malam.” “Bicara diluar saja.” Jawab Bramantyo tegas tanpa melihat kepada Sisca. Bramantyo membanting pintu tepat ketika Sisca hendak berbalik. Bruugh.. Sisca terlonjak menghindari wajahnya menabrak daun pintu. “Sialan banget nih orang lama-lama.” Sisca merutuk kesal. Bramantyo sedikit menyesal telah berlaku sangat kasar dengan membanting pintu. Tapi hatinya begitu kesal melihat Sisca, teringat akan Alisha. Meskipun tidak ditemukan bukti-bukti atas menghilangnya Alisha pada Sisca, hatinya tetap merasakan suatu kejanggalan. Dan itu membuatnya sangat kesal. ....... Sebuah mobil Pajero sport setia membuntuti mobil ambulance yang mengantar jenazah. Dua jam telah berlalu dari sejak Praja menjemput Meilani dan Fado di pasar tempat mereka bekerja. Ambulance memberi tanda untuk berbelok ke kanan, diikuti oleh mobil yang ditumpangi Praja. Memasuki jalan kecil yang hanya muat untuk satu mobil searah. Jalan kecil itu berkelok-kelok dan terus menanjak naik. Beruntung jalanan mulus beraspal. Pemandangan didominasi warna hijau yang sejuk, hamparan kebun teh yang kadang berceruk mengikuti kontur tanah pegunungan, sangat memanjakan mata bagi siapapun yang melihatnya. Tiba-tiba Praja tertegun setengah terkejut. Diatas bukit dia melihat landscape gedung yang sangat dia kenali. Meskipun tampak kecil, tapi Praja menyadari bahwa gedung megah itu adalah Vila keluarga Bramantyo, dan tentu saja, perkebunan Teh ini adalah juga milik keluarga Bramantyo yang dikelola oleh saudara sepupu Bramantyo. “Ternyata Alisha berasal dari daerah sini.” Gumam Praja tanpa sadar. “Maaf, tadi bapak menyebut Alisha? Bapak kenal Alisha? Dimana dia pak? Kenapa Alisha tidak ada saat neneknya meninggal?”. Berondong pertanyaan Meilani. “Mbak Mei, seperti yang tadi saya bilang, kita akan bicarakan setelah pemakaman.” Jawab Praja lembut tapi tegas. Meilani cemberut, jemarinya makin erat menggenggam tangan Fado. Teringat kejadian tadi pagi, saat Meilani sedang melayani pelanggan di kiosnya, ada telepone masuk dari nomor tak dikenal. Seketika Meilani tidak enak perasaan. Terlebih sudah sebelas hari dia kebingungan atas menghilangnya Alisha dan neneknya secara misterius. “Halo?!”. Meilani menjawab telepone. “Dengan mbak Meilani? Saya Praja dari rumah sakit Sehatwaras. Saya membawa jenazah Ibu Hamidah yang perlu segera dimakamkan... Halo? Mbak Mei?”. “Saya sedang dijalan untuk menjemput mbak dan suami, jenazah akan dibawa ke kampung halaman Ibu Hamidah. Mohon mbak siap-siap.” Sambungan telepon terputus. Meilani tertegun, sampai harus dipanggil dengan teriak hingga membuatnya sadar. “Nenek Hamidah meninggal.” Meilani berkata dengan nada rendah dan serak. Seketika Fado langsung bersiap, meminta para pelanggannya untuk ke tempat lain, dan tergesa-gesa menutup kiosnya. Tidak lama kemudian muncul Praja dengan penampilan necis yang sangat kontras dengan keadaan sekelilingnya. Praja mengangguk ke arah Meilani dan Fado. “Sudah siap? Mari berangkat. Untuk hal-hal lainnya nanti kita bicarakan setelah pemakaman ibu Hamidah.” Praja bicara sambil setengah membungkuk hormat. “Tolong berikan alamatnya kepada supir Ambulance”. Kembali Praja berujar kepada Meilani. Meilani menurut saja, lututnya terasa lemas. Berbagai pertanyaan ingin rasanya langsung dilontarkan, tapi dia menahan diri. Dengan digandeng Fado, mereka melangkah keluar pasar, diikuti oleh puluhan pasang mata yang merasa heran dan bertanya-tanya. Suasana mendadak hening. Meilani terbangun dari lamunan, ketika merasa mobil telah berhenti. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, berharap melihat Alisha disana. Tapi tidak ada siapa-siapa selain tetangganya dan kedua orang tuanya yang berlari ke arah Ambulance. ...... Percakapan w*****p : 9.18. Praja : Bos, ternyata kampung Alisha tetangga bos. Petunjuk? Bos : Stay disitu satu dua hari. Selidiki sampai dapat info akurat. Praja : Siap Lima menit kemudian Bos : Dua jam setelah acara, ketemu di Vila. Praja : Siap Bos : Hubungi yang lain Praja : Yang siap 7 bos. Tambah? Bos : Ya. 9.23. Ibu bos : Sudah sampai? Praja : sudah, bu Ibu bos : Ok. 9.24. Praja : Sisir area radius 15km Praja : Gunakan gudget. No interview. All : Laksanakan. ..... Alisha ketiduran dan mimpi buruk, Dalam mimpinya dia ketemu nenek tapi dia tidak bisa menyentuhnya, Bahkan tubuh nenek perlahan menjadi transparan. Alisha menangis sambil bertanya, “Nenek kenapa? Nenek kenapa? Nenek kenapa?”. Rasa panik yang luar biasa membangunkan Alisha dari mimpinya. Udara begitu sejuk cenderung dingin dan kering. Alisha keringatan. Hatinya merasa hampa seakan dia merasakan sebuah kehilangan. Alisha bangkit, melihat sekeliling. Di meja tempat air minum berada, tampak ada tudung saji warna biru pudar. Tapi Alisha tidak tertarik meskipun perutnya lapar. Alisha ingin buang air kecil dan butuh membasuh diri. Lalu dia berjalan ke arah pintu dan mendorongnya. Pintu tak bisa dibuka. Alisha berusaha mengeluarkan tenaga untuk mendorong pintu yang tidak mempunyai pegangan pintu itu, namun pintu bergeming. Seketika Alisha panik. “Bi.. bibi.. Tolong buka pintunya bi, saya mau ke kamar kecil.” Seru Alisha sambil menggedor-gedor pintu yang terbuat dari anyaman kayu. “Braak, braak”. Bunyi pintu dipukul dari luar. Alisha terkejut langsung mundur dua langkah. “Jangan teriak-teriak. Disitu ada kamar kecil dibalik lemari. Awas berani teriak lagi.” Braak. Pintu dipukul lagi sekali. Alisha menghela nafas, sekarang dia yakin bahwa dia berada dalam bahaya besar. Tapi kenapa? Alisha segera melangkah mendekati lemari kayu yang nampak kokoh. Wajahnya yang pucat dan kurus melongok ke belakang lemari. Benar saja, di sana ada kamar kecil darurat. Kamar kecil yang sengaja dibuat baru-baru ini. Saluran pembuangan hanya galian tanah di bentengi batu-batu ukuran besar. Air di salurkan melalui pipa entah dari mana. Ada ember plastik hitam yang tebal serta gayung untuk menampung air. Melihat saluran pembuangan seperti itu, Alisha yakin bahwa dia tidak akan lama ditempatkan disana. Entah oleh siapa. Alisha segera membasuh dirinya menggunakan sabun batang yang masih utuh terbungkus plastik lengkap dengan sikat gigi dan pasta gigi baru. Lalu meraih handuk tipis dari gantungan tali yang dibentangkan dari samping lemari sampai dinding kayu alih-alih pintu kamar mandi. Alisha mengenakan kembali pakaiannya, T-shirt dan celana jeans. Entah baju milik siapa dan entah siapa yang memakaikannya pada tubuhnya, dia tidak perduli dan tak ingin memikirkannya sekarang. Alisha memeriksa jendela. Mencoba membukanya, tapi tidak mungkin bisa terbuka. Alisha menatap putus asa pada palang-palang jendela yang berpaku rapat. “Lakukan sesuatu Alisha, lakukan sesuatu..” Gumam Alisha bicara sendiri. “Apakah harus membuat tanda untuk meminta tolong? Karena pasti ada orang yang lewat sini.” Sambungnya. “Tolong aku nenek, tolong aku..” Alisha merengek, tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Alisha melihat ke sekeliling, mencari kertas dan pensil atau balpoint. Membuka laci-laci meja. Kosong. Tidak ada benda apapun. Alisha membuka lemari yang menjadi penghalang kamar mandi darurat. Ada setumpuk baju masih baru, Alisha membuka satu persatu tumpukan baju dan menemukan sebuah amplop. Tanpa pikir panjang Alisha meraih amplop itu lalu melihat ada namanya tertulis di sana. Alisha Diandre Tangan Alisha gemetar, ada kabar apa di dalam amplop ini. Ujung amplop di sobeknya, benar saja di dalamnya ada secarik kertas terlipat. Alisha mengeluarkan kertas dan segera membukanya. Tulisannya diketik rapi, bukan tulisan tangan dan tidak ada tanda tangan maupun nama pengirimnya. Alisha, Waktu kamu sudah tiba, bersiaplah. Gunakan waktu yang ada untuk beristirahat dengan baik, makan yang teratur dan merawat diri. Isi suratnya pendek. Alisha semakin bingung, waktu apa? Siapa? Alisha semakin panik. Kalau disuruh makan teratur artinya bibi akan mengantarkan makan sehari tiga kali. Berapa banyak waktu Alisha untuk menjalankan rencananya meminta tolong entah pada siapa? Alisha membuka laci yang ada di lemari. Kosong juga. Alisha putus asa, memegang kepalanya dan terduduk lemas di ubin. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di kolong meja. Secercah harapan timbul, Alisha merangkak kearah meja, semakin dekat semakin yakin kalau benda itu adalah lipstik pemerah bibir. Senyum mengembang pada bibir Alisha, meraih lipstik dan buru-buru menariknya menjadi dua, ternyata lipstiknya sudah hampir melesak ke dalam lubang. Alisha meraih amplop, lalu mengorek lipstik dengan jari kelingkingnya dan menorehkan huruf demi huruf diatasnya dengan susah payah. P L E H Setelah yakin bisa terbaca, Alisha mendekati jendela, di bagian atas ada kisi-kisi jendela, Alisha berusaha mengaitkan amplop panjang itu diantara kisi jendela, lalu menautkannya pada sela-sela kayu supaya amplopnya bisa berdiri. Terdengar suara dari luar pintu seperti sesuatu yang digeser, Alisha berlari ke kamar mandi darurat, meraih sabun dan mencuci tangannya dengan kasar. Alisha tidak ingin ketahuan atau meninggalkan jejak dia telah berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya. Bibi Suminah masuk kedalam membawa nampan berisi makan siang. "Katanya sakit, disiapin makan malah gak dimakan." Suminah mengomel. Suminah melirik ke arah kasur, dimana ada lipstik dan secarik kertas. Suminah menghampiri kasur dan meraih kertas lalu membacanya. Senyum samar tampak di wajah Suminah. "Dasar gadis genit, nemu surat begini langsung pakai lipstik. memangnya bakal dijemput hari ini? Ha ha ha." Suminah terkekeh dengan nada mengejek. Kemudian Suminah pergi meninggalkan ruangan, membawa nampan sarapan pagi yang tidak disentuh oleh Alisha. Alisha menekan dadanya yang berdegup kencang, dibalik rasa lega karena tidak ada kecurigaan dari bibi, "Dasar bodoh, bisa-bisanya lupa membereskan barang-barang itu." Alisha merutuki dirinya sendiri. "Dijemput siapa?" Tanya Alisha pada dirinya sendiri. Alisha merasakan sebuah firasat buruk, yang membuatnya semakin merasa panik. Alisha mencoba menyantap makanan yang terhidang, walaupun rasanya tidak karuan, namun dia bertekad, tubuhnya harus kuat. Untuk mengantisipasi segala sesuatu yang mungkin timbul. ....... Bramantyo menghampiri Sisca yang tengah duduk di kursi balkon menunggu dirinya. "Kalau ada yang perlu dibicarakan, cepat katakan, hari ini aku sibuk." Bramantyo membuka pembicaraan sambil meraih kursi untuk duduk. "Mas, pagi ini aku mau fitting baju buat acara malam, mas antar aku ya? deket kok tempatnya." Rajuk Sisca "Ada urusan apa aku harus anter kamu?" Jawab Bramantyo diluar dugaan Sisca. "Lagipula biar kita berdua tampil di muka umum terlihat serasi aja mas." Ujar Sisca melantur tidak nyambung. "Udah selesai bicaranya? oya, maaf yang tadi banting pintu, gak sengaja." Ujar Bramantyo sambil bangkit berdiri. "Mas..". Sisca meraih tangan Bramantyo untuk mencegahnya pergi. "Mas bersikap kaya gini ke aku, gara-gara perempuan itu kan?" Sisca setengah menangis "Apa dia ada di rumah ini?". Lanjutnya. Bramantyo menatap lekat bola mata Sisca dan melihat mimik wajah Sisca. Seketika Bramantyo yakin, bukan Sisca yang menculik Alisha. Tapi Bramantyo tergoda untuk bermain-main. "Tentu saja disini, bersamaku." Jawab Bramantyo dengan yakin. "Dia disini, bersemayam di lubuk hatiku dan tak akan pernah pergi." Bathin Bramantyo. Sisca terbelalak. "Tega kamu mas. Tega kamu perlakukan aku seperti ini." Sisca meraung dengan keras. Bramantyo terpaku tidak mengerti, apa yang telah dibuatnya hingga Sisca meraung seperti itu? Bramantyo hendak berlalu, tiba-tiba dia ingat kalau Sisca suka bertindak nekat. Bramantyo menarik tangan Sisca dan menyeretnya masuk ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam lift. Sementara Sisca terhuyung-huyung dan masih menangis. Bramantyo menarik Sisca keluar dari Lift, lalu membawanya ke ruang makan. Disana ada Catur Laksono dan Anastasya serta Ajeng Laksono. Ketiganya ternganga melihat Bramantyo menyeret Sisca yang sedang menangis tersedu-sedu. Bramantyo menarik salah satu kursi, lalu mendudukkan Sisca disana. "Mom, tolong urus dia, aku sibuk." Kata Bramantyo kepada Ibunya. "Pap, aku jalan dulu, Jeng, sampai nanti. Thanks Mom.". Bramantyo memborong sapa dalam satu kalimat. "Ya ya." Jawab Catur Laksono sambil menggelengkan kepala. Ajeng Laksono hanya menganga melihat pemandangan aneh didepannya. Anastasya setengah memelototi Bramantyo namun tidak mengucap satu patahpun kata. Bramantyo melesat pergi. ....... 11.32 Pemakaman sudah selesai dilakukan. Praja segera pamit kepada orang tua Meilani bahwa dia akan langsung pulang setelah bicara dengan Meilani. Praja membawa Meilani dan Fado ke sebuah restoran yang agak sepi. mereka memilih tempat duduk di belakang supaya tidak menjadi perhatian orang. Setelah memesan makanan dan minuman, Praja mulai menceritakan bahwa Alisha korban tabrak lari, lalu diselamatkan oleh bos nya. Sampai neneknya dipindahkan ke rumah sakit. Lalu, dengan hati-hati Praja menceritakan penculikan Alisha tepat pada saat neneknya menghembuskan nafas terakhir. Praja tidak menceritakan perihal penyebab kematian Ibu Hamidah. Mendengar penjelasan dari Praja, Meilani tanpa aba-aba langsung pingsan di tempat. Fado terlihat panik dan berusaha membangunkan Meilani. Praja memanggil supir dan meminta Fado untuk membawa Meilani ke rumah sakit terdekat. Di halaman rumah sakit, Praja menerima pesan dalam bentuk poto yang sudah diperbesar. Sebuah amplop putih dengan tulisan P L E H berwarna orange kemerahan. Poto satu lagi, berhasil membuat Praja hampir melotot. Tulisan dengan huruf kapital; ALISHA DIANDRE. Segera pesan tersebut di forward kepada Bramantyo. 12.00 Bos : Ada di kampung? Praja : Belum pasti bos Bos : HELP? Praja : Sudah dalam pantauan Bos : Amankan Praja : Siap Praja bergegas menemui Fado. "Saya ada urusan, harus segera pergi. Meilani biar dirawat dulu di sini. Biaya rumah sakit sudah deposit." Praja memberitahu Fado. "Maaf jadi merepotkan." Jawab Fado dengan nada berterimakasih. "Tidak masalah. Yang penting Janinnya aman. Ini nomor telepone saya. Kabari kalau ada sesuatu." Kembali Praja bicara. "Terimakasih banyak Pak, terimakasih." Jawab Fado sambil menyalami Praja. Praja sampai di Vila keluarga Bramantyo. Menemui salah satu orang yang menemukan amplop bertuliskan PLEH. "Rumah itu sepi, tapi terdeteksi ada pergerakan orang di dalam, sepertinya sendiri." Lapornya. "Amplop ini ditemukan dibawah jendela. Yang aneh adalah jendela itu dipalang tiga dan dipaku cukup padat. Pemasangan palang seperti baru dilakukan." Tambahnya. "Berapa orang yang standby? luas tanah dan rumahnya berapa meter kira-kira?" Tanya Praja. "Saat ini lima orang untuk tiap sudut. Rumahnya kira-kira tujuh puluh meteran, halamannya luas dan banyak pepohonan." Jawabnya sambil memperlihatkan seluruh poto-poto kepada Praja. "Yakin dia ada di dalam." Kata Praja. "Tambah personil lima, jaga jarak dengan yang didepan. Formasi full. Plan eksekusi. malam jam 9 bergerak." "Laksanakan." Jawab pelapor. "Tindak tegas kalau terjadi sesuatu. Burung harus diselamatkan." Praja memerintah. "Siap, Laksanakan." Setelah menerima perintah, pelapor segera pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD