King Bullying

King Bullying

book_age18+
13
FOLLOW
1K
READ
adventure
others
time-travel
second chance
student
drama
comedy
mystery
ambitious
school
like
intro-logo
Blurb

Vano, mempunyai hobi membully murid baru bersama gank-nya. Kini target mereka adalah Galena, murid baru si gadis sederhana, cuek dan pemberontak.

Dan itu menjadi malapetaka untuk Galena sendiri ketika Galena mendapatkan bangku tepat di sebelah Vano. Kejahilan Vano semakin menjadi jadi.

Sosok Galena yang sangat tertutup membuat Vano diam diam menjadi penasaran akan sosoknya tersebut.

Vano berusaha untuk mengetahui sosok Galena, namun Galena terus membangun tembok yang kokoh. Tembok yang belum pernah terhancurkan oleh siapapun.

Ketika Vano berhasil menghancurkannya maka Galena akan membangun kembali tembok itu dengan kokoh.

Volume 1 : King Bullying (15+)

Volume 2 : The Change (17+)

Volume 3 : ALSASE (21+)

ic_default
chap-preview
Free preview
KING BULLYING - GANK OF BULLYING
Chapter 1 KING BULLYING - GANK OF BULLYING 2020 "A…ampun, tolong berhenti," cicit lelaki yang sudah nampak basah kuyup karena seember air telah membasuhi dirinya. Tepatnya hal itu di lakukan oleh seseorang yang malah menampakan ekspresi tak berdosanya, seakan ia tak melakukan kesalahan apapun. Austin menutup mulutnya pua-pura terkejut. "Oh My Gosh! Sorry ya, gue kira tadi lo itu tanaman kesayangan gue." Cengirnya seolah kesalahan itu bukanlah masalah besar. SMA Merdeka kini telah memasuki tahun ajaran baru. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas meskipun cukup banyak murid yang masih tak rela untuk mengakhiri liburan panjangnya. Sebenarnya anggota Gank of Bullying ini juga sangat malas untuk pergi ke sekolah, tapi kesempatan 1 tahun sekali untuk mereka beraksi terlalu sayang untuk mereka lewatkan. Gank of Bullying adalah sebuah kelompok yang di buat secara dadakan dan memiliki tujuan yang sama. Kelompok ini bertujuan untuk sedikit menjahili murid baru di angkatannya. Bagi mereka mungkin itu hanya sedikit menjahili, tapi bagi si korban itu sudah termasuk sebagai aksi pembullyan, sementara menurut saksi hal tersebut adalah hal yang menyenangkan untuk menjadi tonton. Elvano Dasean, merupakan dalang dari rencana ini semua. Tentu saja ia merasa sangat puas karena telah berhasil menjahili murid baru. Kelompok ini beranggotakan Imanuel Austin, Agam Javier, Kelvino Dirgantara dan Anatasya Guinea yang merupakan satu-satunya perempuan dalam kelompok ini. Dimana para anggotanya adalah anak dari pasangan yang berpengaruh untuk sekolah. Sekarang mereka telah menginjak kelas XI di jurusan IPS. Ide ini di buat saat liburan kemarin karena mereka tetap bermain bersama di kala liburan. Anak kelas XII juga tidak ada yang mempermasalahkan hal ini karena mereka hanya menjahili angkatannya. Dasar, anak-anak kurang kerjaan! Sejauh ini mereka sudah cukup banyak melakukan kejahilan. Misalnya pada saat ujian akhir semester Agam memasang petasan di koridor sekolah, Kelvin yang mengunci teman di toilet atau mengarang cerita jika di kamar mandi sekolah pernah ada siswa yang gantung diri, Ana yang selalu membohongi teman sekelasnya tentang kunci jawaban soal ujian yang ia karang sendiri, dan mengempeskan ban sepeda motor di parkiran sekolah, dan Austin yang selalu menyembunyikan sepatu atau membuat sepatu temannya menjadi basah. Dan pernah karena saking cerobohnya Austin sampai membasahi sepatu milik Vano dan Agam. Sering sekali mereka masuk dalam ruangan Bimbingan Konseling. Guru maupun kedua orang tua mereka juga sudah tak mengerti apa yang mereka inginkan sebenarnya. Para orang tua menyerahkan hal itu kepada guru di sekolah. Bahkan para orang tua tidak keberatan anaknya di hukum seberat apapun asalkan jangan sampai di keluarkan dari sekolah karena mereka tidak melanggar larangan yang berakibatkan di keluarkan dari sekolah. Yaitu, tauran, menjelekan guru, dan bolos selama lebih dari dua pekan. Hal ini terus berlanjut meskipun mereka sudah memasuki kelas XII. 2021 Kelas XII di jurusan IPS telah gempar karena mendapatkan berita baru, yaitu bertambahnya teman mereka, alias ada murid baru di angkatan mereka. Kalimat pertama yang muncul secara otomatis di kepala mereka saat mendengar berita itu adalah, 'tanggung banget pindahnya pas mau lulus.' Seorang perempuan yang memiliki rambut lurus sepunggung menatap sekolah barunya dengan tatapan tak minat. Ia melirik name tag yang terpampang di kemeja seragamnya, bertuliskan Galena Zaviera. Saat mendaftarkan diri kemarin, ia sudah mengetahui di mana kelas barunya. Kelas itu terletak di lantai 3, lantai khusus untuk anak kelas XII. Sejujurnya ia merasa sangat kesal karena pindah sekolah. Bagaimana ia tak kesal jika kedua orang tuanya memindahkan secara dadakan tanpa memberitahu dirinya. Ingin sekali ia meluapkan rasa kesalnya, tapi apa daya, ia tak bisa meluapkan segala emosinya. Baru ia menginjakan kakinya di lantai 3, seseorang telah menghujaninya dengan tepung terigu. Rambutnya yang di biarkan terurai menjadi kotor karena bubuk berwarna putih tersebut. Sebelum ia menginjakan kakinya di sini suasana hatinya sudah memburuk, dan yang lebih buruknya lagi seseorang membuatnya semakin buruk. "Ups," Austin menutup mulutnya dan pura-pura terkejut karena telah membuat rambut Galena menjadi kotor. Galena menarik napasnya dalam-dalam menahan rasa amarahnya yang mulai memuncak, untung saja itu hanya tepung terigu bukan air, jika air mungkin sekarang ia telah menjadi basah kuyup. Byur Baru saja ia masih sedkit bersyukur, seseorang sudah menyiramnya dengan air sebanyak satu gayung. Galena memejamkan mata berusaha masih tetap sabar untuk tidak melawan. Setelah di siram menggunakan tepung terigu dan air, Galena masih berseyukur. Setidaknya ia membawa seragam ganti. Semalam, Lili yang tak lain adalah adiknya telah memaksa Galena untuk membawa seragam ganti, meskipun Galena sudah menolaknya tetap saja Lili memaksanya. Setelan insiden ini, sepertinya Galena mengerti mengapa adiknya itu sangat memaksanya semalam. Dan sepertinya ia harus mengucapkan terima kasih kepada Lili hari ini. Galena menganga tak percaya karena seragam dan rambutnya telah basah, kemudian ia menatap tajam kedua lelaki di hadapannya. Lebih tepatnya menatap name tag mereka sebab Galena ingin mengetahui calon nama-nama yang akan masuk ke dalam blacklist orang-orang yang harus di jauhkan dari hidupnya. Kelvino Dirgantara. Satu orang telah Galena ketahui namanya, Austin yang menyadari apa yang Galena ingin tahu segera ia menutup name tag miliknya. "m***m! Pasti lo mau ngintip tete gue, ya?" tuding Austin sembari memicingkan matanya dan menatap Galena dengan curiga seakan Galena baru saja ketahuan menonton video terlarang. "Nama lo siapa?" tanya Galena galak. "Lo udah love at first sight ya sama gue sampai lo pingin tau siapa nama gue?" Galena berdecak sebal menghadapi lelaki yang memiliki tingkat kepedan selangit ini. Ia mengangkat tangannya dan menunjuk kedua lelaki di hadapannya itu secara bergantian. "Lo Kelvino dan lo gue gak peduli siapa nama lo. Wajah dan nama kalian akan gue masukin ke dalam blacklist dan gue akan--" "Akan apa hm?" tanpa menunggu menyelesaikan kalimatnya, Agam muncul dan langsung menarik ujung rambut Galena, hal itu berhasil membuatnya meringis kesakitan. Tanpa membuang waktu, Galena meraih tangan Agam lalu memutarnya hingga Agam meringis kesakitan. Galena menatap ke 3 lelaki di hadapannya ini dengan murka. "Lo bertiga! Cowok gila yang pernah gue temui. Gue gak takut sama kalian, jadi lebih baik kalian cari orang lain yang lebih pantas untuk di bully! Lo semua gak punya akal tau gak ngelakuin hal gak bermutu kayak gini? Malu sama umur, lo semua udah 17 tahun!" amuk Galena, meluapkan segala kekesalannya yang sudah di pendamnya sejak tadi. Galena merasakan sepatunya basah, seseorang berhasil membuat sepatunya basah kuyup. Di bacalah name tag perempuan yang telah menyiram sepatunya itu dengan air. Anatasya Guinea. "Ini akibatnya kalau lo ngelawan," ujar Ana seraya tersenyum picik. Galena menghela napasnya. "Lo semua udah SMA kan? Udah kelas 12 kan? Umur 17 tahun kan? Gak punya akal banget sih ngelakuin hal bodoh kayak gini. Siapa yang nyuruh lo semua ngelakuin hal yang gak bermanfaat kayak gini?" tantangnya. "Di sini, kenapa? Ada masalah?" Vano tiba-tiba muncul dari belakang Galena. Galena menatap bengis Vano, Austin, Agam, Kelvino, dan Ana. Astaga, ia benar-benar muak saat ini. Mata Galena menyapu koridor lantai 3. Mengapa semua orang hanya melihatnya saja seperti menonton televisi? Toh sama saja kan sebenarnya, mereka juga tidak lebih tua dan mereka semua juga adalah anak XII. Ia tahu, jika lantai 3 khusus untuk anak XII dan lantai 4 khusus untuk ruang keperluan lainnya. "Lo kasih tahu teman-teman lo itu jangan pernah ganggu ketenangan gue," Galena menatap Vano dengan serius. Vano menjentikan jarinya. "Oke guys, kita jahili cewek ini selama 1 minggu." Putus Vano seenak jidatnya, Galena membelakakan matanya tak percaya. Setelah Vano mengatakannya, mereka berenam pergi meninggalkan Galena. Sebelum Vano meninggalkan Galena lelaki itu membisikan sesuatu. "Have a nice day, baby." Galena menggerutu kemudian bergegas pergi ke kamar mandi karena koridor semakin ramai. Yang paling di bencinya dari semua ini adalah saat air mengenai sepatunya membuat kakinya semakin merasa tak nyaman. Tak heran jika pukul 7 lebih murid SMA Merdeka jika masih berkeliaran di mana-mana. Hari pertama sekolah di tahun ajaran baru murid-murid masuk pukul 8 pagi, 1 jam lebih lambat dari biasanya. Untung saja hari ini pulang jam 10 pagi karena proses belajar mengajar secara efektif mulai di lakukan besok. *** Galena berjalan membuntuti wali kelas sepanjang koridor. Kakinya berhenti saat membaca kelas yang akan menjadi kelasnya selama satu tahun terkahir di masa putih abu-abunya. XII IPS-1. Kelas yang tadinya ricuh membahas tentang liburan masing-masing kini menjadi hening saat wali kelas dan Galena masuk ke dalamnya. Tak terlalu hening sih, masih ada beberapa murid yang berbisik-bisik mengenai warga baru di kelasnya. "Kenalkan ada murid baru pindahan dari SMA Nusa Bangsa. Silahkan perkenalkan diri kamu." Galena tersenyum tipis, begitu ketara bahwa ia tidak tulus walau hanya memberi seulas senyuman. "Halo semuanya, saya Galena dari SMA Nusa Bangsa. Salam kenal." "Hai Galena!" sapa siswa-siswi serempak sebagai formalitas. "Galena kamu duduk di sebelah Vano, ya karena cuma itu sisa bangku kosong, Vano angkat tangan kamu!" Lelaki yang sedang menenggelamkan kepala di balik lekukan tangannya, hanya mengangkat tangan kanan tanpa mendongkakkan kepala ketika mendengar namanya disebut. Vano terlalu malas meski hanya sekadar mendongkakkan kepala. "Makasih bu." Galena menunduk sopan kemudian melangkahkan kakinya mendekati lelaki yang di maksud oleh wali kelasnya. Langkah Galena terhenti ketika menyadari siapa sosok yang akan menjadi teman sebangkunya di sisa masa putih abu-abunya. Napas Galena tercekat melihat lelaki berpenampilan berantakan, rambut tidak di sisir, kemeja tidak di kancingkan sepenuhnya, tidak memakai dasi dan menggunakan sepatu berwarna merah. Melihat wajah sok kegantengan itu membuat Galena ingin menenggelamkan dirinya ke laut merah. Siapa lagi jika bukan seseorang yang di panggil "boss" tadi pagi oleh orang-orang yang telah menyambutnya di hari pertama sekolah di SMA Merdeka. 'Sial banget sih gue hari ini,' rutuk Galena kesal dalam hati. Sementara Vano, yang sebelumnya hendak protes karena bangku kosong kesayangannya akan diisi oleh seseorang, mengurungkan niatnya. Harimau akan bersikap seperti kucing ketika mangsa sudah berada di depan matanya. 'Selamat menikmati sisa hari-harimu murid baru' Vano tidak bisa menyembunyikan senyuman piciknya. Keinginan Galena hanya satu untuk sisa masa putih abu-abunya. Keinginannya tidak muluk seperti ingin mendapatkan peringkat pertama. Karena Galena hanya ingin hidup tenang tanpa gangguan di akhir masa putih abu-abunya. Sepertinya tidak semudah yang ia bayangkan untuk mewujudkan keinginan sederhananya, apalagi setelah bertemu makhluk sok kegantengan bernama Elvano Dasean yang akan memporak-porandakan kehidupnya. Chapter 2 KING BULLYING - "PANGGIL GUE SAYANG!" Vano melirik gadis yang berada di sebelahnya yang sedari tadi hanya diam dan belum mengeluarkan suara sedikitpun sejak perkenalan diri di depan tadi, dan entah mengapa hal itu membuat Vano menjadi tegang sendiri. Selagi Vano menatap Galena dengan lekat-lekat, gadis itu terus fokus kepada guru yang sedang menerangkan jadwal kegiatan selama kelas XII sampai akhir tahun ajaran. "Na," panggil Vano pelan, sok akrab. "Na," Vano mengulanginya lagi karena Galena terus mengabaikannya. Jangankan menjawab, melirik saja tidak sedikitpun. "Na," Galena mendengus kesal, rasanya ia sudah muak hanya dengan melihat wajah Vano mengingat kejadian menyebalkan tadi pagi. Tapui lihatlah, Vano terus menyengir tanpa menunjukkan perasaan bersalah sedikitpun. Seolah dalang kejadian tadi bukan ia yang melakukannya. "Na," kini Vano memanggilnya di tambahi senggolan agar gadis itu menjawabnya.Galena berdecak kesal. "Ck, apaan sih?" balasnya jutek. Di liriknya Vano sekilas kemudian kembali mendengarkan detik-detik sang wali kelas menjelaskan. "Ish, gue di kacangin," gumam Vano, meskipun gumaman itu terdengar sangat jelas di indra pendengaran Galena, namun gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkannya. Malas menanggapi lelaki aneh di sebelahnya. "Alasan lo pindah ke sini apa?" tanya Vano penasaran, sedangkan Galena hanya mengerjapkan matanya berulang kali. "Na, gue nanya sama lo," "Mana gue tahu," jawab Galena secara ketus, tanpa berniat menatap lawan bicaranya. Vano yang tidak terlalu peka untuk menyadari bahwa Galena masih dendam atas kejadian tadi. Mungkin bagi Vano kejadian tadi bukanlah hal besar, tapi bagi Galena kejadian itu berhasil merusak suasana hatinya. "Yang bener, serius?" Hanya sebuah dehaman singkat sebagai tanda jawaban dari Galena. Akhirnya waktu yang di tunggu-tuggu oleh para semua warga SMA Merdeka tiba. Yaitu saat bel pulang berdering sangat nyaring, memberitahu mereka semua bahwa kini jadwal mereka untuk kembali ke rumah. Ketika wali kelas sudah keluar dari kelas, Galena langsung cepat membereskan kembali palat tulisnya lalu segera menggendong ransel yang berarti jika gadis itu sudah siap untuk pulang ke rumah. Menyadari jika Galena hendak pergi, Vano langsung mencekal tangan Galena. Tidak membiarkan gadis itu pergi dengan begitu mudahnya. "Ck, lepas! Gue mau pulang!" Galena berusaha melepaskan cekalan tangan Vano. "Kasih tahu dulu alasan lo kenapa pindah kesini," Vano semakin mempererat cengkraman tangannya di pergelangan tangan Galena. "Bukan urusan lo!" "Kasih tahu maka gue bakal kasih tahu teman-teman gue buat gangguin lo cukup 3 hari doang." Galena berdecih sinis mendengar penawaran dari lelaki licik itu. "Cish, gak ada urusannya sama lo! Di kira ini sekolah punya nenek moyang lo. Minggir, gue mau pulang!" sentak Galena namun Vano masih menahan Galena. Sudah hukum alam jika tenaga pria lebih besar di bandingkan wanita. Vano tersenyum picik. "Hayoo mau kemana?" "Lepasin! Bahkan gue gak kenal sama lo," "Emang benar ya kata orang, tak kenal maka tak sayang. Kenalin, gue Elvano Dasean, anak dari bapak David Elzio dan ibu Vanya Zerir. Biasanya gue di panggil Vano, tapi dengan senang hati lo bisa manggil gue sayang." "I don't f*****g care!" bentak Galena. "Gue sih terserah. Kalau lo gak mau juga gak masalah. Tapi jangan salahin gue kalau kelakuan teman-teman gue semakin menjadi-jadi." Vano mengedikkan bahunya, ucapan Vano barusan membuat Galena kembali untuk berpikir ulang. Cukup menggiurkan, tapi Galena sendiri tidak tahu apa yang harus ia jelaskan kepada lelaki yang baru di temuinya selama dua jam. "Tapi lo harus janji?" Vano menganggukan kepalanya setuju. "Iya gue janji," "Gue sendiri juga gak tahu apa alasan pindah kesini. Tiba-tiba gue udah di daftarin disini tanpa sepengetahuan gue. Udahkan? Jadi, bisa lo lepasin tangan gue?" pinta Galena terdengar dingin, mau tak mau Vano melepaskan cengkraman tangannya tersebut "Kenapa lo gak tanya?" baru saja satu langkah Galena melangkahkan kakinya harus kembali terhenti karena mendengar pertanyaan Vano. "Mau tanya juga, gue gak akan pernah dapat jawabannya." Jawab Galena tanpa repot-repot membalikkan badannya hanya sekedar untuk menatap Vano. Galena kembali melanjutkan langkah kakinya meninggalkan kelas tanpa bisa Vano cegah lagi. *** "MINGGIR WOY! AWAS!" teriak seorang lelaki yang sedang berlari dari ujung koridor. Kejadian begitu cepat membuat Galena tak sempat menghindar hingga lelaki itu berhasil menabrak tubuh mungil Galena. "Aish," double kesialan hari ini sudah di dapatkan oleh Galena. Di pegang mata kakinya yang terasa nyeri. "Astaga, gue minta maaf. Gue gak sengaja, sumpah!" ucap lelaki itu menatap Galena dengan tak enak, pandangan mata Galena menangkap Austin di ujung koridor yang sedang tertawa terpingkal-pingkal melihat penderitaan Galena dan lelaki itu. Mata Galena menyipit membaca label nama seragam lelaki di hadapannya ini yang bertuliskan 'Samuel Javier'. "EH KAMPRET! TANGGUNG JAWAB BEGO!" amuk Samuel membuat lamunan Galena terpecahkan. "Lo gak apa-apa kan?" tanya Samuel lembut. Galena menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan Samuel. "It's okay," balasnya singkat. Samuel mengernyitkan dahinya menatap Galena. Tampak tidak asing saat dirinya melihat Galena, dan jika lebih di perjelas lagi mata Galena mirip dengan mata milik Samuel. "Gue kayak udah gak asing deh sama lo, kita sebelumnya gak pernah ketemu bukan?" Galena menggelengkan kepalanya. "Enggak," "Mata gue kali ah yang siwer, gue duluan ya." Samuel menepuk pundak Galena sebanyak dua kali sebagai tanda pamitnya. Tanpa menunggu balasan Galena, Samuel sudah pergi begitu saja. *** Galena melempar asal ransel sekolahnya ke atas kasur lalu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri walaupun sekarang waktu baru menunjukan pukul setengah sebelas siang. Hanya membutuhkan sepuluh menit Galena sudah menggunakan pakaian santainya. Ia mengambil MacBooknya beserta beberapa buku paket. Tidak ada salahnya ia mulai belajar dari sekarang. Gadis itu kini sedang sibuk berkutat bersama materi-materi seputar geografi. Sambil memperhatikan layar MacBook sesekali ia mencatat di buku tulisnya. Semenjak SMA Galena belajar menggunakan sistem online, hanya perlu mentransfer uang kemudian ia akan mendapatkan video berupa penjelasan materi yang Galena kurang pahami. Jauh di dalam lubuk hatinya Galena ingin menghabiskan masa remajanya seperti remaja pada umumnya. Menghabiskan waktu untuk bermain, berbelanja sesuka hati, dan nongkrong seperti adiknya Lili yang baru saja memasuki tingkat SMA. Namun Galena sadar diri, ia tidak bisa melakukan hal yang apa ia inginkan sebenarnya. Semenjak SMP, Galena memang di tekankan untuk mendapatkan peringkat pertama baik di kelas maupun angkatannya. Sangat berbeda jauh dengan adiknya, Galena yakin jika Lili mendapatkan peringkat terakhir sekalipun Ryan yang tak lain adalah papanya tidak akan keberatan sedikitpun. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Pantas saja perutnya berteriak meminta makan karena sejak pagi Galena belum memakan apapun hanya minum air putih saja. Rumahnya memang besar tapi sangat sepi, bahkan sepi nya melebihi suasana kuburan. Tak ada siapa-siapa di rumah selain hanya ada Galena. Tak ingin repot-repot Galena menggoreng naget untuk menjadi lauk makanannya. Galena sendiri tak mengerti apa maksud kedua orang tuanya yang tiba-tiba memindahkan sekolahnya begitu saja. Galena keluar dari SMA Nusa Bangsa kemudian adiknya Lili yang masuk SMA tersebut. Padahal sudah dua tahun Galena menetap di sana, astaga ia sudah sangat nyaman dengan suasana SMA Nusa Bangsa. Di teguknya air dingin dalam gelas hingga habis tak tersisa ketika Galena sudah menghabiskan makanannya. "CUKUP RYAN! URUSAN KITA SELESAI DI SINI! KONTRAK KITA BERAKHIR!" teriakan Monica menggelegar di tengah rumah. Galena sendiri juga hanya diam saja mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, bagi Galena itu adalah hal yang lumrah terjadi di rumah ini. Terdengar suara pecahan guci dari ruang tengah, dan masih sama. Galena tetap diam berada di posisinya. "TERUS KAMU MAU APA HAH?!" "JATUHKAN TALAK UNTUK AKU HARI INI JUGA!" Perlahan Galena meletakkan kembali gelas yang di pegangnya ke atas meja. Kini ketakutannya terjadi sudah. Perceraian kedua orang tuanya. Sudah sejak Galena duduk di bangku sekolah dasar kedua orang tuanya itu terlihat tidak akrab dan saling menjauhkan diri. Bahkan sejak kecilpun Galena sudah merasa ada sesuatu yang janggal dari hubungan pernikahan kedua orang tuanya. Hari ini menjadi akhir dari semua, kedua orang tuanya bercerai. Triple kesialan sudah hari ini telah terjadi. Tiga kesialan berturut-turut. Galena terkekeh sinis mendengar pertengkaran kedua orang tuanya barusan. Tak mau ambil pusing, Galena membereskan piring dan gelas yang baru saja di gunakan. Begitulah keseharian seorang Galena Zaviera yang dimana rumah sudah seperti neraka baginya. Tempat yang paling di hindarinya. Ponsel Galena berdenting, memberitahu bahwa ada sebuah pesan masuk. Galena menekan tombol home ponselnya dan membaca pesan baru melalui notifikasi di layar kunci ponselnya. Elvano Dasean add you via id Elvano dasean : Add balik akun gue. Jangan lupa, panggil gue sayang. Chapter 3 KING BULLYING - PERMEN KARET Galena menghela napasnya dengan gusar saat melihat permen karet yang menempel di kursinya. Buang jauh-jauh pikiran anda jika Galena akan bersusah payah menyingkirkan permen karet itu dari kursinya. Di lirikmya kursi sebelah yang tak lain merupakan tempat duduk milik Vano. Memangnya hanya Vano saja yang memiliki akal busuk licik seperti itu, Galena juga punya kali. Selagi di kelas baru hanya ada murid sebanyak 5 orang saja, tanpa membuang waktu Galena menukar kursinya dengan kursi milik Vano. Bibirnya tertutup rapat berusaha menahan tawa, sungguh Galena sudah tidak sabar melihat reaksi Vano nanti saat menyadari permen karet menempel di celana abu milik Vano. Hanya dengan membayangkannya saja sudah ingin membuat Galen tertawa sangat kencang. Bel masuk berbunyi, satu persatu murid masuk ke dalam kelas. Vano masuk ke dalam kelasnya dengan gaya pongah. Sedangkan Galena sendiri sudah larut dengan buku paket sejarah yang sedang di baca. "Rajin amat lo, si amat aja gak rajin." cibir Vano sambil meletakkan tas di atas meja kemudian menghempaskan bokongnya begitu saja ke atas kursi. Galena menahan tawa sambil sesekali melirik Vano. "Gue emang belum liat lo senyum tapi lo jangan senyam senyum sendiri juga," komentar Vano. Galena mendelikkan matanya menatap Vano, seketika senyumannya luntur begitu saja. "Bibir bibir gue ini." Ketus Galena tak mau kalah. Kemudian masuklah guru sejarah ke dalam kelas pertanda jika kelas akan segera di mulai. Jujur saja, Galena sangat membenci sejarah ralat semua pelajaranpun memang tak ada yang Galena sukai. Apapun yang berhubungan dengan masa lalu Galena lebih tidak menyukainya. Kalau kata Galena, 'Ngapain sih yang lalu di ungkit-ungkit lagi? Gak bisa move on? Mending bahas masa depan dari pada bahas masa lalu.' Meskipun sebenarnya bagi siapapun wajib mengetahui bagaimana terjadinya tragedi di kehidupan masa lampau. Memang Galena menyukai membaca novel yang halamannya bahkan lebih dari 500 lembar tapi bukan berarti Galena menyukai sejarah yang terdapat banyak cerita. Setengah jam telah berlalu, kelas terasa sangat hening karena tak ada yang murid bebicara, semuanya sibuk memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi membuat Galena sedikit bosan. Apa lagi teman sebangkunya ini sangat fokus mendengarkan sang guru berbicara. Sungguh mudah di tebak jika Vano adalah sosok yang sangat mencintai sejarah. Terdengar suara decitan kursi di sebelah Galena yang mengudang perhatian Galena, sontak Galena menengok ke sampingnya. Vano berdiri dari posisi duduknya, lelaki itu hendak membenarkan posisi duduknya. Namun saat Vano berdiri ia merasakan 'sesuatu' yang membuatnya menjadi lengket antara celana dan kursi. Galena yang melihat benda berwarna pink alias permen karet yang menempel di celana Vano tak kuasa menhan tawanya. Galena menggigit bibirnya berusaha menahan tawa sehingga bahunya bergetar kecil. Merasakan ada sesuat di bagian belakang celananya, kemudian di raba bagian yang Vano merasa 'janggal'. Sontak, Vano melototkan matanya menyadari jika permen karetlah yang menempel di celananya. Melihat reaksi Vano seperti itu membuat Galena semakin ingin tertawa, kemudian di luar kendali Galena tertawa kencang di tengah kelas yang sedang serius-seriusnya. Membuat sang guru memberhentikan penjelasannya sesaat, begitu juga dengan murid lain yang langsung menengok ke sudut kelas. Tawa Galena mengundang banyak perhatian. "HAHAHAHAHAHA," meledaklah tawa Galena. Sang guru berjalan menghampiri meja Galena dan Vano, Galena sendiri mulai meredakan tawa nya. "Kenapa Glen? Merasa ada yang lucu?" meskipun sang guru bertanya tanpa ada nada bentakan tapi pertanyaannya terdengar cukup horror. Tangan Vano teangkat menunjuk Galena. "Dia yang nempelin permen karet di kursi saya bu! Lihat nih, permen karetnya jadi nempel di celana saya," adu Vano seperti sedang mengadu kepada bundanya jika barusan balon miliknya telah di rebut oleh teman. Manja namun terlihat sangat menggemaskan. Galena mendelikkan matanya menatap Vano."Lo yang nempelin peren karet di kursi gue! Emang gue gak tahu akal busuk lo hah?" kesalnya. Brak! Sang guru memukul meja cukup keras membuat perdebatan Galena dan Vano terhenti. Baik Vano maupun Galena langsung menutup mulutnya rapat-rapat. "Diam! Awas ya kalau kalian berisik lagi saya keluarkan kalian dari kelas. Yaudah sana Vano kamu ke kamar mandi, bersihin dulu permen karetnya." "Say--aww!" Vano meringis saat kaki nya di injak oleh Galena. Karena gadis itu tahu pasti Vano akan mengeles yang tidak-tidak kepada sang guru. Vano melototkan matanya menatap Galena kembali. 'APA?' seakan-akan mereka berdua sedang berbicara melalui telepati. Galena berdecak kemudian kembali fokus kepada buku paket sejarahnya lagi tanpa sadar sebuah senyuman masih menghiasi wajah cantik Galena. Namun Vano berhasil menyimpulkan sesuatu dari kejadian barusan, yaitu, ini adalah pertama kalinya ia melihat Galena tersenyum dan senyuman itu terukir karena dirinya. Terbesitlah rasa ingin Vano untuk membuat Galena tersenyum seperti itu lagi, bahkan senyuman yang lebih lebar dari pada itu. Lebih tepatnya Vano ingin membuat Galena bahagia. Sudut mata Vano menangkap Austin yang sedang tertawa kecil di pojok sana. Hanya dengan melihat tingkah Austn, Vano bisa langsung menyimpulkan jika Austinlah dalang dari kejadian permen karet ini. *** Bel berbunyi dan pelajaranpun silih berganti. Dari pelajaran sejarah menjadi pelajaran geografi. Begitu juga dengan kepemilikkan meja di depan Galena dan Vano. Yang tadinya Cintia dan Rahma kini menjadi Austin dan Kelvin. Austin dan Kelvin memasang wajah sumringahnya berbeda dengan Vano yang mendengus kesal. "Apa-apaan lo jadi duduk di depan gue? Lo gak tahu kalau gue ngeliat lo itu bikin mata gue jadi sakit," protes Vano tak terima jika Austin akan 'kembali' duduk di hadapannya seperti tahun lalu. "Maruk banget sih lo guguk. Sebelah lo ada yang bening ngapain masih mau sama si bendahara yang udah kayak preman itu. Cantik iya, tapi serem." Gidik Austin di buat tampang semengerikan mungkin. "GUE DENGER BEGO!" teriak Cintia dari tempat duduknya, padahal gadis itu sedang sibuk membaca sebuah novel terjemahan best seller di Amerika. Austin mendekatkan dirinya kepada Vano. "Noh kan? Serem, kayak preman." Bisiknya. Sedangkan Galena tak ingin menyapa Austin maupun Kelvin sedikitpun. Baru kemarin Galena menjadi bahan tawaan mereka dan Galena sendiri tak sebaik itu untuk member senyuman kepada orang yang telah membuat gara-gara dengannya. Galena tidak sebaik tampangnya. Percaya atau tidak, Galena adalah penyimpan dendam yang baik. "Hai murid baru. Lo gak mau sapa gue gitu?" sahut Kelvin kepada Galena yang sedang sibuk mengerjakan latihan soal yang berada di buku paket. Masih sama, Galena tak mengacuhkan Kelvin. Bahkan menatap Kelvin sedikitpun Galena enggan. "Nah loh, seraman mana dia sama Cintia?" tanya Vano membuat Galena mendengus. "Lo bertiga kalau mau ngomongin gue mending di belakang. Tanpa sepengetahuan gue," ucap Galen tanpa menatap lawan bicaranya. "Bukannya cewek sering bilang yak kalau mau ngomongin tuh langsung di depan mukanya, jangan munafik katanya." Balas Kelvin jujur. "Tapi gue lebih nyaman kalau gue gak tahu," Austin, Kelvin dan Vano saling melempar pandangan satu sama lain. Satu hal yang bisa mereka simpulkan. Galena berbeda. Tapi Vano malah menangkap arti air muka Galena hingga detail. Dan hasil asumsi Vano adalah Galena merupakan gadis yang kesepian. You may also likeMore

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

JANUARI

read
44.1K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.7K
bc

Om, Jadi Cinta Enggak?

read
97.2K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.6K
bc

Scandal Para Ipar

read
704.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
214.6K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
172.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook