6

1080 Words
Om Satria berlari ke arah jalan, menoleh ke sana kemari dengan wajah panik. Tetangga yang kebetulan lewat di jalan ditanyainya, "Bu, apa ibu melihat si kembar?" Si ibu itu mengerutkan kening heran. "Memangnya si kembar ke mana? Kok bisa tidak diawasi, Sat? Harusnya anak kecil itu diawasi jangan ditinggal sendiri," jawab tetanggaku itu sambil menoleh ke kanan dan kiri. "Berdua, Bu!" Ralat Om Satria sambil menatap ke sana-kemari. Kentara jelas di wajahnya ia ketakutan. "Hanif, Hani-faaa!" Teriakku sambil melangkah ke samping rumah. Dadaku berdebar saat tatapanku tertuju pada kolam berisi puluhan getah karet membentuk batok kelapa dengan harum khas seperti keong busuk, tiba-tiba aku was-was takut si kembar masuk kolam berair kehitaman itu. Aku mengambil kayu panjang dekat kolam kemudian dengan waswas menggerakkannya ke bawah, ke kanan dan kiri, membuat puluhan getah karet membentuk batok kelapa bergerak ke sana-kemari. Sepertinya tidak ada di sini karena tidak ada yang mengganjal di bawah. Oh ya Allah aku barusan mikir apa? Tidak! Si kembar tidak mungkin masuk kolam. Aku menggelengkan kepala dengan mata berkaca-kaca. Aku lanjut berjalan ke belakang rumah, tak ada dua tuyul itu. Aku lanjut ke samping kanan rumah, menghela napas panjang saat melihat dua makhluk berwajah sama tengah berceloteh dengan kedua tangannya memukul-mukul tanah, wajah keduanya yang celemotan terkena tanah terlihat begitu girang. Seolah baru menemukan mainan baru yang menarik keduanya sangat senang. "Yang ampun Sayang, kalian membuat mama takut aja, deh." Aku mendekat lalu memeluk tuyul-tuyul dari belakang, mencium ubun-ubun Hanif yang kotor oleh debu. Si kembar mengabaikanku, keduanya terus memukul-mukul tanah membuat debu terus beterbangan. Hanif dan Hanifa sama-sama tertawa riang. Aku tersenyum melihat keduanya tampak girang. Kuusap rambut keduanya. Mungkin ini dampak tak pernah main kotor-kotoran jadi sekalinya mainan tanah terlihat riang sekali. Tak lama kemudian Om Satria berjalan kemari, ia berhenti menatap si kembar terpana, lalu menggaruk rambut dengan tatapan lekat ke wajah si kembar yang sangat kotor. Suamiku, dari dulu dia tidak menyukai hal-hal yang jorok atau berantakan, rumah pun harus selalu bersih sedap dipandang. Tak Pernah sekalipun si kembar mainan tanah, ini pertama kalinya bagi Hanif dan Hanifa. Aku nyengir kecil pada suamiku yang menatap kedua anak kami dengan tatapan horor. Dapat kumaklumi sikap suamiku ini. Jangankan melihat si kembar kotor, melihat rumah sedikit kotor saja ia akan langsung membersihkannya. Sama dengan ibu mertuaku. "Ayo mandi sama mama," kataku yang hendak menggendong si kembar tapi Om Satria melangkah mendekat. Ia berjongkok di hadapan Hanifa, memegang tangan mungil putri kami. "Coba ayah lihat, apa di sini ada cacingnya." Om Satria mengamati kuku-kuku Hanifa, lalu kuku Hanif. Kedua batitaku menatap ayahnya dengan ekspresi polos. "Walau tidak ada cacing, tapi pasti banyak kuman di sini." Suamiku menggelengkan kepala. "Mereka belum memiliki akal, Mas, mana tahu mereka jika banyak kuman si tangannya." "Itu benar." Om Satria mengangguk. "Ayo Sayang, mandi." Aku mengulurkan tangan ke arah Hanif, tapi Om Satria langsung menurunkan tanganku. "Biar Mas saja, Sayang. Adik sedang hamil muda jangan gendong mereka dulu. Ayo, Naak," ucap Om Satria dengan ekspresi j1jik. Ia sama sekali tak mentolelir hal-hal kotor. Om Satria meringis saat menggendong si kembar yang baju juga tangannya kotor oleh debu, segera membawanya menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, suamiku masuk kamar dengan si kembar yang sudah dimandikannya. Om Satria meletakkan si kembar di sampingku kemudian ia mengambil baju keduanya juga bajunya sendiri. "Baru jam 11 sudah mandi dua kali, Mas." Aku mengamati rambutnya yang basah. Air menetes-netes dari rambut jatuh ke pundaknya. Kebiasaan suamiku, tiap mengeringkan rambut tidak pernah tuntas. Ia menyukai air yang menetes ke pundaknya membuatnya terus merasa segar. "Ya ngapain Mas ikut mandi juga," timpalku sambil memakaikan Hanifa baju. "Mana mungkin mas tidak ikut mandi juga, kuman-kuman dari Hanif dan Hanifa nempel semua di tubuh Mas." Ia bergidik ngeri. Aku menggelengkan kepala menanggapinya. Percaya tidak, pertama kali aku menjadi istrinya, aku sangat kaget. "Mas mau ke mana?" tanyaku saat ia meraih kunci motor di meja. Om Satria mendekat ke arahku, tangannya mengusap kepalaku lembut. "Mas mau cari pecal untuk adik. Adikkan muntah banyak, jadi percuma makannya." "Jangan lupa beliin per ya, Mas?" Pintaku yang dijawabnya dengan anggukan. "Tentu saja, Sayang. Jaga di kembar jangan sampai hilang, ya?" Aku tersenyum. "Kan tadi Mas yang menghilangkannya." Om Satria nyengir, ia menggaruk rambutnya yang basah. "Baiklah, Mas pergi ke pasar dulu." Kuanggukkan kepala. Suamiku pun keluar kamar. Tak lama ia pergi, terdengar deruman mobil. Itu pasti neneknya anak-anak. "Assalamu'alaikum." Suara ibu mertuaku terdengar. Aku pun berjalan menuju pintu, membukanya. Kucium tangan ibu dan ibu pun masuk. Ia celingak-celinguk. Pintu mobil di halaman terbuka lalu bapak mertuaku turun, berjalan kemari. Ibu mertuaku, dulunya adalah guruku. Juga bapak mertuaku dulunya adalah kepala sekolahku yang baru setahunan menjadi suami Bu Astuti, begitu biasanya aku memanggil ibu mertuaku. "Mana si kembar?" tanya Bu Astuti. Terdengar suara tawa, rupanya Hanifa sambil tertawa dia merangkak kemari. Bu Astuti berjongkok lalu membentangkan tangan pada Hanifa. "Cantiknya cucu nenek, habis mandi, yaa?" tanyanya, ia mencium pipi gembul Hanifa lalu menatapku dan menghela napas. "Jam segini kok baru dimandikan, Nin." Ia menggelengkan kepala. Aku hanya tersenyum kecil saja. Kalau diceritain Hanifa dan Hanif baru main kotor-kotoran ia bisa syok. Pak Bandi mengucap salam lalu berjalan masuk. Aku mendekat dan mencium tangannya, lalu membekap hidung ingin muntah saat mencium ayam goreng bersumber dari plastik yang dibawanya. Perutku bergejolak dan aku dengan cepat berlari ke kamar mandi. "Kamu sakit?" tanya Bu Astuti saat aku kembali ke ruang tamu. Aku menggeleng, matian-matian menahan diri agar tidak muntah. "Tapi wajahmu pucat sekali, Nin. Sudah makan belum?" tanyanya lagi terlihat cemas. "Sudah, Bu, tadi." "Tapi wajahmu pucat sekali. Ayo ke dokter." "Enggak, Bu." Aku menggeleng. Apa yang akan terjadi seandainya ia tahu aku hamil? Membayangkannya, aku sudah bergidik. Ia pasti akan mengoceh menyalahkan seandainya tahu. Tiga bulan setelah aku melahirkan si kembar, ia membawaku ke bidan untuk KB. Tapi setelah pasang KB implan, aku terus saja keluar darah sampai dua bulanan hingga membuatku anemia. Karena kasihan melihatku, dia pun j1jik jika HB dengan aku keluar darah, maka Om Satria menyuruhku lepas KB, Bu Astuti menasehati agar aku tetap KB, minum pil atau kontrasepsi jika tak cocok KB implan. Akhirnya aku minum pil, tapi bawaannya pusing terus dan berat badanku naik dengan cepat, membuatku uring-uringan. Akhirnya KB pil dihentikan ganti memakai pengaman. Tapi pakai pengaman, suamiku tidak suka, terasa jauh, katanya. Suamiku bilang, tidak papa tidak pakai pengaman asal dikeluarkan diluar tidak akan hamil, yaudah aku nurut saja. Dan apa yang terjadi kemudian? Aku hamil lagi. Aneh, kan, padahal selalu di luar tapi tetap bisa hamil. Makanya aku syok banget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD