Setelah melepas menutup video call dari Tante Hani aku segera menyimpan baju Attar yang sudah kulipat rapi. Sekarang saatnya Attar makan. Aku menyuapinya dengan pure alpukat yang telah disiapkan oleh Bi Marni. Begitu kenyang setelah disuapi, Attar langsung mengantuk dan tak lama tertidur. Setelah menyimpan Attar di kamar, aku pun menata barang-barang yang masih berantakan di kamar bawah. Aku menyimpan sebuah laptop dan beberapa perlengkapan lain yang memudahkan pekerjaanku sebagai perancang baju. Selain itu, aku juga menyimpan beberapa tas dan sepatu untuk digunakan ke acara-acara formal. Tak jauh berbeda dengan kamar atas, kamar ini pun didesain dengan indah dan elegan, hanya saja corak warnanya yang membedakan. Kamar ini dominan warna biru muda, sehingga siapapun yang memasukinya akan merasakan kesan sejuk, nyaman dan teduh. Aku menyimpan laptop dan buku sketsaku pada sebuah meja kerja yang ada di kamar ini. Ah, melihat gambar-gambar rancangan bajuku, aku jadi rindu butik. Tapi, sekarang aku harus menomorduakan butik. Biarlah butik diawasi oleh adikku, Mira. Sekarang yang menjadi fokus utamaku adalah Mas Zaidan dan anak-anak.
Setelah semuanya beres, aku pun memutuskan untuk pergi ke dapur. Aku ingin belajar masak menu-menu yang disukai Mas Zaidan dan Qia. Untungnya Bi Marni dan Bi Eti dengan senang hati mau membantuku. Saat ini, aku ditemani Bi Marni untuk memasak makan siang. Bi Eti aku minta untuk fokus merapikan dan membersihkan rumah saja. Meskipun pekerjaan Bi Marni mengasuh anak-anak, namun beliau juga bisa memasak menu kesukaan Mas Zaidan, Qia, juga Attar. Siapa tahu aku bisa mencuri hati ayah dan anak itu lewat masakanku. Semoga saja mereka menyukainya.
Saat ini aku memasak udang goreng tepung, tumis capcay, bakwan jagung plus sambal terasi untukku sendiri. Menurut Bi Marni, tiga masakan ini adalah favorit mereka.
“Bapak sih cenderung gampang kalo makan, Bu. Gak pilih-pilih, cuma memang beliau paling suka ketiga menu ini,” ucap Bi Marni sambil membersihkan udang dari kulitnya.
“Oh, gitu, Bi. Kalau Qia kesukaannya apa, Bi?”
“Sama aja, Bu. Bapak sama anak sama kok. Non Qia juga gampang, gak pilih-pilih. Cuma ya namanya anak-anak, kadang dia kalo udah kebanyakan jajan di luar suka gak mau makan masakan rumah.”
Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengerti. Aku akan mengingat dengan baik semua ucapan Bi Marni. Aku kembali melanjutkan memotong wortel, saycim dan kembang kol yang telah aku bersihkan tadi. Sambil memotong sayuran, aku kemballi bertanya, “kalau camilan gitu pada suka makan apa, Bi?” Mungkin nanti aku bisa membuatnya untuk Mas Zaidan dan Qia.
Bi Marni terlihat berpikir sejenak. “Oh iya, Non Qia itu paling suka makanan-makanan yang mengandung cokelat, Bu. Misal kayak puding cokelat, kue brownies, blackforest, pokoknya yang ada cokelatnya pasti Non Qia doyan.”
Aku menikmati waktu memasakku saat ini bersama Bi Marni. Aku dan beliau bercerita banyak hal. Pekerjaan memasak seperti ini bukan pekerjaan yang sulit bagiku meski aku lebih sering memegang meteran kain, benang, jarum jahit, buku sketsa dan pensil gambar. Kegiatan memasak ini adalah kegiatan favoritku yang kedua setelah mendesain baju. Aku bisa memasak menu rumahan sederhana, cake, kue kering dan beberapa kue basah tradisional. Almarhummah ibuku dan Tante Hani banyak mengajariku perihal masak-memasak. Aku juga sudah biasa memasak ketiga menu tadi, namun aku hanya takut berbeda resepnya dengan yang sering dimasakkan almarhummah Mbak Risa. Aku sudah bertekad akan melakukan apapun agar aku bisa diterima di keluarga ini. Aku pun bertekad untuk kuat dan tidak menyerah sekuat apapun penolakan mereka. Batu yang ditetesi air terus menerus akan berlubang juga bukan? Apalagi hati manusia. Kuharap hati mereka tidak lebih keras dari batu.
Tak terasa sudah jam 11.00. Akhirnya masakan pun sudah selesai dihidangkan di atas meja.
“Bu, saya izin jemput Non Qia dulu ya ke sekolahnya,” ujar Bi Marni.
“Oh, Qia pulang jam segini ya, Bi?” tanyaku sambil mengelap tangan habis mencuci beberapa peralatan masak.
“Iya, Bu.”
“Biar saya aja ya Bi yang jemput. Bibi kasih tau aja di mana sekolahnya,” ujarku.
“Eh? Apa tidak merepotkan, Bu?”
“Ya nggak dong, Bi, kan Qia juga anak saya sekarang. Saya ganti baju dulu ya.”
Aku pun segera ke kamar atas mengganti baju dengan cepat. Aku berganti baju menggunakan celana kulot, baju lengan panjang, jilbab bergo dan dilengkapi jaket. Aku memastikan sekilas penampilanku rapi karena aku tidak mau mempermalukan Qia jika baju yang kupakai tidak rapi. Aku segera mengambil tas selempang dan ponselku di nakas dengan cepat karena tidak mau terlambat dan Qia terlalu lama menunggu. Begitu aku akan keluar kamar, terdengar tangis Attar. Rupanya bayi ini sudah bangun dari tidur pulasnya. Aku pun segera menggendongnya dan mencium pipi gembulnya.
“Uuh, Sayang. Adek Attar udah bangun ya? Haus lagi, Sayang? Sama Bi Marni dulu ya? Mama mau jemput kakak dulu di sekolah.” Aku segera ke luar kamar dan mencari Bi Marni untuk menjaga Attar selagi aku pergi.
“Bi, aku titip Attar sebentar ya, dia nangis. Haus kayaknya,” ujarku sambil menyerahkan Attar ke dalam gendongan Bi Marni.
“Iya Bu, nanti Den Attar saya kasih susu.”
“Oh iya, kunci motor Bapak disimpan di mana, Bi?”
“Itu Bu, di aneka gantungan kunci dekat kulkas,” ucapnya sambil menunjuk ke arah kulkas. Aku berlari cepat dan segera mengambil kunci itu.
“Saya jalan dulu ya, Bi. Assalamu’alaikum,” pamitku pada Bi Marni.
“Wa’alaikumussalam.”
Aku memutuskan untuk mengendarai motor Mas Zaidan yang ada di garasi. Aku pikir akan lebih cepat jika mengendarai motor dibanding mobil. Tak memakan waktu lama, aku pun tiba di sekolah Qia. Aku pun bergegas turun setelah memarkirkan motor. Aku lihat dia sedang menunggu di tempat khusus yang disediakan playgroup dan TK untuk siswa menunggu jemputannya. Kulihat beberapa Qia sedang bermain bersama anak-anak lain yang kuduga sedang menunggu dijemput ditemani seorang guru perempuan. Aku pun langsung menghampiri tempat tersebut.
“Assalamu’alaikum, selamat siang, Bu,” sapaku sopan pada ibu guru perempuan yang menggunakan gamis hitam dan jilbab ungu motif bunga.
Guru yang masih muda dan cantik itu langsung menghampiriku. “Wa’alaikumussalam. Maaf Ibu, ada yang bisa saya bantu?” Aku taksir ia berusia sekitar dua puluh tahunan.
“Oh iya Bu, saya ingin menjemput Qia,” jawabku.
“Oh Qia ya, maaf kalo boleh tau ibu siapanya Qia ya? Soalnya biasa yang menjemput Qia itu Bi Marni.”
“Oh, saya ma- ”
“Dia tante aku, Bu,” sela Qia sebelum aku selesai menjawab pertanyaan ibu guru tadi. Qia yang sedang asyik bermain tiba-tiba sudah berdiri di sebelah gurunya sambil menggendong tasnya.
Aku pun hanya bisa tersenyum memaklumi tingkah anak tersebut.
Baiklah, aku tidak akan memaksakan kehendakku. Aku akan menuruti inginnya Qia. Semoga dengan begini ia dapat melihat kasih sayangku yang tulus untuknya. “Iya, Bu, perkenalkan saya Elana, Tante Qia. Saya memang baru pertama kali ke sini menjemput Qia. Jadi, boleh saya bawa pulang Qia ya, Bu?”
“Oh, saya mohon maaf kalau begitu. Mohon maklum ya Bu Ela, soalnya takut anak dibawa oleh orang yang tidak dikenal. Maklum saja, akhir-akhir ini banyak kasus penculikkan anak. Kami para guru tidak ingin hal itu menimpa anak didik kami. Makanya kami agak ketat dengan orang baru yang jemput anak didik kami,” ujar Bu Guru yang aku tahu bernama Bu Ranti dari name tagnya.
“Iya Bu, tidak apa-apa. Saya sangat berterima kasih ibu mau menemani dan mengawasi Qia hingga dijemput oleh orang yang benar. Qia ayo salim dulu sama Bu Guru,” perintahku pada Qia.
“Tidak apa, Bu Ela. Itu sudah tugas saya sebagai guru Qia,” ucapnya sambil tersenyum padaku.
Qia pun mencium tangan Bu Ranti dan kami segera pulang setelah mengucapkan salam dan berpamitan pada Bu Ranti. Aku pun membonceng Qia di motor, awalnya dia enggan pegangan di pinggangku. Namun setelah aku memaksanya, demi keselamatannya akhirnya dia mau memeluk pinggangku. Aku tersenyum merasakan tangan mungilnya memeluk pinggangku. Kami melalui perjalanan dengan lancar.
Setibanya di rumah, Qia pun langsung masuk kamar dan Bi Marni langsung menemaninya mengganti baju setelah terlebih dahulu memberikan Attar padaku. Aku pun segera naik ke lantai atas untuk ganti baju dan shalat zuhur. Setelah beres aku menuju meja makan untuk mendampingi Qia makan dengan Attar di gendonganku.
“Mau tante suapin gak, Qia?” tanyaku.
“Gak mau! Aku bisa makan sendiri,” ucapnya ketus.
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menanggapi sikap ketusnya. Aku sudah bertekad tidak akan sedih dan menangis sebesar apapun penolakan yang aku terima dari ayah dan anak itu. Aku sudah putuskan untuk menjadi pribadi yang kuat dan tegar, berusaha menampilkan topeng wajah ceria meskipun aslinya dalam hati aku menangis.
“Oke deh. Kak Qia makan sendiri aja kalo gitu ya. Tante mau main sama Dek Attar dulu di ruang tengah,” ujarku sambil beranjak ke ruang tengah dan meninggalkan Qia sendiri di meja makan. Aku pun bermain bersama Attar dengan beberapa mainan untuk bayi seusianya. Sekali-kali aku juga melirik meja makan untuk mengamati Qia. Beberapa kali aku mendapatinya menatap ke arahku dan Attar yang sedang bermain dengan penuh canda tawa. Apa mungkin ia iri ya? Ingin ikut bermain juga.
Aku pun memutuskan menghampiri Qia sambil menggendong Attar.
“Sudah belum makannya, Kak?” tanyaku.
“Sudah,” jawabnya masih seperti biasa, ketus.
“Mau nambah lagi nggak?” tanyaku.
Dia terlihat berpikir sambil memasang tampang cemberut. Tapi tatapan matanya tertuju pada piring yang berisikan udang goreng tepung.
“Kakak mau udangnya lagi?” tawarku.
Ia hanya menganggukkan kepala dengan bibirnya yang manyun sebagai jawabannya.
Aku pun hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. Mau tapi gengsi, dasar anak-anak, batinku. Aku pun segera mengambil beberapa potong udang dan meletakkan ke piring Qia. Dia memakannya dengan lahap. Syukurlah dia menyukai masakanku. Setelah Qia beres makan, Bi Marni membersihkan meja makan dan mencuci piring. Aku pun menawarkan Qia agar bermain denganku dan Attar.
“Kak Qia mau main sama tante dan Dek Attar?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, tapi masih menampilkan tampang cemberut dan juteknya.
“Anak cantik gak boleh cemberut dong,” ujarku sambil menyentuh bibir manyunnya. Aku pun berinisiatif untuk menarik tangan mungilnya, membawa ke ruang TV. Anehnya meskipun tampang cemberut, namun ia tidak menolak ketika aku tarik tangannya pelan. Mungkin anak ini sedikit gengsi, pikirku.
Aku pun meletakkan Attar di karpet depan TV agar bisa bermain dengan mainannya. Bayi ini sangat aktif, terlihat dari tingkahnya yang tidak bisa diam sama sekali.
“Kak Qia ada PR nggak? Kalo ada tante bantu yuk ngerjain PR-nya,” tawarku pada Qia.
“Aku biasa ngerjain sama Ayah, Tante. Nanti aja malem sama ayah ngerjainnya,” ucapnya sambil fokus menonton TV tayangan kartun anak-anak.
“Yuk sekarang aja sama tante, Sayang. Kan kasian Ayah kalo malem capek abis pulang kerja,” bujukku.
“Iya deh, kalo Tante maksa,” ucapnya sambil beranjak ke kamar mengambil tas sekolahnya.
Tak lama, Qia kembali turun menuju ruang TV sambil membawa tas sekolahnya. Ia pun mengeluarkan buku tulis dan pensil. Qia duduk di kelas TK B, jadi pelajarannya masih seputar membaca, berhitung dan kadang mewarnai gambar. Aku pun membimbingnya dengan telaten sambil mengawasi Attar. Untungnya kali ini aku tidak mendapat penolakan. Setelah beres aku pun meminta Qia dan Attar untuk tidur siang.
“Aku mau tidur di kamar ayah, Tante,” ucapnya padaku. Alhamdulillah, Qia sudah mau mengungkapkan keinginannya padaku.
“Iya Sayang, ayo kita ke kamar ayah.”
Aku pun segera membimbing dua bocah itu ke kamarku dan Mas Zaidan. Qia segera naik ke atas kasur. Sebelumnya ia membuka laci nakas samping tempat tidur dan mengeluarkan sebuah bingkai foto kecil, menciumnya dan memeluknya sebelum akhirnya ia terlelap. Aku pun menghampirinya setelah menyimpan Attar di boksnya. Aku pun penasaran foto siapa yang dipeluknya. Dengan hati-hati aku mengintip bingkai itu dan ternyata itu adalah foto ibu kandungnya. Betapa beruntungnya Mbak Risa bisa memiliki suami dan anak-anak yang menyayanginya dengan tulus. Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa menggantikan tempat Mbak Risa di hati mereka. Tapi, bisakah mereka memberiku tempat di ruang hati mereka yang lain?