7: Cek Cok

1519 Words
Yura langsung berlari kembali ke dalam rumah setelah ia memarkir mobilnya di halaman pagar luar rumahnya dengan sembarangan. Yura langsung masuk dan tak menghirukan Papanya yang meminta uang padanya seraya menatapnya senang karena ia pikir sang anak tak tega kepadanya dan akan memberikannya uang. "Mama?" panggil Yura pada perempuan yang masih duduk di tempat yang sama sebelumnya-di tepi kasurnya. Perempuan paruh baya yang melahirkan Yura itu sama sekali tidak menghiraukan panggilan sang putri, ia berusaha menyembunyikan wajahnya dengan sangat baik dari Yura dan berharap Yura tak menghampirinya.  Sang Papa yang berdiri di ambang pintu luar rumah mereka hanya menatap dengan perasaan yang berkecamuk tak karuan,  ia takut kalau-kalau Yura melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar miliknya dan istri dan mengetahui kebiadabannya lagi. Sesuai yang diduga dan yang ditakuti.  Yura masuk ke dalam rumah dan langsung bersujud di hadapan sang Mama yang memalingkan wajah babak belurnya dari Yura.  Hati Yura rasanya sakit teriris-iris melihat wajah perempuan paling sabar itu terluka berat. Tak hanya di wajah, bahkan di leher pula ada bekas seperti dicekik. Tunggu dulu, bukan dicekik. Itu seperti ... Di mana kalung Mama yang aku belikan? Kalung emas seberat lima puluh gram yang baru saja Yura belikan karena tak tahan dengan ejekan tetangga yang selalu menghina Mama Yura itu kini tak ada di lehernya. "Mama?  Di mana kalung yang Yura belilan tempo hari? Dan kenapa wajah Mama seperti itu?" "Jatuh." jawab sang Mama. "Kalungnya hilang saat Mama jatuh dan luka yang Mama dapat ini adalah luka akibat jatuh." kata Mama menjelaskan. Yura tersenyum geli mendengarnya. Jatuh?  Mana mungkin luka jatuh ada di leher pula. "Jadi Papa berusaha membunuh Mama untuk dapatkan kalung itu?" tanya Yura sedikit keras dan marah sembari menatap sang Papa yang berada di ambang pintu kamar. Sang Papa terlihat gelisah, meski badannya besar dan terlihat garang, ia hanya berani kepada sang istri jika berlaku kasar tapi tidak kepada Yura. Sang suami tak pernah punya nyali di depan Yura. "Papa hanya pinjam. Dan mana mungkin Papa berani membunuh Mama?!" kata lelaki paruh baya tersebut.  Yura tersenyum remeh sekali lagi.  Ia bangkit dan menatap wajah Papanya kesal. Papanya buru-buru berjalan ke arah Yura yang frustasi melihat kelakuan sang Papa. "Sampai kapan Papa mau berhenti dari meja judi?!" teriak Yura sembari menepis tangan papanya yang semula memegang tangannya dengan penuh harapan. "Dua ratus juta saja, Yura. Tolong Papa. Jika tidak, mereka akan mengambil salah satu organ Papa untuk dijual ke pasien kaya." kata sang Papa memohon kepada Yura. Yura kembali menepis dengan kasar tangan si Papa dan menatapnya penuh kekesalan. "Aku tak peduli dengan hidup Papa! Yura capek! Berapa kali Yura harus menanggung beban yang Papa berikan ke Yura.  Semua perabotan di rumah telah habis Papa jual. Tahu berapa kali Yura mengisi isi rumah? Lima kali! Dan apa Papa tahu berapa jam Yura tidur tiap harinya? Hanya empat jam! Itupun jarang!" teriak Yura kesal. "Jika Papa sudah berani pukul Mama hanya karena menginginkan kalung yang Yura belikan kepada Mama,  kenapa harus memukulnya? Mama menolak memberikannya,  kan?" tanya Yura keras. Lelaki yang berdiri di hadapannya itu hanya bisa diam, tak berani sama sekali ia membantah ucapan Yura yang memang benar adanya tersebut. Napas Yura masih naik turun,  tapi ia kini memilih tak melanjutkan omelannya. Ia kembali membungkukkan badannya dan mendongak ke arah Ibunya yang sediy mendengar pertengkaran antara suami dan anaknya itu. "Mama.  Yura antar ke rumah sakit,  ya." bujuk Yura pelan. Sang Mama hanya bisa menggeleng lemah kepadanya. "Nanti lukanya bisa infeksi dan Yura gak mau itu terjadi." kata Yura lagi. "Ayo, Ma ...." kata Yura sekali lagi dengan tatapan memohonnya. Akhirnya Mamanya menuruti omongan sang putri. Ia dan Yura berdiri dan berjalan melewati lelaki yang dipanggil Yura,  Papa, tanpa sepatah katapun. Yura sudah tak mau peduli lagi.  Rasa kesalnya sudah sampai puncak dan Ayah sudah sangat malu kepad putrinya itu. Setelah ia melihat dari jendela kamar, Yura dan istrinya masuk ke dalam mobil, pria gagah itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan kalung istrinya yang telah ia ambil secara paksa dari leher istrinya hingga memar terjadi. Pria itu menghela napas berat. Ia tahu hidupnya sudah kacau tapi entah mengapa ia merasa berjudi akan membantunya melunasi hutang judinya ke renteiner sebelum ginjalnya benar-benar akan diambil oleh renteinir. *** Mama Yura menolak dibawa ke rumah sakit, hingga akhirnya Yura memutuskan untuk membawa sang Mama ke klinik untuk mendapatkan perawatan saja. Berulang kali dokter bertanya ke Mama dan Yura kenapa sampai ada luka-luka itu ada pada tubuhnya, tapi Yura dan Mamanya sepakat bilang bahwa sang Mama terjatuh dan lehernya terlilit tali karena posisinya hampir tergantung jika saja Yura tak memergokinya.  Dokter itu merasa curiga dengan penjelasan Yura, tapi ia diam saja meski ia tahu besar kemungkinan pasiennya itu mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Seusai mengobati luka-luka pasiennya sang dokter meresepkan obat nyeri untuk Mama Yura. Setelahnya keduanya pamit pulang. "Ke kost Yura, ya, Ma." ajak Yura dan sang Mama mengangguk setuju.  Yura langsung melajukan mobilnya menuju kostnya dan dari jauh sebelum berhenti ia melihat mobil lain telah terparkir di depan kostnya. Ia cukup tercengang saat mengetahui sosok yang amat dibencinya keluar dari dalam mobil. Richard. Mau apa? "Siapa, Yur? Pacar kamu?" tanya Mama antusias tapi Yura tak menanggapi pertanyaan candaan dari sang Mama. Ia memarkir mobilnya dan turun lalu meminta Mama untuk masuk duluan ke kostnya setelah memberinya kunci. Tanpa basa basi lagi, Richard yang sudah menunggu Yura selama dua jam di luar kostnya, mendekati Yura yang berdiri di dekat mobilnya sembari menatapnya datar. "Boleh bicara?" tanya Richard. "Soal wedding? Besok kan masih rapat." kata Yura. "No. Privacy." kata Richard sekali lagi dengan sorot mata yang tajam. "Ngomong aja." jawab Yura acuh tak acuh. Ia malas sekali sebenarnya. Selain malas, ia juga sebenarnya malu dengan apa yang terjadi tadi siang di restaurant. "Neli deketin aku tadi. Dia tanya apa aku mantan kamu? Apa kamu beritahu dia?" "Hah?" tanya Yura kaget dan tak percaya.  "Neli tanya kamu? Kok bisa?" "Mungkin kamu dulu pernah cerita ke dia soal kita dan mungkin gelagat kamu itu yang buat ketara sekali. Ketahuan sekali kalau emang kamu masih suka sama aku." kata Richard percaya diri yang membuat mata Yura membelalak sempurna dan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sialan sekali! Pikir Yura sebal. "Aku?  Aku suka sama kamu? Yakin kamu?" kata Yura tak percaya. "Apa lagi? Buktinya kamu susah move on! Denger ya,  Yur,  aku gak mau pernikahanku dan Mia batal hanya karena masa lalu kita yang udah kadarluarsa." "Eh?  Siapa juga yang mau batalin?! Enak aja kalo nuduh!" "Pokoknya gue gak mau tahu.  Buktiin ke semua orang kalau lo udah punya cowok hingga mereka menganggap emang gak ada hubungan apa-apa lagi tentang kita." "Eh? Enak aja situ nyuruh-nyuruh gue!" "Lah emang masalahnya di lo yang gagal move on!" "Eh! Enak aja tuh mulut ringan banget ngatain gue! Denger ya tuan sok tampan! Meski hanya tinggal lo lelaki satu-satunya di dunia ini,  gue ogah nikah sama lo!" "Siapa juga yang mau ngajal lo nikah? Pede banget!" Kegeraman Yura semakin menjadi-jadi mendengarnya. "Lah terus situ ngapain ke sini nyalah-nyalahin gue! Lo pikir gue mau dikataian gitu?!" "Kalo gak mau dikatain makanya move on!" "Lo pikir gue gagal move on? Lo pikir gue masih cinta ke lo yang campakin gue kek baju bekas? Gile aja lo kepedean! Dengar ya, tuan sok tampan, pacar gue lebih tampan dari lo yang kaleng-kaleng!" kata Yura kesal seraya menginjak kaki Richard keras-keras hingga lelaki itu mengadu kesakitan tapi Yura tak peduli, ia gegas masuk ke dalam rumah kostnya meninggalkan Richard yang mengibas-ibaskan satu kakinya yang sakit sembari melompat-lompat tak jelas dengan kakinya yang lain. Richard dan Yura sama-sama kesal oleh sikap masing-masing. Kekesalan Yura yang memuncak itu tanpa sadar membuatnya membuka pintu kamarnya dan menutup keras seraya membantingnya kuat-kuat hingga membuat sang Mama kaget. Yura pun tersentak kemudian, ia lupa kalau ada Mamanya di dalam kamar. "Kamu kenapa, Yur? Kok kayak marah-marah gitu." "Habis ketemu maling yang gak balikin kepunyaan Yura, Ma." "Maling? Maling apaan? Kamu gak teriak minta tolong aja?" tanya sang Mama cemas. "Emang barang apa yang diambil dan kenapa gak lapor polisi, nak?" "Gak bakalan dipenjara, Ma." "Loh? Kok bisa? Emang apa yang dicuri?" "Hati." "Organ hati kamu? Kamu kena perdagangan organ dalam seperti apa yang menimpa Papa kamu jika gak melunasi hutangnya? Duh, Nak,  kamu punya hutan apa sih?" Yura menatap sang Mama dengan tatapan prihatin yang tak dapat didefinisikan sama sekali. Yura menghela napas berat. Memang susah, ya,  ngomong sama orang tua jaman old dengan anak muda jaman now. Apalagi orang tua jaman oldnya nikah pake dijodohin. Mana ada campur tangan hati dan perasaan tuh. "Udah, ah,  Ma!  Gerah!  Yura mau mandi. Yang penting Mama bahagia aja,  ya,  karena Yura masih bisa hidup dengan kondisi hati yang dicuri dan gak dikembalikan baik-baik. Dasar b******n!" "Mama lapor polisi, ya, nak." "Telat, Ma, kejadiannya saat Yura masih SMA." kata Yura yang membuat sang Mama yang menangis itu menatapnya heran dan bertanya-tanya tak mengerti. Ia menatap Yura dengan tatapan kebingungan yang tercetak jelas sekali di wajahnya. Tapi Yura tak ambil pusing dengan keheranan sang Mama. Niatnya bercanda dengan sang Mama malah buat Mama yang udik shock dan ngira ia punya hutang. Tahu,  ah!  Gelap! Tapi Richard gak gelap! Kulitnya putih bersih! Sialan! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD