6.Lelah

3044 Words
Pagi hari Sabrina sudah siap dengan setelan santainya untuk berangkat ke kampus hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi saat Sabrina melihat wanita paruh baya yang biasa membersihkan apartemen Ayaz. "Pagiii," sapa Sabrina ceria kepada wanita itu. "Eeh, pagi Non, udah mau berangkat Non??" "Uda Bik, Bibi udah dari tadi sampai??" "Sudah Non, Den Ayaz juga uda dari tadi berangkat, Non Sabrina mau sarapan dulu? biar Bibi siapin Non??" "Gak usah Bik, ini aja cukup," sambil menunjukkan roti tawar yang ia lapisi dengan selai coklat. Sambil membawa roti itu dalam genggamannya Sabrina pamit berlalu pergi. Hari sudah beranjak siang saat Sabrina dan kawan kawannya memutuskan untuk berkeliling disalah satu mall di kota Jakarta hari ini mereka hanya menghadiri satu kelas saja dan memilih menghabiskan waktu setelahnya, mereka baru saja keluar dari gedung bioskop yang berada disalah satu mall tersebut, mereka keluar mencari tempat makan untuk mengisi kebutuhan perut mereka yang sudah meronta ronta untuk di isi saat berjalan Sabrina bertemu dua wanita yang menyambutnya dengan senyuman dari kejauhan Sabrina merasa kikuk bertemu dua wanita tersebut ia berjalan mendekat untuk menghampiri kedua wanita itu. "Sabrina, Mama kangen banget sama kamu, kenapa gak pernah main kerumah si sayang??" tutur Hilda sambil berpelukan dengan Sabrina. "Mama ini kaya gak tau aja, pengantin baru itu ya begitu la Ma, gak suka diganggu, kalau bisa juga mereka bulan madu di pulau terpencil bukan begitu Sabrina??" Sabrina hanya tersenyum samar mendengar lelucon dari wanita cantik di samping mama mertuanya ini dia adalah Anaya kakak Ayaz yang berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam. "Bagus dong, biar Mama cepet dapet cucu." Sambil merangkul menantunya menatapnya dengan mata berbinar "Oh iya Sayang kamu kemari sama temen temen kamu? Ayaz gak ikut??" "Ahh, itu Mah, Ayaz sibuk katanya jadi aku pergi sama temen temen selesai jam kuliah habis Mah." "Oh begitu, ah anak itu kenapa bisa biarin istrinya yang cantik ini jalan sendiri sama temen temennya sih kalau ada yang naksir kamu kan mama yang pusing." "Mama bisa aja." "Kalian sudah makan siang??" Hilda bertanya kepada ketiga gadis itu yang dijawab dengan gelengan kepala mereka bersamaan. "Kenalin Ma, mereka sahabat sahabat aku, Vera dan Alisa." Disambut hangat oleh Hilda setelahnya mereka digiring menuju restoran jepang sesuai keinginan Ana. "Kalian gak masalah kan makan disini??" ketiga gadis itu hanya saling pandang lalu menggeleng antusias. "Gak papa Tante, malah kita seneng banget makan di restoran mahal gini sering sering juga boleh kok Tan," ucap Vera yang langsung mendapat sikutan tajam dari Alisa dibalas cengiran andalan Vera. "Kalian ini manis manis sekali, Tante suka liat nya." Wanita paruh baya itu tertawa menanggapi ocehan Vera menunjukkan kecantikannya diusia yang tak lagi muda. Sabrina lebih banyak diam ia merasa bersalah melihat kebahagiaan mertuanya tentang hubungan ia dan Ayaz. "Sayang kamu kenapa kok melamun??" Sabrina kaget saat lamunannya buyar akibat genggaman tangan wanita paruh baya di sampingnya. "Gak papa kok Ma." "Apa yang kamu pikirkan??" "Ahh itu..." Sabrina tampak bingung menjawab menatap kedua sahabatnya yang juga menatapnya seolah meminta pertolongan. "Tante, makanan Chaines favorit tante apa??" Vera mencoba mengalihkan perhatian wanita paruh baya itu. "Tante gak begitu suka, tapi Ana sangat menyukai sushi disini dia yang ingin makan disini, meskipun sudah sering mencoba lidah Tante tetap saja cinta rasa Indonesia." Hilda menjawab sambil terkekeh malu malu. mereka memesan banyak makanan dan memakan makanan itu sambil diselingi pembicaraan sesekali, Sabrina lebih banyak diam ia hanya menjawab seperlunya saja, setelah makan siang selesai Vera dan Alisa pamit undur diri sedangkan Sabrina dipaksa ikut bersama sang mertua, mereka masih duduk di area resto itu belum beranjak pergi. "Sabrina kalian menikah sudah hampir sebulan gak berniat berbulan madu??" Sabrina yang sedang minum langsung tersedak mendengar ucapan mertuanya. "Pelan pelan dong Sayang." Sambil mengusap punggung Sabrina sayang. "Ehhm sepertinya kami belum merencanakan hal itu Mah, Mas Ayaz sangat sibuk sekali pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan." jawab Sabrina asal. "Hemmm, anak itu selalu saja pekerjaan yang diutamakan, kalau begini bagaimana mama bisa cepat dapet cucu." "Mah, gak mesti bulan madu juga mereka bisa kasih cucu kok Mah, Mama gak usah risau," ucap Anaya yang sedari tadi disibukkan dengan ponsel dalam genggamannya. "Coba kamu telpon dia sekarang Ana. Mama mau ngomong sama dia," Ana langsung menekan nomor Ayaz terdengar bunyi nada sambung yang tak kunjung dijawab Sabrina sendiri berdebar menunggu seseorang diseberang telepon itu sampai suara berat itu terdengar menjawab panggilan Ana. |"Ya,,"| |"Kau dimana??"| |"Dimana lagi??"| |"Sesekali perhatikan istrimu jangan terlalu sibuk, jangan hanya berkas berkas itu yang kamu angkremin gak bakalan melahirkan pewaris yang Papa inginkan,"| |"Sudahlah Mbak, langsung saja ke intinya, ada apa, aku sedang sibuk!!"| Samar terdengar Ayaz menghela nafasnya. |"Mama ingin bicara,,"| Ana langsung menyerahkan ponsel itu pada ibunda. |"Hallo Sayang, ini Mama!!"| |"Ya, Maa,,"| |"Ayaz, setelah pekerjaan mu selesai cepat pulang kerumah Mama, istrimu bersama Mama, jemput dia jangan sampai malam tiba, Mama tidak akan mengijinkan mu membawanya pulang kalau kamu tiba malam hari,"| |"Maksud Mama Sabrina??"| |"Memangnya kamu punya berapa istri, ya tentu saja Sabrina"| ucap wanita paruh baya itu ketus, Sabrina hanya menahan nafasnya mendengar Ayaz berbicara, apa setelah ini ia juga akan berdebat kembali dengan Ayaz ia menundukkan wajahnya menghela nafas. |"Baik lah aku akan pulang secepatnya,,"| |"Nah begitu baru benar, Mama tunggu,,"| Ayaz langsung mematikan sambungan teleponnya, Hilda menyerahkan ponsel itu kembali kepada Ana dan tersenyum menatap Sabrina. Ana pamit untuk ke kamar mandi menyisakan Sabrina dan Hilda berdua Sabrina hanya banyak terdiam tidak ada yang ingin ia katakan ia hanya merasa sedikit canggung dengan orang tua Ayaz yang bahkan tidak pernah mengenalnya. "Sabrina kenapa Mama perhatikan kamu lebih sedikit berbicara," Sabrina langsung menoleh menatap mama mertua yang berada disampingnya. "Apa menurut Mama seperti itu?" tanya Sabrina lagi, dijawab anggukan oleh mertuanya. "Apa kamu bahagia bersama putra ku??" Sabrina terdiam ia bingung harus menjawab apa mungkinkah ia mengatakan yang sesungguhnya bahwa Ayaz dan dirinya tidak saling bertegur sapa. "Kamu mau mendengar sesuatu?" Hilda kembali berbicara saat Sabrina tak kunjung menjawabnya. "Ehmm, apa itu Ma??" "Mama sebenarnya sangat menginginkan mu yang menjadi menantu Mama bukan Kalila." Sabrina membelalakkan matanya menatap Hilda tak mengerti. "Ke kenapa aku Ma??" "Saat lamaran itu, saat melamar Kalila pertama kali Mama melihatmu Mama langsung menyukaimu Sayang, kamu cantik, lemah lembut, kamu gadis yang sopan," Hilda mengutarakan pendapatnya sambil menggenggam tangan Sabrina. "Tapi Ma, Mas Ayaz mencintai Mbak Lila!!" "Mama tau, mereka bahkan sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun lamanya, tapi Mama tidak begitu menyukai Kalila, maaf jika Mama berpikir jahat tapi sungguh mungkin ini adalah naluri Mama sebagai ibu," Sabrina memandang wanita itu dengan perasaan tak mengerti ia menjadi sangat merasa bersalah telah membohongi seorang ibu. "Tapi Sabrina masih terlalu muda Mah, Sabrina bahkan belum lulus kuliah." "Tidak masalah Sayang, toh sekarang kamu sudah menjadi istri Ayaz Mama bahagia sekali, saat kabar Kalila pergi meninggalkan Ayaz Mama merasa bahagia mungkin sebagian orang mengatakan Mama jahat tapi Mama percaya ini adalah jawaban dari setiap doa Mama, maka dari itu Mama langsung memintamu untuk menggantikan posisi Kalila, meskipun semua orang merasa sedih tapi dihari itu Mama sungguh sangat bahagia maafkan Mama jika terdengar egois, Mama tau Ayaz belum mencintaimu tapi Mama yakin cepat atau lambat ia pasti menyadari ada sosok bidadari yang selama ini Tuhan berikan untuknya." Hilda berkaca kaca mengucapkan isi hatinya "Berjanjilah Sayang, jangan pernah berpisah dengan Ayaz." Sabrina membeku didalam pelukan Hilda. Mungkin kah ia bisa bertahan, air mata nya jatuh mengingat begitu besar kasih sayang mertuanya kepada Sabrina ia merasa sangat berdosa telah membohongi wanita yang berada di dalam dekapannya. "Ahh sepertinya aku tertinggal momen mengharukan, kenapa pada berpelukan sih, mana nangis lagi, Mama oke? tanya Ana yang baru tiba dari toiletnya. "Lebih dari oke Sayang, Mama bahagia." ucap Hilda merangkul anak dan menantunya. "Baiklah ayo kita pulang, sebentar lagi jam kerja aku sudah dimulai Mah, aku akan mengantar kalian dulu baru kembali kerumah sakit!!" dijawab anggukan kedua wanita beda generasi itu. ** Pukul lima sore Ayaz sudah berada di kediaman orang tuanya tentu saja ia tidak ingin terlambat, dan mengakibatkan tidak diperbolehkan pulang, tapi yang lebih ia hindari adalah menghindari agar tidak sekamar lagi dengan Sabrina pria tampan itu masuk kerumah megah mengedarkan pandangannya ia berjalan lebih masuk lagi mendengar tawa beberapa orang dari arah dapur Ayaz terus berjalan masuk dan melihat siapa orang tersebut, ia bisa melihat ibu dan istrinya ya istrinya Sabrina entah apa yang mereka lakukan hingga tertawa. Sepertinya mereka sedang ingin membuat sesuatu batin Ayaz, ia tidak menyadari telah berdiri lama memandangi kedua wanita beda generasi itu sampai sang mama menoleh menatap Ayaz dengan tersenyum. "Loh Ayaz, sudah lama sampai??" Hilda berjalan mendekat putra semata wayangnya. "Baru saja Ma," Ayaz memilih tetap berdiri diambang pintu masuk dapur dengan memasukkan kedua tangannya didalam saku celana dan bersandar dinding. Memandang kearah Sabrina yang langsung terdiam membisu tidak ceria seperti sebelumnya. "Apa kamu mau makan sesuatu atau Mama buat kan teh untukmu??" tawar Hilda pada putranya membuat Ayaz mengalihkan pandangannya kepada ibunda. "Tidak perlu Mah, aku langsung ke atas saja, mau mandi dulu." Sabrina bingung harus berbuat apa harus kah ia diam saja suaminya pulang atau ia perlu berakting untuk mengurus keperluan suaminya ia memejamkan matanya mendadak bingung takut mama mertuanya tahu apa yang terjadi antara ia dan Ayaz. "Sabrina, kamu melamun??" "Haah, ee nggak Ma," "Kamu melamun kenapa sayang, Ayaz sudah kembali, Mama lihat kamu jadi pendiam saat Ayaz tiba apa kalian bertengkar??" "Hah, enggak Ma, kami tidak bertengkar, kami hanya malu satu sama lain belum terlalu terbiasa Ma,,!!" jawab Sabrina asal "Ohh, manis sekali, bagus dong kalau begitu biar tambah mesra meskipun malu malu, yang penting mama request cucu secepatnya." Sabrina merasa tertampar setiap mertuanya membahas perihal cucu, sementara hubungan ia dan Ayaz saja sangat berbanding terbalik untuk menghasilkan cucu bagaimana bisa, Sabrina menghela nafasnya memandang wanita paruh baya itu yang mulai menyibukkan dirinya menata dan menyiapkan makan malam hingga suara seseorang mengejutkan mereka berdua. "Wahh, sepertinya ada makan besar nih, kenapa tidak ada yang mengundang ku??" "Ck ck, kamu gak diundang juga udah makan lebih dulu." sahut Hilda melihat keponakannya dari pihak suami yang sudah seperti putranya sendiri tengah mengunyah perkedel kentang buatan mereka. "Hai, Sabrina kamu masih ingat aku??" Daniel mendekat pada Sabrina sambil mengunyah perkedel kentang yang ia ambil dari piring mama Hilda, Sabrina tampak mengangguk samar mengingat wajah Daniel ia merasa sedikit lupa, "Ehmm sepertinya kita pernah bertemu, tapi dimana??" "Hemmm, kamu lupa aku sepupu Ayaz kita bertemu pertama kali di pernikahan kalian," Sabrina menganggukkan kepalanya tanda mengerti ia baru mengingat pria tampan berwajah blasteran ini ternyata sepupu Ayaz. "Kamu sudah mengingatnya?" "Ya aku ingat sekarang," Sabrina mengangguk sambil tersenyum kearah Daniel. "Dimana Ayaz bukannya ia sudah pulang lebih dulu?" "Dia sedang mandi mungkin sebentar lagi turun," ucap Sabrina dibalas anggukan Daniel yang masih mengunyah makanan apa saja yang ia dapat, Sabrina kembali disibukkan membantu mertuanya menyediakan makan malam, Selepas magrib semuanya sudah kumpul dimeja makan suasana makan malam itu hanya diselingi sesekali oleh Ali papa Ayaz dan juga Daniel menyangkut pekerjaan, Sabrina yang lebih banyak diam dihadapan Ayaz dan keluarganya membuat Daniel selalu menggoda keduanya. "Oh ya sayang kapan kalian akan berbulan madu??" tanya Hilda kepada Ayaz dan membuat ia tersedak makanannya seketika, Daniel tampak tersenyum jahil dan menyodorkan segelas air kepada kakak sepupunya. "Kenapa kalian ini sama saja, saat Mama bertanya pada Sabrina dia juga tersedak minumannya sebenarnya apa yang salah dengan pertanyaan mama??" Sabrina dan Ayaz saling berpandangan seolah berkomunikasi apa yang harus mereka jawab. "Aku belum memikirkannya Ma!" Putus Ayaz akhirnya. "Kalau kamu terus belum memikirkannya sampai kapan mama bisa cepat mendapatkan cucu," hampir saja Ayaz tersedak untuk yang kedua kali tapi beruntung ia bisa mengendalikan kunyahan nya. "Mama tenang saja, tanpa bulan madu mereka juga pasti memberikan Mama cucu," jawab Daniel sambil tersenyum mengejek kearah Ayaz. Ayaz membuang wajahnya merasa jengah. sedangkan Sabrina hanya bisa diam membisu. "Sesekali luangkan waktumu, jangan memikirkan pekerjaan terus, usiamu sudah tak lagi muda Ayaz, biar Daniel yang mengurusnya saat kamu pergi," Ali ikut memberikan solusi kepada putranya. "Akan aku pikirkan Pa!!" "Mama heran liat kalian mau bulan madu saja kok harus berpikir dulu," sahut Hilda dengan nada sedikit tak senang. Ayaz tidak menanggapi lagi ia tidak ingin masalah ini menjadi berkepanjangan. "Oh ya Sabrina kamu kuliah ngambil jurusan di bidang apa?" tanya Daniel sambil menyantap makanannya. "Aku ambil jurusan Sastra Inggris,,!!" Daniel menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Oh ya kamu tidak ingin bertanya tentangku??" Ayaz tampak mendengus tak suka dengan pernyataan yang Daniel lontarkan. "Bagaimana bisa kau begitu percaya diri Daniel, Sabrina tampak tidak tertarik membicarakan tentangmu," ucap Hilda menatap keponakannya. Sabrina tersenyum mendengar penuturan ibu mertuanya. "Misalkan bertanya tentang aku mengapa lebih tampan dari suamimu??" Ayaz membuang mukanya merasa muak mendengar ocehan Daniel. "Kenapa?" Ayaz memandang Sabrina tak percaya telah meladeni ocehan tak jelas sepupunya. "Itu karena aku terlahir blasteran, Jerman, Pakistan dan indonesia makanya aku lebih tampan dari suamimu," "Ahh, begitukah, tapi sejauh ini Mama lihat putra Mama lebih laku dipasaran mengingat banyak yang mendekatinya." ucap mama Ayaz tak mau kalah. Ayaz menarik sudut bibirnya sedikit yang tidak terlihat oleh siapapun merasa menang dengan ucapan mamanya. "Itu hanya beberapa saja Mah, tidak begitu banyak mereka hanya belum bertemu saja dengan ku," Ayaz mendengus mendengar jawaban Daniel. Daniel memang terbiasa memanggil Hilda dengan sebutan mama karena ia tumbuh besar dalam asuhan Hilda "Keluargamu ada yang berasal dari Jerman??" jawab Sabrina yang mulai tertarik dengan percakapan itu. "Ibuku asli dari Jerman sedangkan ayahku campuran Indonesia Pakistan mereka menetap di Jerman memilih mengurus perusahaan keluarga disana," "Lalu kenapa kamu disini??" "Entahlah, aku lebih suka berada di Indonesia, wanitanya cantik cantik dan sopan seperti kamu," Sabrina tertawa menanggapi ucapan Daniel, sedangkan Ayaz merasa muak melihat interaksi keduanya ia memandang Sabrina yang terus tertawa bercengkrama bersama Daniel, entah apa yang ia rasakan tapi ia merasa membencinya mengapa ia bisa seterbuka itu kepada orang lain tapi kepada dirinya ia malah bersikap cuek. "Bro kenapa melamun??" Ayaz terkejut akibat senggolan tangan Daniel. "Kenapa lo berisik banget sih, buat nafsu makan hilang saja," Ayaz berjalan meninggalkan meja makan itu dengan wajah masam. "Ayaz,, mau kemana kamu Papa bahkan belum menghabiskan makanan Papa," Ali berusaha menegur putranya yang sudah beranjak jauh. "Aku sudah selesai Pa, aku mau mengecek pekerjaan ku, maaf jika membuat Papa terganggu." Ayaz tidak ingin mendengar penolakan lagi dan berjalan masuk menghilang dibalik ruang kerja sang ayah. pria keturunan Pakistan itu tampak menggelengkan kepalanya pria yang sudah terlihat tua itu masih menunjukkan ketampanannya diusia yang tak lagi muda. "Sabrina Papa harap kamu bisa bersabar menghadapi sifat kaku dari anak Papa," Sabrina memandang mertua nya dengan tersenyum "Sabrina mengerti kok Pa," "Baiklah kalau begitu Mah Pa, aku sudah selesai aku ingin menyusul situkang merajuk itu," ucap Daniel memilih beranjak dari sana dan memilih bergabung bersama Ayaz. Daniel masuk kedalam ruang kerja itu melihat Ayaz yang sedang membolak balikkan file kerjanya. "Kau kenapa??" Daniel berjalan mendekati kakak sepupunya. "Kenapa apa??" "Kenapa kau terlihat marah padaku apa kau merasa cemburu??" Ayaz berdengus tanda tak suka, cemburu katanya bagaimana bisa ia cemburu dengan wanita yang tak pernah berbicara padanya. "Kau sedang bermimpi??" tanya Ayaz sambil terkekeh. "Lalu apa? Kenapa kau pergi begitu saja??" Ayaz berpikir sejenak ia hanya merasa kesal itu saja batinnya. "Tidak ada, hanya ingin saja," "Begitu kah??" tanya Daniel lagi merasa tak puas. "Jadi kau pikir apa?" "Tidak ada, hanya sajaa,, ah sudahlah mungkin memang bukan," "Apa,,??" "Tidak ada, oh ya kau bilang kau belum menyentuhnya sebagai istri??" Ayaz mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Daniel. "Kenapa??" "Jika kau berniat menceraikannya tetap seperti itu, jangan mencoba mencari keuntungan, siapa tau nanti aku berniat menikahinya," Daniel mengucapkan dengan nada serius sambil tersenyum miring. "Jangan gila, aku belum berpikir sejauh itu," Ayaz mengucapkan dengan nada geram. "Aku hanya mengingatkan siapa tau kau lupa dan khilaf melakukannya." "Meskipun aku khilaf dia tetap istriku jadi itu hak ku," "Ck ck ck, kau tidak boleh berpikir seperti itu Bro, jika kau melakukannya disaat kau mencintai Kalila itu sama saja kau menyakitinya, jadi jika kau tidak ingin pernikahanmu dan Sabrina terus berjalan jangan coba coba melakukannya karena aku siap menampungnya kapanpun kau mau melepasnya aku serius," Daniel menatap lekat kedalam mata Ayaz lalu pergi meninggalkan Ayaz yang terdiam mencerna ucapan Daniel. ** Hari sudah malam saat Ayaz dan Sabrina memutuskan untuk pulang kembali ke apartemen tidak ada yang memulai pembicaraan Ayaz maupun Sabrina sama sama terdiam membisu pada saat Ayaz berhenti disebuah parkiran khusus apartemen Sabrina langsung membuka pintu mobil ingin cepat cepat tiba di kamarnya tapi Ayaz menghalangi tangannya untuk keluar lebih dulu. "Aku ingin bicara padamu." "Tentang??" "Kenapa kau bisa bersama orang tuaku??" Sabrina membuang nafasnya kasar ia lelah sungguh lelah dengan keadaan ini. "Apa kau berpikir aku hanya bisa duduk diam di apartemen mu, aku punya aktivitasku dan kesibukkan ku, kami tidak sengaja bertemu itu saja kau pikir apa??" "Oke baiklah aku maafkan kali ini, tapi sekali lagi tolong beritahu aku, tindakan apa yang kau lakukan agar mereka tidak curiga," "Aku tidak melakukan kesalahan yang mengharuskan ku mendapat maaf mu,," "Oh jadi kau pikir semua ini bukan kesalahan??" Sabrina hanya mengangkat bahu tak acuh berbalik badan menyentuh handel pintu tapi Ayaz menghalanginya menarik tangan Sabrina agar menghadapnya lagi. "Aku belum selesai bicara." "Apa lagi yang harus dibicarakan, bukan kah hal wajar jika seorang menantu dan mertua itu bertemu dan bersama??" Ayaz berpikir mencerna ucapan Sabrina memang tidak salah tapi ia takut Sabrina mengatakan kejujuran tentang hubungan mereka. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak mengucapkan hal hal yang tidak seharusnya kau ucapkan." "Aku tau apa yang harus aku lakukan Tuan Ayaz," Sabrina mencoba mengatur nafasnya saat Ayaz tanpa sadar begitu dekat padanya dan terus menggenggam tangannya, Sabrina berdebar tak karuan karena belum pernah sedekat ini dengan Ayaz, ia memandang wajah tampan itu, hidung mancung, alis tebal, wajah putih bersih, serta bibirnya yang sexy, ahh lupakan Sabrina kau sangat konyol batin Sabrina. "Jadi kau jangan takut aku membocorkan semuanya kepada orang tua mu, aku tidak bodoh." tambah Sabrina, Ayaz tampak menghela nafasnya merasa lega. "Jadii?" "Jadi apa??" tanya Ayaz tak mengerti "Apa kau akan memegang tanganku saja, dan menjauh lah dariku," Sabrina mendorong d**a bidang Ayaz menjauh, tidak sadarkah Ayaz bahwa ia terlalu dekat dengan Sabrina, bahkan Sabrina mencoba menetralisir hatinya yang berdebar tak karuan karena Ayaz adalah pria pertama yang begitu dekat dengannya selain Adri. Ayaz mengerjabkan matanya merasa canggung menyadari posisinya. "Maaf, dan ucapan orang tuaku untuk bulan madu tidak usah dipikirkan, kau mengerti!" Sabrina hanya mengangguk saja lalu keluar dari mobil berjalan lebih dulu meninggalkan Ayaz yang masih memandangnya hingga hilang dibalik pintu masuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD