Keesokan harinya, semua terjadi seperti biasa. Bara tetap berangkat kerja bersama Camila. Gadis itu tetap bekerja seperti biasa. Ia sibuk dengan jadwal-jadwal Bara dan tugasnya sendiri. Bekerja di kantor baru ini tidak terlalu berat. Tadinya Camila pikir ia akan kesulitan untuk beradaptasi di tempat baru. Nyatanya malah jauh lebih mudah. Dalam dua minggu bekerja saja ia sudah akrab dengan beberapa karyawan di kantor, terutama Emi.
Hubungan Bara dengan Camila tidak ada perkembangan karena memang hanya berjalan seperti atasan dan karyawannya. Namun Bara dan Anne terlihat lebih dekat. Bahkan Anne sering menulis di dalam ruangan Bara. Dalam keadaan ruangan yang tertutup, membuat hati Camila tidak tenang dengan apa yang mereka lakukan di dalam.
Tepatnya, Camila cemburu. Ya, Camila mulai mencintai Bara. Entah sejak kapan, Camila tidak tahu persis. Yang ia tahu jika sedang bersama Bara, jantungnya akan berdebar dengan keras dan hatinya terasa hangat. Ia tahu dirinya hanya terlalu berlebihan karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama Bara. Padahal Bara tidak ada perasaan apa-apa padanya. Rasanya menyakitkan ketika kita menyimpan perasaan sendiri untuk seseorang. Apalagi jika kita tahu jika perasaan kita tidak akan terbalaskan.
Setiap pagi, Bara memang selalu mengajak Camila berangkat bersama. Tapi saat jam pulang kerja, pria itu lebih sering pulang bersama Anne. Jelas saja, mereka kan sedang dalam masa pendekatan. Sepertinya. Bara tidak pernah cerita apa-apa lagi sejak dua minggu yang lalu. Mungkinkah pria itu mulai belajar menerima keberadaan Anne? Kenapa Camila malah tidak terima begini.
"Mil. Makanan kamu keburu dingin loh," ucap Emi sembari menepuk lengan Camila yang telihat melamun di depannya. Sekarang mereka berdua sedang makan di sebuah restoran cepat saji yang agak jauh dari kantor. Karena Emi katanya ingin mencoba es krim baru di restoran itu. Jadilah saat pulang kerja, mereka mampir dulu kesini.
"Eh iya, Em."
"Mikirin apa sih? Pacar ya?" tebak Emi dengan senyum menggoda.
Camila tersenyum kecil lalu menggeleng. "Sok tahu kamu. Nggak mikirin siapa-siapa kok."
Emi mencebikkan bibirnya kemudian menyendok es krimnya lagi dan memasukkan ke dalam mulutnya. "Kamu belum punya pacar, Mil? Perasaan kamu pulang ya pulang aja. Nggak ada yang jemput gitu?"
"Ya memang nggak punya pacar kok."
"Kirain punya gitu. Atau LDR? Secara kamu kan dari Malang. Masa nggak punya pacar?" tanya Emi lagi.
Lagi-lagi Camila menggeleng, kali ini lebih mantap. "Belum kepikiran soal pacaran lagi."
"Lagi? Wah! Sebelumnya pasti punya ya," goda Emi lagi yang membuat Camila merutuki mulutnya yang malah menjawab pertanyaan Emi. "Pernah dikecewain pasti ya?" tebaknya lagi.
Kali ini Camila hanya tersenyum menanggapinya. "Biasa aja kok. Memang sudah nggak cocok. Mau gimana lagi?" Ia mengedikkan bahunya. Tidak mungkin ia cerita soal pernikahannya yang batal kan? Yang ada Emi akan semakin ingin tahu. Camila sedang tidak mau membahasnya, tepatnya tidak akan pernah mau membahas soal masa lalunya yang pahit itu.
"Iya sih. Kalo nggak cocok memang jangan dipaksakan. Kayak Pak Bara sama Anne tuh. Aneh deh. Kok mereka makin deket ya. Pak Bara mau aja lagi dideketin sama Anne." Emi bergidik ngeri membayangkan jika Anne dan atasannya menjadi sepasang kekasih. Sangat tidak cocok, tepatnya sifat mereka sangat tidak cocok.
"Memangnya kenapa? Kan Pak Bara ganteng, Anne juga cantik. Mereka terlihat... cocok." Camila agak berat mengatakannya tapi ia tidak ingin jika Emi sampai tahu soal perasaannya pada atasannya itu.
Emi menggeleng dengan tegas. "Nggak sama sekali. Titik. Anne tuh kekanakan dan terlalu bebas. Aku sering lihat sosial medianya. Ya ampun hampir tiap malam ke bar, nongki-nongki sama cowok, mana bajunya suka minim. Lihat sendiri roknya kalo pas ke kantor. Pendek banget. Aku yakin kalo dia nungging dikit aja, celana dalemnya bisa keliatan."
Camila tertawa. Bukan menertawakan soal Anne dan kehidupannya, apalagi pakaiannya. Camila tidak peduli soal itu. Tapi cara Emi menceritakan Anne seperti penuh dendam dan ketidaksukaan. "Masa sih?"
"Mana suka masuk ke ruangan Pak Bara. Ngapain coba? Jangan sampai deh Pak Bara kecantol sama tuh cewek."
..............
Semua pembicaraannya dengan Emi tadi sore membuat Camila kepikiran. Bagaimana jika memang Bara dan Anne semakin dekat? Bagaimana jika Bara mulai menerima Anne karena terpesona dengan kecantikan gadis itu? Apa yang mereka lakukan di dalam ruangan Bara hampir setiap hari? Dan... apa yang Bara lakukan setiap malam hingga dia sering pulang larut? Ke bar terus kah? Camila jadi takut jika Bara lama kelamaan akan tertular dengan kebiasaan Anne yang suka ke bar. Ia yakin, Bara bukan tipe pria seperti itu. Tapi kalo hampir setiap hari diajak kan, pasti lama-lama akan ketagihan.
Brak!
Camila terkejut mendengar suara pintu yang terbuka begitu keras dari arah samping kamarnya. Tepatnya dari kamar Bara. Gadis itu segera beranjak dari tempatnya dan melihat keadaan di luar kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, seperti biasa ia belum bisa tidur. Tadinya ia bersiap-siap untuk tidur. Tapi setelah mendengar suara keras itu, mendadak rasa kantuknya lenyap seketika.
"Bara!" pekik Camila yang terkejut. Ia melihat Bara yang terduduk di depan kamarnya dengan keadaan setengah sadar. Bau alkohol dari tubuh pria itu jauh lebih menyengat dari biasanya. Apa Bara mulai mengkonsumsi minuman keras itu?
Camila memperhatikan sekelilingnya. Semua kamar kos sudah tertutup. Biasanya memang mereka tidur lebih awal. Sehingga keadaan di luar kamar sangat sepi. Ia pun segera membantu Bara bangkit meski pria itu bergumam tidak jelas dan bau alkohol tercium dari mulutnya.
"Argh." Bara melenguh saat tubuhnya terbaring di atas ranjangnya. Matanya terbuka sedikit dan menatap Camila. "Kamu cantik," ucapnya dengan suara parau.
Kedua pipi Camila terasa panas. Apa ini? Bara sedang mabuk tapi malah menggodanya. Apa dia sedang membayangkan Anne? Ya, Camila tidak boleh kepedean.
Namun tiba-tiba tangan kekar Bara menarik tangan Camila hingga tubuh gadis itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat di atas d**a bidangnya.
"Bar. Lepasin." Camila berusaha bangkit tapi tangan Bara malah memeluknya dengan erat.
"Sejak ada kamu disini, aku suka," ucap pria itu tepat di depan telinga Camila, menimbulkan sensasi geli pada gadis itu.
"Bar. Sadar ih!"
"Aku sadar, Mil. Aku sadar," ucap Bara dengan suara serak.
Camila merasa perasaannya jadi tidak enak. Bara memang barusan menyebut namanya. Tapi apa benar itu yang Bara rasakan? Lalu kenapa dia malah dekat dengan Anne? Seakan dia mulai menerima gadis itu? Apa Bara hanya ingin mempermainkannya? Terlebih sesuatu di bawah sana terasa keras dan menuntut untuk keluar. Camila jadi semakin takut dengan apa yang terjadi.
"Andai aku bisa pergi dari Anne, apa kamu mau menerimaku? Aku tidak tahan lama-lama bersamanya. Aku ingin bersamamu."
"Jangan mengada-ngada. Tidak mungkin kamu menyukaiku. Kita baru kenal."
Bara malah tersenyum dan memejamkan matanya. "Memangnya butuh berapa lama untuk rasa suka itu datang?"
"Jangan main-main soal perasaan, Bar."
Bara membuka matanya kembali lalu dengan kekuatannya, ia membalik tubuhnya hingga kini Camila berada di bawahnya. "Aku tidak main-main. Aku akan menunjukkan keseriusanku."