7. Soul (Mates)

1328 Words
Ada desahan panjang yang mengiringi langkah Canadia Van Der Lyn sesaat ketika pandangan matanya menangkap siluet seorang lelaki yang tengah mondar-mandir di dapurnya. Tak perlu menebak, semua orang pun tahu bahwa lelaki itu tak lain adalah Matheo Diaz. Entah sudah berapa lama lelaki itu berada di sana. Dari kejauhan, Canadia bisa melihat kegelisahan di wajah Matheo, terlebih ketika ia berulang kali mengusap dagunya dengan kasar. “f**k!” “Lima,” timpal Canadia. Suaranya langsung membuat Matheo berbalik dan melihat keberadaan Canadia, Matheo langsung mendesah kasar. “Kau tahu, aku akan menobatkan hari ini sebagai hari terbanyak kamu memaki padaku,” ucap Canadia dengan santai. Seolah tak terjadi apa pun di antara mereka sebelumnya. Seolah tak tercipta ketegangan sehingga Canadia bisa dengan leluasa memandang Matheo, bahkan dengan santai gadis itu berjalan menghampiri Matheo. Sementara Matheo memberikan reaksi berbeda ketika ia berulang kali mendengkus. Memejamkan mata, seolah berusaha menahan desitan temperamen yang mulai merambat ke otaknya. “Cana, aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian.” TAK Bunyi suara gelas yang diletakkan dengan kasar di atas wastafel itu tak membuat Matheo bergeming. Ia teguh memandang wajah Canadia dari samping, sementara gadis itu hanya menggulirkan mata hingga pandangannya tertuju pada Matheo. “Aku sudah berpikir ratusan kali dan aku tetap tak akan membiarkanmu ke sana. Tidak!” Matheo menggelengkan kepalanya. “itu terlalu berbahaya!” Lanjut pria itu. Tidak ada tanggapan dari Canadia. Wanita muda itu hanya diam selama beberapa detik lalu ia menundukkan kepala dan kemudian melepaskan desahan kasar dari mulut. Canadia menumpu tubuh dengan kedua tangannya yang menempel di atas wastafel. Wanita muda itu diam selama beberapa detik dengan ekspresi wajah yang secara perlahan mulai berubah. “Terlebih kamu ke sana dengan identitas aslimu. Apalagi alasan Richard Alton mengundang seorang Van Der Lyn untuk pergi ke kastil judinya jika bukan—“ “Matheo Diaz!” sebutan itu cukup membungkam mulut Matheo dan membuatnya tertegun di tempat. Mimik wajahnya berubah drastis. Kedua tangannya mengapit ke dalam tubuh. Ia berdiri tegap lalu menundukkan kepalanya. “Ya, Nona ....” Ada sesuatu yang mencelos perih dari dalam hati Canadia hingga membuatnya memejamkan mata. Wanita muda itu menelan saliva susah payah sebelum membalikkan tubuhnya. “Kau tahu aku benci ketika melihatmu seperti ini!” desis Canadia. Tangannya gemetar saat ia membuka sebuah laci lalu mengeluarkan sebotol wiski dari sana. Canadia menuangkan isi cairannya ke dalam seloki lantas menenggaknya dengan cepat, sementara Matheo tak berkutik lagi. Sebuah mantra yang hanya terdiri dari satu kalimat sanggup membuat Matheo terdiam kaku. Menegaskan sekali lagi di mana posisi pria itu dan bahwa dia sudah terlalu banyak melanggar batas. “Aku punya rencana!” ucap Canadia. Wajahnya menjadi tegas, ia pun menoleh ke samping dan memandang Matheo yang masih menundukkan kepalanya. Melihat kepasrahan Matheo sekali lagi membuat Canadia mendesah lirih. Ia menarik napas dan memutar tubuh, gadis Van Der Lyn itu kemudian memutuskan untuk menghampiri Matheo. Ditangkupnya wajah Matheo dengan kedua tangannya hingga secara perlahan wajah Matheo mengarah padanya. “I have a plan,” gumam Canadia seketika tatapannya melembut. Sudut bibirnya bergerak dan secara perlahan membentuk senyuman. Tanpa aba-aba, gadis itu langsung mencium dahi Matheo. Ya Tuhan, Canadia tak sanggup. Bagaimana pun, Matheo terlihat seperti anjing peliharaan. Dia sangat patuh, tetapi Canadia tahu persis bagaimana buasnya hati Matheo ketika berhadapan dengan bahaya yang mengincar nyawa Canadia. “Matheo, aku tidak bilang bahwa aku akan pergi sendirian.” Ucapan Canadia kali ini membuat hati Matheo menghangat sehingga tanpa sadar dia pun mendongakkan dagunya, dan memandang gadis itu. Canadia tersenyum kini. “Hei ... apa yang kamu pikirkan, hah?” gumam gadis itu. Tampak kedua sisi alis Matheo berkedut dan perlahan melengkung ke tengah, membuat lipatan di dahinya. “Kamu adalah senjataku,” Canadia memejamkan mata lalu menggeleng singkat. “bukan. Kamu adalah tombakku,” koreksinya. Sekali lagi ia memandang Matheo dengan tatapan yang lebih dalam. Canadia kembali tersenyum, ia pun membelai satu sisi wajah Matheo. “Andaikan sebuah senjata, kita adalah revolver. Aku hanyalah pistolnya, tetapi kamulah pelurunya,” ujar Canadia. Ia semakin menarik sudut bibirnya ke atas, memberikan lebih banyak senyuman untuk lelaki paling berjasa di hidupnya itu. “Aku tak akan pernah melakukan semuanya sendirian, karena selamanya aku akan membutuhkanmu,” ujar Canadia. Matheo masih terdiam dan seolah tak mau mengomentari ucapan Canadia, akan tetapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam Matheo sangat tersentuh oleh ucapan majikannya barusan. Lelaki itu menunduk semakin dalam lalu mendesah lirih. Lagi-lagi Matheo terdiam dan mulai berperang dengan dirinya di dalam hati, kemudian mulailah Matheo mengerti bahwa ketakutannya tak akan pernah lebih besar daripada keingintahuan Canadia terhadap keberadaan ayahnya. Sehingga apa pun di dunia ini yang mencoba untuk menghalangi rencana Canadia, maka gadis itu akan mengerahkan seluruh kekuatan yang dia miliki untuk melawannya. Bahkan walau Canadia tahu dia tidak memiliki kekuatan apa pun, ia tak akan pernah menyerah untuk mencari tahu di mana keberadaan ayahnya. “Hah ....” Matheo mendesah lirih untuk ke sekian kalinya. Tampak jakun lelaki itu bergerak ketika ia menekan tenggorokannya dan menelan saliva. Matheo pun kembali memandang wajah Canadia. “Baiklah,” ucap Matheo dengan pasrah. “kalau begitu katakan padaku rencana yang kamu miliki dan kita akan pergi bersama.” Canadia tersenyum simpul kemudian menganggukkan kepalanya. Gadis itu tak langsung menjawab pertanyaan Matheo melainkan ia memilih untuk mendekat dan memeluk tubuh Matheo. “Aku akan memberitahu semuanya, tetapi izinkan aku memelukmu sebentar saja.” Hati Matheo berkedut dengan rasa aneh hingga membuatnya mengerutkan dahi. “Canadia, kamu tahu bahwa kamu bisa melakukannya berulang kali dan akan tetap bisa melakukannya kapan pun kamu mau dan kapan pun kamu membutuhkannya, tetapi jangan pernah berkata seperti tadi,” ujar Matheo. Ia terdiam ketika Canadia tiba-tiba mendongakkan wajahnya. Gadis itu mengerutkan dahi, memasang tampang tak bersalah. “Like what?” tanya Canadia dengan santai. Matheo mendengkus. Ia memalingkan wajahnya dan seketika menegaskan rahang. Lelaki itu kembali frustasi. Betapa siksanya bertengkar dengan diri sendiri dan satu-satunya senjata terampuh yang bisa meledakkan isi kepala Matheo dalam sedetik hanyalah berdebat dengan Canadia Van Der Lyn. Lelaki itu memandang Canadia dengan tatapan membunuh. Buas dan tajam. Namun, sekali lagi. Semakin Matheo memperlihatkan ekspresi menakutkan tersebut, semakin Canadia merasa terhibur. “Cana, kamu tahu bahwa aku akan tiada ketika seseorang bahkan hanya menggores permukaan kulitmu!” ucap Matheo dengan nada penuh penekanan. Canadia terdiam sejenak. Apa yang baru saja dikatakan Matheo bukanlah sebuah lelucon. Tersirat sumpah di sana dan Canadia tak bisa menanggapinya dengan lelucon, tetapi wanita itu tahu bahwa sebaris senyum di wajahnya dapat memadamkan luapan emosi dalam diri Matheo. Maka Canadia melakukannya. “Ya, Matheo, aku tahu,” ucap Canadia. Ia pun kembali mendaratkan wajahnya ke depan d**a bidang milik Matheo. Matheo terdiam dengan nafas yang tertahan di d**a. Lelaki itu memejamkan mata dan seolah tak sanggup untuk membukanya lagi. Tidak. Ini terlalu nyaman, sekaligus menyakitkan. “Ya Tuhan, Canadia!” Lelaki itu akhirnya menyerah. Ia pun membalas pelukan Canadia dengan mendekap erat tubuh mungil itu. Tak ragu lagi, Matheo pun menempelkan bibirnya pada puncak kepala Canadia. “Aku selalu bermohon pada Tuhan bahwa jika nanti aku akan mati, aku ingin mati di pelukanmu,” gumam Canadia. Matheo terpejam, tanpa sadar dua bulir air mata lolos dari pelupuk matanya. Matheo Diaz tahu bahwa ada rasa terdalam yang secara khusus diberikan Canadia untuknya. Matheo tak ingin besar kepala, tetapi gadis yang umurnya sangat jauh di bawahnya itu telah secara gamblang menyatakan bahwa Matheo adalah cintanya. Matheo adalah kekasihnya. Namun, Matheo tak dalam posisi di mana dia bisa membalas pernyataan tersebut. Dia tahu di mana posisinya. Membiarkan dia dan Tuhannya saja yang tahu sedalam apa perasaannya terhadap Canadia Van Der Lyn, akan tetapi sumpahnya kepada Lucas Van Der Lyn tak mengizinkan Matheo untuk menjadi kekasih dari Canadia. ‘Berjanji padaku bahwa kamu akan menjaga putriku dengan nyawamu bahkan kamu akan menjaganya seumur hidupnya dan hanya akan membawa Canadia pada seorang lelaki yang benar-benar layak untuknya.’ ‘Ya, aku berjanji padamu, Tuan.’ Satu janji tersebut adalah hutang nyawa bagi Matheo Diaz, maka untuk selamanya dia hanya bisa memendam perasaannya di dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD