Network Love - 3

1518 Words
Aji “Mas Aji, tungguin!” teriak Dek una begitu aku keluar dari mobil. Aku hanya geleng-geleng kepala ketika melihat Dek Una pake heels sambil jalan. “Pake dulu yang bener, nggak aku tinggal.” Dek Una nyengir, lalu berhenti untuk memakai heelsnya. “Udah. Yuk cusss, nggak sabar mau lihat Pak Reza nikah. Semoga habis nikah Pak Reza bisa senyum, haha! Sepet banget mata tiap bimbingan disuguhin wajah tembok.” “Dek, Dek. Andai tau dari awal kalau dosen tembok yang kamu maksud itu si Eza, pasti aku nggak protes waktu kamu ngatain dia.” “Nah kan! Mas Aji yang temennya aja ngakuin gitu.” “Tapi asal kamu tahu aja, dia aslinya nggak kaya gitu, kok. Dia keliatan judes kalau lagi di kampus aja.” “Hah? Gimana maksudnya?” “Nggak, nggak papa. Pokoknya besok-besok kamu berenti manggil Eza dosen tembok, ya? Meski aku setuju dengan julukan itu, tapi Eza tetap dosenmu. Nggak baik ngatain dosen sendiri.” “Iyaaa. Janji. Ntar kalau Pak Reza bisa senyum bakal kusayang-sayang.” “Heh! Dia calon suami orang, dek.” “Wuahaha! Nggak, nggak. Diriku cuma bercanda, mas.” Aku dan Dek Una masuk hotel berdampingan. Aku cukup kaget karena ternyata acaranya cukup mewah untuk ukuran Eza yang bilang kalau acara nikahannya hanya dihadiri keluarga dan teman dekat saja. “Aduhhh!” Aku dan Dek Una langsung berhenti ketika tiba-tiba mendengar suara perempuan mengaduh. “Mbaknya kenapa?” Melihat ada perempuan jongkok tidak jauh dari kami berdiri, Dek Una langsung menghampiri perempuan itu. “Eh, nggak papa.” “Nggak papa gimana?” Akhirnya aku ikut mendekat ke arah mereka. “Wah, hak sepatunya patah ini mbak...” ujar Dek Una sembari ikut jongkok. “ I-iya.” Dek Una berdiri lagi dan perempuan itu menegakkan badannya. Keningku langsung berkerut samar begitu melihat wajah perempuan itu tampak familiar di mataku. Ah, dia yang waktu itu. Ngapain dia di sini? “Mbak, aku ada sepatu sendal di mobil. Nggak bagus sih, tapi mendingan daripada pakai sepatu hak patah.” “Eh nggak usah mbak, nggak---“ “Nggak papa, saya ambilin dulu. Mobil saya parkir di dekat situ kok. Mas Aji, kunci mobilnya dong!” Perempuan itu langsung menoleh ke arahku begitu Dek Una menghampiriku. “Bentar ya mbak, saya ambil dulu.” Tanpa menunggu lama, Dek Una langsung keluar menuju parkiran, meninggalkanku dan perempuan itu yang kini sedang menatapku dengan tatapan sedikit aneh. “Saya yang waktu itu,” ucap perempuan itu sambil meringis memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi. “Ah, iya,” balasku sekenanya. “Yang barusan adiknya?” tanyanya lagi. Aku mengangguk mengiyakan. Perempuan itu hendak berbicara lagi, namun sudah keburu Dek Una datang membawa sepatu sendal miliknya. Ini anak beneran lari apa ya? Cepet bener. “Nih, mbak. Nggak jelek-jelek banget kok, tapi nggak bagus juga. Hehe.” “Wah, makasih banget ya-” “Saya Luna,” ucap Dek Una sambil mengulurkan tangan mengajak kenalan perempuan itu. “Lia.” Jawab perempuan itu sambil tersenyum membalas uluran tangan Dek Una. “Dek, buruan. Ini udah jam delapan lewat.” Aku melirik jam tanganku, dan menedarkan pandangan melihat tamu yang datang semakin ramai. “Oh iya mas. Mbak Lia, saya duluan ya—“ “Minta nomor w******p boleh? Saya harus mengembalikan sepatu kamu.” Perempuan itu menahan tangan Dek Una sejenak. “Boleh, sih. Tapi saya belum hapal, soalnya baru ganti nomor terus hape saya masih belum saya hidupin di tas. Bentar mbak,” Aku hanya bisa mengerutkan alis bingung ketika tiba tiba Dek Una mengulurkan tangannya. “Apa, Dek?” “Hapenya Mas Aji.” “Hah?” “Buruannn ih!” Karena aku tak kunjung bereaksi, Dek Una malah dengan seenaknya meraba saku celanaku. “Kelamaan!” Dek Una mendelik sejenak sebelum berjalan menghampiri wanita itu lagi. Aku hanya bisa melongo tak percaya ketika Dek una menulis nomor perempuan itu terus menelfonnya dengan nomorku. “Itu nomor kakak saya mbak. Mbak bisa hubungi nomor itu kalau mau ngembaliin sepatu saya.” “Eh tapi---“ perempuan itu menoleh kearahku tak enak hati. “Nggak papa, mbak. Kami duluan ya!” Setelah mengatakan itu, Dek Una langsung menghampiriku lalu mengapit tanganku. “Barusan apa-apaan kamu, Dek?” “Pinjem doang loh, mas. Udah, ayo naik. Pak Reza di lantai berapa?” “Lantai dua.” Tepat saat itu, Dek Una menarikku pergi menjauh. Aku menyempatkan menoleh ke belakang kearah perempuan tadi, dan ternyata dia sedang cilingukan tampak kebingungan. Melihat itu, tanpa sadar bibirku mengembang. *** Lia Untuk kesekian kalinya aku tersenyum melihat sepatu sendal yang tadi Luna pinjamkan untukku. Tadi perempuan itu namanya Luna, kan? Entah kenapa aku marasa namanya mudah akrab di telingaku. Aku juga punya feeling kalau kami nantinya bisa dekat. Semoga saja. Aku sangat menyukai pembawaannya yang riang. “Pengantin ceweknya cantik banget, ya?” Aku langsung menoleh begitu mendengar salah satu tamu undangan di sampingku nyeletuk. Tadi waktu akad aku tidak terlalu fokus dan juga tidak bisa lihat wajah kedua mempelai karena selain mereka mebelakangiku, aku juga duduk di baris paling belakang. Tapi kali ini aku bisa lihat karena kedua mempelai jalan berdampingan menaiki tangga. “HAH? KOK DIA?” Aku melongo lama sekali ketika tahu Luna adalah mempelai wanitanya. Jujur, aku disini hanya mewakili ibuku yang berhalangan hadir. Ibu sedang sakit di rumah, jadi beliau memintaku menggantikan beliau. Kata ibu, yang nikah ini anak laki-laki dari temen deket ibu di arisan. Tapi sumpah deh, aku nggak kenal mempelai pria maupun wanitanya. Cuma ya kaget aja, kalau memang mempelai wanitanya itu Luna, kenapa tadi dia santai banget menolongku sementara dia sendiri mau akad? Agak aneh nggak sih? Hm, oke lupakan itu. Mau siapapun mempelai wanitanya, tetap tidak ada hubungannya denganku. Sekarang, lebih baik aku fokus dengan hidangan di depanku. Saat ini aku benar-benarlapar karena tadi tidak sempat sarapan. Jadi sebenarnya sejak akad tadi, mataku udah melirik sana-sini, tepatnya ke arah meja prasmanan yang penuh dengan aneka macam makanan. Aku barusaja hendak mengambil potongan kue lapis, ketika tiba-tiba ada garpu yang terlebih dahulu menancap di kue itu. Seketika aku menoleh, dan langsung mundur satu langkah begitu tahu siapa yang saat ini berdiri menjulang di sampingku. “Eh masnya lagi.” Aku reflek nyengir sambil meletakkan garpuku di piring kecil yang aku bawa. “Kamu terkejut?” “Hah? Terkejut gimana maksudnya?” “Melihat adik saya berdiri di sana.” Laki-laki itu menunjuk pelaminan dengan tatapan mata yang menurutku agak janggal. Aku terdiam sejenak mencoba mencerna kenapa laki laki ini tiba-tiba membahas adiknya. “Eeee, iya. Selamat buat Luna dan suami,” balasku sedikit asal-asalan. Jujur, di sini aku masih bingung dengan arah pembicaraannya. “Kamu kenal Reza?” tanyanya lagi. “Hah? Reza siapa?” “Terus kamu di sini datang untuk mempelai perempuan atau laki-laki?” Mendengar pertanyaan itu, aku tidak langsung menjawab. Aku menggaruk pelipisku sesaat, lalu meringis tak enak hati. “Saya datang untuk mempelai laki-laki. Tapi jujur, saya nggak tahu namanya. Saya hanya menggantikan ibu saya yang sedang sakit,” jawabku sambil tersenyum kikuk. “Kan ada namanya di undangan.” “Sudah ditukar sama souvenir di pintu masuk. Yang saya tau inisial dari kedua mempelai sama-sama huruf ‘A’.” Laki-laki itu malah tersenyum sambil menggeleng beberapa kali. Mungkin dia heran kenapa ada orang sepertiku, mendatangi undangan pernikahan tapi sama sekali tidak tahu nama mempelainya. Ya lagian, ini kan yang nikah anak teman ibu, bukan temanku. “Saya Aji.” “Eh?” Aku cukup terkejut ketika tiba-tiba laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Kamu nggak mau—“ “Eee, saya Lia,” jawabku cepat sambil menyambut uluran tangan laki laki itu. Kami berjabat tangan tak lebih dari dua detik. “Kamu benar, kedua mempelai sama-sama berinisial huruf ‘A’. A untuk Areza dan Aluna.” “Oh, iya,” jawabku sekenanya. Aku bingung harus membalas apa karena aku merasa alur pembicaraannya terlalu random. Sebentar, apa cuma aku yang mencium sebuah kejanggalan disini? Kenapa laki laki ini, maksudku Mas Aji, seperti ingin menjelaskan sesuatu, tapi terasa gamang? Sebelumnya, aku memanggil laki-laki ini dengan sebutan ‘mas’ karena aku sangat yakin laki-laki ini lebih tua dariku. “Saya kesana dulu—“ “Eh sebentar, mas...” Aku reflek menahan sudut kemeja batiknya, lalu segera melepasnya kembali begitu dia menoleh. “Ada apa?” “Jujur nih, saya masih kepikiran sama yang waktu itu. Waktu itu saya belum benar-benar tulus minta maaf karena buru-buru. Masnya juga nggak menghubungi saya lagi masalah ganti rugi. Jadi mumpung masnya di sini, saya mau minta maaf atas kejadian sore itu. Saya benar-benar nggak sengaja.” Aku menangkupkan kedua telapak tanganku di depan wajah. “Sudah lama saya maafkan. Lain kali lebih hati-hati saja.” Seketika senyumku terbit begitu mendengar jawaban itu. “Beneran, nih? Saya nggak perlu ganti rugi?” “Nggak usah, cuma lecet sedikit.” Saat ini senyumku sudah semakin lebar saja. “Kalau gitu terimakasih banyak, Mas—Aji?” ucapku agak kikuk. “Iya, sama sama—Lia?” Aku mengangguk, lalu detik berikutnya dia tersenyum tipis sebelum akhirnya pamit pergi. Sumpah demi apa, dia cuma tersenyum tipis tapi kenapa manisnya kelewatan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD