Ujian Hidup

1610 Words
"HANAAAAAAAF!" Dari semenjak ia datang ke negara ini, kenyataannya ia belum pernah bertemu sekalipun dengan sahabat lamanya sejak kampus sarjana. Kini heboh sekali karena akhirnya mereka bertemu di Bern. Hanafi yang akhirnya menyusulnya ke sini. Keduanya bertemu di dekat sungai Aaree. Saras tampak senang sekali karena akhirnya bertemu dengannya. "Ih yang katanya mau nganterin ke Bern kalo udah sampai sini." Hanafi terkekeh. Sayang sekali waktu itu ia tak bisa menemani Saras. Saras langsung terbang ke Bern dan tak jadi mampir ke Zurich. Gadis itu juga berangkat sendirian namun untungnya ada beberapa mahasiswa Indonesia yang mau menjemputnya. Ya ia terbantu didetik-detik terakhir. Karena waktu itu, Hanafi mendadak harus terbang ke Spanyol. Tentu saja menemani mamanya yang mendadak dibawa ke rumah sakit. Kini ia membawa mamanya tinggal di Swiss dan mamanya mengalihkan pekerjaannya di Swiss juga. "Gimana rasanya kuliah di sini?" "Lo juga gimana rasanya akhirnya bisa kuliah heh?" Ia terkekeh. Ya dunianya jauh lebih sibuk meski hatinya belum begitu membaik. "Yaa begitu lah." "Gimana hatinya? Udah sembuh?" Ia malah diledek. Hanafi hanya bisa tersenyum kecut. Ya pahit sih. Apalagi ia masuk ke fakultas yang sama dengan perempuan itu. Hingga kini, ia tak pernah tahu apa alasannya tiba-tiba ditinggal pergi. Hal ini jelas membuatnya akhirnya sungguh sedih. Sakit hati yang tak berdarah. "Nasib lo kayaknya emang ditinggal cewek." Hanafi malah terkekeh. Ia tak tahu harus berkomentar apa karena tampaknya, Saras ada benarnya. Apa ini semacam kutukan? Ah entah lah. "Lo tahu gak sih? Lo tuh terlalu mengulur waktu tau gak. Udah yakin sama satu cewek bukannya langsung diajak serius, ada aja yang diurus dulu. Kalo serius itu, langsung datang ke orangtuanya aja. Jangan beralasan sibuk untuk mengulur waktu." "Gitu menurut lo?" Saras mengangguk. "Kalo abis lulus, lo langsung ngajak Maira nikah dan bukannya mengulur waktu untuk sukses dulu, mungkin ada kesempatan. Meski kita tahu kalo jodoh itu yang atur ya Allah. Tapi kan disesuaikan dengan usaha kita juga. Terus yang cewek itu juga...." "Lo tahu lah, nyokap gue lagi sakit dan yaaah waktu itu kerjaan lagi banyak dan susah kalo mau ambil cuti untuk menemui orangtuanya." Saras terkekeh. Ya Hanafi baru saja memberikan sebuah alasan baru untuknya. Hahaha. "Prioritas lo emang belum untuk cewek, Hanaf. Itu sebabnya. Cermati deh jawabannya. Ya untuk nyokap, gue juga gak akan bisa apa-apa. Tapi lo harusnya bisa mencari celah." Ya sih. Hanafi menghembuskan nafas. "Jadi cewek itu beneran nikah sama cowok lain? Atau gimana?" "Entah lah. Gue juga gak begitu tahu sebenarnya. Cuma dari yang gue dengar sih begitu." Saras mengangguk-angguk. Ia menepuk bahu Hanafi agar lebih sabar. Hanafi malah terkekeh. Ia merasa diledek. "Lain kali, kalo ada cewek yang lo taksir dan lo merasa yakin, langsung aja seriusin. Datangi orangtuanya, cari celah dan ciptakan kesempatan. Bukannya menunggu ada kesempatan. Inget pesan gue baik-baik heh?!" Hanafi terkekeh-kekeh. "Terus lo? Gimana tuh sama Andros?" Haah. Itu pertanyaan berat baginya. @@@ Suasana kantor yang berisi tiga orang ini tampak senyap. Suasana memang sedang damai dan kondusif kalau si bos kumis tak ada di sini. Yeah, akhirnya geng kantor Cibinong ketiban neraka dunia. Hahaha. Karena si bos kumis sedang inspeksi ke sana. Mungkin karena ada yang mengadu kalau salah satu karyawan mengotak-atik absen digital. Ya Eshal juga kurang tahu. Yang jelas suasana damai di sini membuatnya bisa bekerja dengan tenang. Di sebelahnya, ada si Selina. Tampaknya sih kayak fokus begitu mengerjakan semua tugas. Padahal nih ya, jemari sibuk scrolling akun mantan di media sosial. Tentu saja ia pantau lewat akun palsu. Hahaha. Masih belum move on, non? Kira-kira memang begitu. Putus sudah lebih dari tiga tahun lalu. Hatinya masih nyangkut di awan. Melayang-layang di sana. Gak jelas arahnya. Sebentar mengaku sudah move on. Sebentar ia galau. Kayak sekarang nih, mulai goyah lagi kalau melihat mantan bahagia. "Si setaan!" Tahu-tahu ia memaki. Ditambah menepuk meja juga. Hal yang membuat Eshal dan Abdi sama-sama terkaget. "Lo kenapa?" Selina tak menjawab. Ia malah beranjak dari kursinya dan pergi ke toilet. Ngapain? Memaki. Hahaha. Kemudian menangis sendirian tanpa suara. Kenapa sih? Si k*****t a.k.a mantannya itu akan segera menikah. Ceweknya bukan mantan pacar yang ia tahu beberapa bulan lalu. Sudah ganti yang baru dan segera menikah? Waaaaah! Ia sakit hati! Hahahaa! Marah tapi rasanya sudah tak punya hak. Tiga tahun berlalu begitu saja. Ia waah kalau diingat masa lalu yang menyedihkan itu. Bayangkan, ia diputuskan oleh cowok itu padahal cowok itu yang ketahuan selingkuh. Marah gak? Sakit hati gak? Harga dirinya terasa direndahkan sekali. Tapi ia masih belum bisa melupakannya juga. Sungguh s****n! Kini malah menangis sendirian. Ia tak mau ketahuan oleh Eshal. Ya malu lah. Nanti Eshal pasti akan meledeknya. Tapi ia akui kalau untuk move on ya susah juga. "Mbak Selina kenapa, mbak?" Eshal mengendikan bahu. Ia juga tak tahu. Mungkin ada yang mengesalkan baginya. Jadi ia tak ambil pusing. Ia sibuk bekerja lagi ketika beberapa menit kemudian malah mendapat telepon dari ayahnya. Keningnya mengerut. Tumben? Yap betul. Ia tak dekat dengan ayahnya. Ayahnya akan menelepon kalau ia hendak pulang. Ya menjemput di bandara. Sisanya? Tak pernah. Mungkin terakhir kali masa kuliah dulu? Ia sudah lupa saking lamanya. Eh ayah dan ibunya gak bercerai kok. Masih bersatu. "Kenapa, pak?" Ia tentu bertanya lah. Ia berjalan ke balkon karena tak mau didengar yang lain. Terdengar suara cemas milik ayahnya. Ia pikir terjadi sesuatu yang darurat kah? Eh ternyata mau pinjam uang 5 juta. Katanya untuk membayar hutang Pegadaian yang sudah menunggak tiga bulan. Eshal menarik nafas. Tentu saja mengiyakan. Ia segera transfer. Usai transfer, ponselnya berdering lagi. Kali ini mamanya pula yang menelepon. Ada apalagi? "Bapakmu! Tagihan hutang Pegadaian gak dibayar sampai tiga bulan! Uang gajinya entah dikemanakan lagi. Kaget mamak! Tadi mamak yang disamperin sama orang Pegadaian ke kantor. Malu mamak dibuatnya! Kesal sekali....." Entah apa lagi ocehan ibunya. Ia pusing kepala. Apa gak bisa ya mereka akur? Walau ia tak tahu apa permasalahannya sekarang. Ia menghela nafas. "Ya udah...nanti telepon lagi ya, mak. Eshal kerja dulu." Ia tak mau mood-nya hancur sih. Walau ya resmi hancur. Hampir menangis bahkan ketika duduk lagi di depan komputer. Rasanya, hatinya sudah resmi berantakan. Ia tak paham apa yang terjadi kali ini. Tapi tampaknya benar-benar gak beres sih. Ia tahu kalau ini bukan pertama kalinya juga. Ya urusan harus menanggung hutang ayahnya. Dulu, Eshal juga pernah ditelepon sama teman ayahnya. Ia disuruh bayar. Sudah dibayar pun makin memaki-maki. Jadi, kalau ditanya uang gajinya ke mana? Ia juga jadi tak paham. Uangnya mungkin hanya menginap sebentar. Tapi lama-lama capek juga kan? Mana beasiswa rasanya jauh sekali. Ia harus bagaimana coba? Ia juga sudah tak kuat jika harus terus bekerja di sini. Lama-lama bisa gila! @@@ "Lo gak nanya namanya?" Ia menggeleng bodoh. Gak kepikiran. Mana ceweknya juga kayak takut begitu padanya. Ya mungkin karena ia bukan orang yang dikenal cewek itu. Temannya malah terbahak. Ia sedang mengendarai sepeda usai mengejar sunrise di pantai tadi. Nah rencananya memang hendak menghampiri temannya ini sambil sarapan bersama. Ia ada pekerjaan di sini. Ya sambil bertemu teman lama yang sudah menetap karena bekerja di sini. "Lo harusnya namanya. Kali aja berjodoh." Ia hanya terkekeh. Ya sudah lah. Sudah berlalu juga kan? Tak bisa diputar ulang juga. Semua sudah terjadi. Jadi, mereka fokus mengobrol sambil menghabiskan sarapan. Setelah itu berpisah karena temannya harus ke kantor sedangkan ia hendak pulang. "Hati-hati lo!" Ia hanya mengangguk. Mereka berpisah di depan warung itu. Ya barisan warung sebenarnya. Ada empat warung di sana. Temannya pergi dengan mobil. Ia pergi dengan sepeda tentunya. Saat hendak berbelok, ia seperti melihat cewek yang tadi ia tabrak. Buru-buru ia mengerem, tapi sialnya malah mengejutkan pengendara motor di belakangnya. Dan.... BRUUUUUKK Terjadi tabrakan. Maira menoleh. Yeah, ia yang dilihat cowok itu. Ia memang sedang melintas. Kantornya tak jauh dari sini. Makanya hanya perlu berjalan kaki. Ia tentu kaget lah. Karena kecelakaan itu terjadi di belakangnya. Namun karena sudah ada yang membantu, ia memilih melanjutkan perjalanan. Bukannya tak mau membantu ya, ia tak mau disindir manajernya karena telat datang ke kantor. Ia sudah muak dengan mulut perempuan yang satu ini. Tekadnya juga sekarang sudah bulat deh. Ia sudah perhitungkan semuanya. Ia akan keluar dari pekerjaan ini dalam dua bulan lah paling lama. Ia menyebrang dan masuk ke gedung kantornya. Sementara cowok tadi? Hanya luka-luka kecil. Gak ada yang parah. Ia juga mengakui kesalahannya. Meminta maaf juga. Urusan damai dan beres. Kemudian ia melihat sekitar, tapi perempuan tadi sudah menghilang. Padahal perempuan itu ada di depan mata ya? Bisa-bisanya menghilang. Ia menghela nafas. Oke. Mungkin memang diharuskan pulang. Ia mengantar kembali sepeda yang ia pinjamkan pada pemiliknya. Kemudian kembali ke rumah temannya tadi. Bersiap-siap untuk membereskan barang-barang. Sayangnya, ia harus meninggalkan negara ini karena urusannya sudah selesai. "Mas, ada tawaran bagus dari pak Prayitno." Asistennya di kantor kecilnya menelepon. Ia malah sibuk bekerja sampingan. Bos yang tak mau disebut sebagai bos karena karyawannya belum banyak. Usahanya baru berkembang. "Tawaran apa?" "Bagas kirim lewat email, mas. Beliau mohon babget biar dipertimbangkan." "Masih urusan pasokan daging itu ya?" Asistennya mengiyakan. "Tapi jumlahnya ndak banyak kok, mas." Ia agak sanksi. Ya karena jumlah ayamnya belum sampai ribuan. Kalau telur masih memungkinkan untuk membantu pasokan. Ia saja masih perlu memperbanyak lagi bisnis ayamnya. "Ya, nanti aku lihat dulu. Kalau memungkinkan, aku akan coba cari partner lain yang bisa bantu." Asistennya mengiyakan. Lelaki ini menutup semua tas bawaannya. Tak banyak sebetulnya. Hanya ransel dan koper kecil. Perjalanan singkat dari Singapura ke Malaysia sudah selesai. Kini saatnya kembali ke Malang. Ia berjalan kaki. Menunggu taksi online yang ia pesan. Dikala taksinya melintas di depan gedung di mana Maira bekerja..... "You gila ke? Dokumen macam sampah ni, you kata tak ada silap?" Ia baru saja diamuk oleh manajernya. Bahkan kertas-kertas dokumennya sudah berserakan di lantai. Dibuang begitu. Tangan kanan Maira terkepal kuat. Waah bisa habis kesabarannya! @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD