POV Nina
Aku dan Pak kepala sekolah berpandangan dan sama-sama tersenyum. Tak lama kemudian, ibu masuk dengan tangannya menarik telinga Om Satria. Om Satria mengikutinya sambil meringis-ringis. Tingkah ayahnya itu membuat Hanif dan Hanifa tertawa lucu seolah mendapat tontonan yang menghibur.
"Ibu kan sudah berkali-kali bilang agar kamu yang KB kalau Nina tidak bisa KB, Sat! Diberi tahu demi kebaikan tetap saja ngeyel!" BU Astuti bersungut-sungut. Om Satria melepas tangan ibu dari telinganya.
"Ibu sudah bilang hal itu tadi." Ia mengingatkan ibu.
Ibu mengembuskan napas keras. "Memang sudah!"
"Jadi tidak ada gunanya ibu mengatakan hal itu lagi, apalagi semua sudah terjadi."
Ibu menatap Om Satria galak bagai serigala kelaparan. Om Satria menyilangkan kedua tangan si depan wajahnya saat ibu bergerak mendekat ke arahnya, memelototi anak lelakinya itu.
"Sudahlah, Bu. Benar kata Satria, sudah kejadian mau bagaimana lagi?" Pak kepala sekolah memandang istrinya itu yang lagi-lagi menyentak napas keras. Wajah mertuaku masih terlihat begitu jengkel walau sudah mengangguk pada Pak Bandi.
"Iya memang benar kata bapak, sudah kejadian maka tidak bisa hamilnya dibatalkan. Hanya saja saya menyayangkan, Pak, seandainya anak nakal itu dengar ucapan saya tentu saja tidak kejadian!" Huuh! Diembuskannya napas keras.
Pak kepala sekolah mengangguk membenarkan.
"Kalau anak nakal ini mau menurut, pasti Nina tidak mungkin hamil, Pak. Huuh Satri-aaaa. Kamu benar-benar nakal!"
Saat tangan ibu terjulur ke arahnya, Om Satria langsung menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan. Tak bisa menjewer anak semata wayangnya, ibu akhirnya menjitak kepala suamiku.
"Coba kalau dengar ucapan ibu!" Sungut Bu Astuti. Ia mendudukkan pantatnya di kursi lalu meneguk air dalam gelas, habis sekali teguk. Pak Bandi tersenyum melihatnya.
"Sabar, Bu. Orang tua harus ekstra sabar agar tidak terkena darah tinggi. Katanya, ibu ingin melihat cucu-cucu kita tumbuh besar."
"Iya ingin, Pak! Tapi lihatlah anak itu, sangat nakal!" Ibu menuding Om Satria yang nyengir kecil di sampingnya duduk.
"Ibu sepertinya tidak senang akan memiliki cucu," kata Om Satria dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.
Ibu mendelik. "Diam kamu!" Sentak ibu. "Ibu senang anak nakal, tapi tidak secepat ini juga!" Disentaknya napas keras.
"Sudah terlanjur jadi, Bu."
"Itu karena ulahmu!"
Om Satria mengangguk dengan bibir mengulas senyum. "Tentu saja ulahku, Bu. Jika yang berulah bapak, tentu ibu yang hamil."
Ibu mendelik. "Dasar anak nakal kamu!"
"Benar, anak ibu sangat nakal!" Timpal Pak Bandi.
Om Satria tertawa kecil. "Iya, ibu adalah ibunya si anak nakal." Bibir Om Satria tersenyum membuat ibu lagi-lagi mendelik. Ia lalu mengulurkan tangan pada Hanifa yang rambatan padanya, diangkat lalu di pangkunya.
"Kalian pasti akan sangat repot mengurus si kembar. Kamu kerja." Ibu menatap Om Satria. "Dan kamu hamil." Ganti ditatapnya aku. Aku dan Om Satria berpandangan. Aku mencium gelagat tidak baik melihat tatapan ibu terus bergantian pada Hanif juga Hanifa.
"Bagaimana kalau si kembar ibu saja yang urus, Sat? Kasian istrimu mual-mual terus."
Tuh, kan, benar dugaanku.
Om Satria menggeleng tegas begitu pun aku. Kompak padahal sama sekali tidak direncanakan.
"Aku gak bisa pisah sama si kembar, Bu," sahutku.
"Aku juga. Sudah sangat lama aku ingin memiliki anak, yang benar saja mau diasuh ibu, oh tidak bisa."
Ibu melotot. "Tidak bisa tidak bisa! Istrimu akan kesusahan mengurus si kembar!" Ibu melotot pada suamiku. Lalu dipandangnya aku dengan tatapan tajam.
"Kamu akan kewalahan mengurus bayi! Apalagi kamu sedang hamil."
"Aku akan bantu mengurus, Bu, jadi ibu tidak perlu khawatir. Si kembar anakku jadi aku yang harus mengurusnya."
"Istrimu kan sedang hamil,
jadi apa salahnya si kembar sementara ibu yang urus, Sat? Kalian senang karena tidak terlalu repot, ibu pun senang tinggal dengan mereka. Hanifa tinggal sama nenek, ya?" Bu Astuti menunduk lalu mencium ubun-ubun Hanifa. Hanifa memukul-mukul pipi Bu Astuti lalu tertawa.
"Hanif dan Hanifa tidak boleh ibu bawa." Om Satria menggeleng.
"Biar kamu bisa fokus mengurusi Nina, Saaat," ucap Ibu dengan gemas tapi suamiku kembali menggeleng.
"Tidak boleh, Bu. Jika ibu ingin, ibu bisa memilikinya sendiri dengan Pak Bandi," kata suamiku sambil mengerling pada Pak Bandi yang langsung mendelik padanya. Bukan hanya Pak Bandi, ibu juga mendelik seperti akan menelan tubuh suamiku bulat-bulat.
"Kamu suruh ibumu ini hamil, Sat? Ooooh otakmu sedang keluyuran rupanya! Oh ya ampun, pusing aku dibuatnya."
"Sabar, Bu, Sabar." Pak Bandi berkata menenangkan.
"Bagaimana saya bisa sabar, Pak, anak itu kalau bicara tidak dipikir dulu. Mana mungkin kita memiliki bayi, Pak? Oh ya ampuuuuun!" Ibu melempar sendok ke arah suamiku yang langsung berkelit menghindar mbuat sendok jatuh berdenting di lantai.
"Ibu ini sudah tua tidak mungkin punya anak! Ibu ini hanya tinggal menimang cucu, Satri-aaa."
Pak Bandi mengangguk membenarkan.
"Ayo, Pak, lebih baik kita pulang daripada nanti darah tinggi."
"Iya, Bu, benar." Lalu keduanya berjalan keluar rumah yang diikuti oleh Om Satria.
Aku tak dapat menahan senyum saat melihat Om Satria melambai-lambai pada Ibu tapi terus dicueki oleh perempuan yang melahirkannya itu. Ibu pasti benar-benar marah padanya. Begitu mobil ibu meninggalkan halaman, Om Satria masuk.
"Adik mau makan pecal?" tanyanya sambil menumpuk piring-piring kotor.
"Bagaimana kalau ibu beneran akan bawa si kembar, Mas?" Ucapan ibu tadi membuatku kepikiran. Om Satria menggeleng.
"Tidak akan, Sayang. Si kembar anak kita jadi tidak perlu khawatir. Adik mau makan pecal?" tanyanya lagi. Ia meletakkan piring berisi ayam goreng ke tumpukan paling atas lalu membawanya ke dapur. Ia kembali lagi dengan membawa piring dan segelas air putih, menggeser kursi lalu mendudukinya. Om Satria memperhatikanku makan sambil sesekali menatap si kembar yang duduk di lantai.
"Sayang," ucap Om Satria.
"Iya, Mas?" Tatapku.
"Begini. Mas mau ke toko sebentar, hanya mau mengecek saja. Nanti Mas segera pulang."
Aku cemberut. "Kenapa harus ke toko sih, Maaas."
"Sayang, mas hanya lihat toko sebentar saja. Janji!" Tangannya terangkat ke udara.
"Kalau sepuluh toko mas lihat semua, pasti sore Mas baru pulang. Kenapa sih Mas gak cari orang buat kerjain toko?"
"Kan sudah dijaga orang kepercayaan Mas, Sayang, tapi mas tetap harus datang untuk mengecek apa yang habis."
"Harusnya mas cari orang buat cek-cek juga."
Om Satria menjentik hidungku. "Gara-gara Mas dikhianati orang kepercayaan Mas, pembantu juga karyawan mas di toko, mas jadi sulit mempercayai orang. Mas hanya datang mengecek setelah itu pulang. Hanya sebentar, Sayang."
"Ngeselin, deh!" Aku cemberut. Om Satria mendongakkan daguku lalu mengecup keningku.
"Jangan ngambekan. Malu pada si kembar. Mas berangkat dulu ya, Sayang? Nanti mau dibawakan apa?" tanyanya.
"Terserah!" Aku ngambek. Om Satria menyentil hidungku.
"Mas hanya sebentar, Sayang." Janjinya. "Paling hanya 3 jam."
Karena aku hanya diam menatapnya jutek, Om Satria akhirnya menggendong si kembar menuju kamar, ia lalu menuntunku menuju kamar juga.
"Jangan lupa tidur siang, Sayang. Mas segera pulang."
Aku tak menyahut.
"Mas kunci pintunya dari luar." Ia mengangkat kunci serep ke udara. Aku tak menyahut. Karena ceritanya aku lagi ngambek, aku pun menutup pintu kamar.
"Sayang mas berangkat, yaa?" ucapnya dari luar kamar.
Aku tak menyahut lagi, ceritanya masih ngambek. Aku tak keluar kamar sekitar 5 menitan, berharap Om Satria mengurungkan niat tak jadi ke toko tapi ternyata tidak. Ia sudah tak ada di rumah.
Saat bel akhirnya berbunyi, aku mengulas senyum. Pasti Om Satria sengaja mengerjaiku pasti.
Tok tok tok. Pintu diketuk. Padahal ia memiliki kunci serep. Dasar Om Satria. Aku pun membuka pintu, jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Zaki di hadapanku. Ia mencangklong ransel yang tampak mengembung di belakang tubuhnya.
"Hay, lama gak berjumpa, Bu." Ia mengulas senyum tipis di bibirnya. Pertemuanku terakhir dengan Zaki mantan pacarku yang adalah anak Om Satria yaitu pada hari pernikahanku secara resmi dengan Om Satria. Sl
"Apa ibu baik-baik saja?" Zaki kembali mengulas senyum sambil mengedipkan mata. Ibu, katanya? Astaga. Dia terlihat sangat nyaman memanggil mantan pacarnya ini dengan sebutan ibu seolah aku adalah perempuan yang melahirkannya saja. Mataku melebar dan aku menatapnya jengkel.
"Jangan panggil aku Bu, Ki."
"Tapi, kamu menikah dengan ayahku," jawab mantan pacarku ini lagi-lagi sambil tersenyum.
Aku nyengir. Iya juga, si, tapi tak seharusnya memanggilku ibu juga.