Reinald melangkah menuju ruangan pribadinya yang berada di lantai dua. Mendudukkan bokongnya dengan pelan di atas kursi kebesarannya. Sudah ada beberapa berkas yang terdapat di atas meja Reinald. Beberapa berkas perkembangan resto yang harus ia periksa.
Baru saja Reinald hendak membuka sebuah berkas, tiba-tiba ia mendengar pintu ruangan itu diketuk dari luar.
“Masuk!”
Seorang wanita muda yang sangat cantik, masuk ke dalam ruangan Reinald seraya membawa sebuah nampan berisi dua cangkir minuman dan makanan ringan.
“Ma—maaf, Pak. Saya hendak mengantarkan minuman untuk anda.”
“Hhmm ... letakkan saja di atas meja.” Reinald menjawab tanpa menoleh ke arah wanita itu.
“Maaf, apa ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?”
“Oiya, tolong panggilkan pak Dhani ke sini.”
“Baik, Pak. Apa ada lagi?”
“Tidak terima kasih.”
Wanita itu pun keluar dari ruangan Reinald dengan perasaan sedikit kesal. Reinald Anggara—pemilik resto tempatnya bekerja—sama sekali tidak melihat ke arahnya.
“Syifa, kamu kenapa?” Syifa—nama wanita yang sudah menatap Reinald secara diam-diam—meletakkan nampannya dengan kasar di dapur resto itu.
“Sombong sekali ya Reinald itu.”
“Maksudmu, pak Reinald?”
“Siapa lagi. Bos yang sok tampan dan merasa paling keren sedunia itu.”
“Syifa, kamu jangan bicara seperti itu. Pak Rei adalah pemilik resto ini. kalau dia mendengar apa yang kamu katakan, bisa-bisa dia akan memecatmu.” Rika—salah satu karyawan Reinald—berusaha mengingatkan Syifa.
“Aku tidak peduli. Manusia sombong seperti dia harus diberi pelajaran.” Syifa membuang muka dan segera beranjak meninggalkan dapur resto itu. Ia mencari Dhani—manajer resto.
Setelah berkeliling resto, akhirnya Syifa menemukan Dhani yang tengah mengatur bahan makanan yang baru saja datang dari pasar.
“Permisi, pak Dhani. Maaf menganggu.”
“Syifa? Ada apa?”
“Barusan pak Reinald berpesan, anda disuruh menyusul ke ruangannya.”
“Oiya ... saya lupa bahwa hari ini pak Rei akan melakukan Briefing untuk kita semua, terutama untuk para karyawan baru. Sebab sudah cukup lama pak Rei tidak menemui semua karyawannya.”
“Iya ... tadi Syifa lihat, sepertinya pak Rei tengah sibuk.”
“Ya sudah, terima kasih sudah mengingatkan saya, Syifa. Saya akan segera menyusul pak Rei ke ruangannya. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu.”
“I—iya, Pak. Terima kasih.”
Syifa kembali menuju dapur, tempat ia bertugas. Sebab tugasnya memang sebagai pramusaji yang menawarkan makanan kepada pelànggan dan mengantarkan makanan mereka.
Dhani yang mendengar perintah, seketika langsung meninggalkan tempatnya dan berjalan menuju lantai dua resto—tempat Reinald berada.
“Permisi, Pak.” Dhani masuk ke ruangan bos besarnya.
“Pa Dhani ... silahkan duduk. Maaf jika saya sudah sangat jarang berkunjung ke sini. Saya sedang sibuk menyiapkan beberapa cabang untuk resto kita.” Reinald menyalami manajernya, sikapnya begitu ramah.
“Tidak masalah pak Rei. Alhamdulillah, perkembangan resto kita cukup baik. Semua data-datanya sudah ada dalam berkas yang tengah anda pegang.”
“Iya, saya sudah membacanya. Luar biasa, semakin hari pelànggan resto kita semakin meningkat. Grafik omset penjualan setiap bulannya juga semakin naik.”
“Iya pak, semua berkat kerja sama tim.”
“Anda juga hebat mengatur semuanya dengan baik, pak Dhani. Tidak salah saya mempercayakan resto ini kepada anda.”
“Ah, tidak pak Rei. Oiya, jam berapa anda akan mengadakan briefing? Saya akan siapkan karyawan untuk itu.”
“Ada berapa orang karyawan baru di resto ini?”
“Koki baru kita ada dua orang, pramusaji lima orang, tenaga kebersihan satu orang dan kasir satu orang. Sisanya adalah karyawan lama, Pak.”
“Jadi bagian kantor tidak ada karyawan baru?”
“Tidak, Pak.”
“Hhmm ... baiklah. Oiya, barusan siapa yang sudah mengantarkan minuman kepadaku?”
Dhani terlihat sedikit panik mendengar pertanyan Reinald. Pasalnya, Syifa termasuk karyawan baru di resto itu. Karyawan yang biasanya mengantar minuman dan manakan untuk bos, sedang cuti melahirkan. Jadi untuk sementara Dhani memerintah Syifa yang melakukan pekerjaan itu.
“Ma—maaf ... apa ada masalah, Pak?”
“Tidak, kopi dan teh jahe buatannya sangat enak. Sampaikan ucapan terima kasih saya kepadanya.”
Dhani menghela napasnya, ia lega, “Owh ... saya kira ada apa, sebab yang mengantar minuman itu adalah salah satu pramuniaga baru kita. Namanya Syifa, baru bekerja selama satu minggu di sini. Kehadirannya membuat resto ini semakin bersinar.”
“Oiya? Bisa pertemukan saya dengannya?”
“Tentu, Pak.”
“Kalau begitu suruh ia menemui saya sekarang. Tiga puluh menit lagi, saya akan melakukan briefing. Persiapkan semua karyawan baru dan beberapa karyawan lama. Jam sepuluh nanti, saya mau menemui calon investor. Saya berencana membuka cabang di beberapa daerah lainnya.”
“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.”
“Silahkan pak Dhani.”
Manajer Reinald itu pun berlalu meninggalkan bosnya seorang diri. Setelah ditinggalkan oleh Dhani, Reinald kembali membuka berkas data-data karyawan baru di restonya. Baru saja tangannya hendak membuka sebuah berkas, tiba-tiba ada yang mengetuk kembali pintu ruangan itu.
“Masuk!”
“Maaf, apa benar bapak menyuruh saya ke sini?”
Reinald mendengar suara lembut seorang wanita masuk ke dalam ruangannya. Ia meletakkan berkasnya di atas meja dan mulai menoleh ke arah sumber suara.
Reinald cukup terpana, seorang wanita muda yang diperkirakan berusia maksimal tiga puluh tahun, kini berdiri dihadapannya. Wanita cantik dengan rambut lurus panjang yang diikat rapi menggunakan scarft berwarna merah.
“Apa kamu yang sudah mengantar minuman untuk saya pagi ini?”
“Iya, Pak. Maaf, apa ada masalah?”
“Tidak ada, silahkan duduk. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih. Kopi dan teh jahe buatan anda sangat enak. Saya tertarik untuk menjadikannya salah satu menu andalan di cafe ini, apa anda tidak keberatan?” Reinald tersenyum ramah.
Syifa menatap senyuman itu dengan perasaan kagum. Ia jadi teringat cerita seseorang mengenai sosok Reinald yang begitu di kaguminya. Kakak kandung Syifa yang sudah lebih dahulu berpulang, menyuruh Syifa mencari Reinald untuk sebuah pesan penting.
“Anda terlalu berlebihan, Pak. Itu hanya resep turun temurun dari ibu saya. Kebetulan mendiang kakak saya yang sudah mengajari saya membuat minuman seperti itu.” Syifa tertunduk, ia jengah. Syifa merasa tidak kuat bertahan terlalu lama menatap senyuman pria empat puluh dua tahun itu.
“Saya tidak berlebihan, Nona. Minuman buatan anda memang sangat lezat dan memiliki cita rasa istimewa. Oiya, siapa nama anda?”
“Syifa, Pak. Nama saya Syifa Flowerina.”
“Hhmm ... nama yang sangat cantik. Sudah berapa lama bekerja di sini?”
“Baru satu mingu, Pak. Kebetulan teman saya yang merekomendasikan dan memberitahu bahwa resto anda sedang butuh pramuniaga. Jadi saya melamar, dan alhamdulillah saya diterima.”
“Hhmm ... jika anda tidak keberatan menjadikan minuman buatan anda menjadi salah satu menu andalan di resto ini, makan saya akan memberikan bonus untuk anda. Anggap saja sebagai rasa terima kasih sudah memberikan hak untuk resto menggunakan resep andalan anda untuk menunya.”
“Ti—tidak perlu seperti itu, Pak. Jika anda memang ingin menggunakan kopi dan teh jahe buatan saya menjadi salah satu menu di resto ini, silahkan saja. Saya sama sekali tidak keberatan tanpa harus membayar. Bahkan saya bersedia membagi tahu resep lainnya yang sudah diturunkan oleh kakak saya.”
“Benarkah? Anda mulia sekali. Tapi bisnis tetaplah bisnis Syifa. Saya tidak ingin mengambil keuntungan sementara sang pemilik resep malah tidak dapat apa-apa. Nanti akan kita bicarakan lagi mengenai hal ini. Saya harap, anda betah bekerja di sini. Jika anda masalah, kendala atau sesuatu yang ingin anda sampaikan, anda bisa langsung sampaikan kepada saya. Ini kartu nama saya, saya memberikan anda hak untuk menghubungi saya secara pribadi.”
Syifa menerima kartu nama dari tangan Reinald. Netranya berbinar menatap tulisan yang tertera di kartu nama itu. Apa lagi Reinald menyatakan memberikan hak untuk Syifa menghubunginya secara pribadi, ia semakin bahagia.
“Benarkah anda mengizinkan saya untuk menghubungi anda secara pribadi, Pak? Tidak harus melalui pak Dhani?”
“Iya, Syifa. Jika anda butuh sesuatu, silahkan langsung hubungi saya secara pribadi.”
“Te—terima kasih, Pak.”
“Sama-sama Syifa. Kalau begitu silahkan anda kembali bekerja. Sebentar lagi saya akan mengadakan briefing, semua karyawan baru harus ikut serta.”
“I—iya, Pak. Saya pasti akan menghadirinya.”
“Hhmm ....”
“Maaf, kalau sudah tidak ada lagi, bolehkah saya permisi?”
“Tentu, Syifa. Silahkan.”
“Selamat pagi, Pak.”
Syifa pun bangkit dari duduknya dan segera berlalu dari ruangan Reinald. Ia memeluk kartu nama Reinald. Hatinya berdebar dan ia bahagia bisa bertemu dan berbincang langsung dengan lelaki yang begitu dipuja oleh mendiang kakaknya.
Reinald Anggara, pantas saja kakakku begitu mengagumimu. Bahkan ia rela menyendiri hingga ajal menjemputnya. Semua itu karena ia terlalu mencintai dan memujamu. Setiap saat hanya kau saja yang ada dalam pikirannya. Setiap saat, mulutnya tidak pernah lepas dari rasa kagum dan cinta yang dalam.
Kau memang istimewa, Reinald. Sangat istimewa ...
Syifa menyimpan kartu nama itu dengan baik dalam dompetnya. Ia memastikan akan menghubungi Reinald secara pribadi, suatu saat nanti.