13

1134 Words
POV Zaki "Eeeh, cucu nenek. Kapan pulang?" tanya nenek saat pintu terbuka. Aku mengulurkan tangan menyalaminya kemudian mencium punggung tangannya. Nenek memelukku dan aku pun membalas pelukannya. "Sudah makan belum?" tanya Nenek sambil mengusap kepalaku penuh sayang yang kusambut anggukan. "Sudah Nek." "Kamu kapan pulang?" tanya nenek lagi, kami berjalan beriringan lantas duduk di sofa, nenek memandangiku. Berbeda dengan ayah yang beberapa bulan tetakhir terus kudiamkan, pesan WA yang dikirim ayah kubalas seadanya dan panggilannya tak pernah kujawab, pada nenek aku tetap bersikap biasa saja meskipun realita tentang ayah yang ternyata bukan orang tua kandungku membuatku syok. Itu berarti nenek juga bukan nenek kandungku. "Tadi siang, Nek. Nenek bagaimana kabarnya?" Kuperhatikan wajah nenek yang terlihat pucat. Apa nenek sakit? "Seperti yang terlihat, nenek baik-baik saja." "Tapi wajah nenek terlihat pucat." Aku terus memperhatikannya. "Mungkin karena nenek sedikit memikirkan sesuatu, Ki. Bagaimana kabar kuliahmu? Berapa IP-mu?" tanyanya yang kujawab 3,9 membuat nenek mengangguk-angguk bangga. "Baguslah jika IPmu baik-baik saja. Nenek lega." Tentu saja nenek lega karena setelah apa yang terjadi, ternyata tidak mempengaruhi nilai kuliahku. Aku terpuruk tentu saja, tapi tetap belajar dengan baik karena tak ingin nenek kecewa. "Assalamualaikum." Suara salam dari arah depan membuatku dan nenek dengan kompak menjawab salam sambil menatap ke arah pintu. Pak Bandi, lelaki yang belum lama ini menikahi nenek berjalan masuk dengan bibir tersenyum lebar. Aku terbiasa memanggilnya Bapak karena dia adalah kepala sekolah di SMAku dulu. "Pak." Aku mengulurkan tangan pada Pak Bandi begitu beliau dekat. Pak Bandi duduk di sampingku dan kami pun mengobrol panjang lebar. "Perempuan yang waktu itu pulang bersamamu mana? Tidak ikut?" tanya Pak Bandi yang membuat wajah nenek berubah jengkel. Nenek mewanti-wanti agar aku tidak pacaran dulu sebelum lulus kuliah. Akan tetapi waktu itu untuk memberi tahu Nina bahwa aku bisa move on darinya yang lebih memilih ayah, maka aku membayar seseorang agar mau kuajak pulang untuk pura-pura jadi pacarku. Aku dan dia tidak ada hubungan sama sekali jadi begitu kembali ke Metro setelah beberapa hari di Mesuji akting menjadi kekasih, hubungan kami kembali seperti biasa, hanya sebatas teman saja. Karena Pak Bandi terus memperhatikanku, aku pun menyahut. "Sebenarnya, dia bukan pacarku, Pak, nek." Aku memandang nenek. "Aku membayar dia supaya mau pura-pura jadi pacarku, jadi kami tidak ada hubungan spesial sama sekali," jelasku yang membuat wajah nenek terlihat begitu lega. "Syukurlah," katanya. "Jangan pacaran sebelum lulus, Ki, ingat itu." "Iya, Nek, nenek tenang saja," sahutku dengan tatapan ke wajahnya yang terlihat pucat. Aku tahu nenek bilang begitu karena aku sudah dijodohkan dengan anak temannya. Aku mendengar dengan jelas saat nenek bicara pada Ayah agar melarangku pacaran saat kubawa gadis sewaanku itu ke rumah. Meskipun sudah tahu yang sebenarnya bahwa ternyata aku sudah dijodohkan dari kecil, aku tetap pura-pura tidak tahu. Aku menyayangi nenek, namun aku bukan ayah yang begitu bodoh, menerima perjodohan dari nenek dan mau hidup menderita. Aku tidak mau sama sekali. Sekalipun nenek sudah berjasa membesarkanku dengan penuh kasih sayang seolah aku cucu nenek sendiri, namun membalas kebaikan tak harus dengan rela menderita. Ada begitu banyak cara membalas kebaikan ayah juga nenek. Sudah cukup kurelakan Nina untuk ayah, tapi aku tidak sudi merelakan hidupku di atur karena dasar balas jasa. Hidupku, aku yang mengatur, membalas jasa bisa dengan cara apa pun selain mengorbankan diri untuk hidup menderita. Aku tidak akan menerima perjodohan itu. Hanya perempuan yang kucintai lah yang nantinya akan kupilih. Baik ayah dan nenek tidak ada yang boleh mengatur. Setelah mengobrol panjang lebar dengan nenek dan Pak Bandi, aku pamit pulang, namun aku tak segera ke rumah ayah melainkan ke rumah ibu yang menyambutku dengan senyum terkembang lebar, wajahnya begitu bahagia melihatku datang. Namanya Wulandari, perempuan berparas ayu ini bukan ibu kandungku namun dia pernah merawatku sampai aku umur setahun. Dia pergi dari rumah karena sikap ayah, bertahun-tahun tak kembali namun aku dan ibu selalu berkomunikasi lewat panggilan vidio. Setelah puas mengobrol dengan ibu aku pamit, namun alih-alih segera pulang, aku memilih berlama-lama di jalan dengan mengemudi sangat pelan. Mau bertemu Nina rasanya .... Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Rasanya selalu saja sakit saat melihatnya. Juga saat melihat ayah, aku terus saja merasa dikhianati. Tapi aku tak mungkin terus marah pada Ayah jugw Nina. Aku tidak ingin hubunganku dan ayah retak hanya gara-gara perempuan sekalipun aku sangat jengkel juga sedih saat mengetahui pertama kali hubungan mereka. Toh Nina dan ayah saling mencintai, jadi ya sudahlah. Aku terus berusaha move on walau itu tidak mudah. Jujur setiap melihat Nina, ingin rasanya aku mendekat untuk memeluknya, tapi terus saja kutahan keinginan itu karena semua tak lagi sama. Dia bukan lagi Nina pacarku yang manja, dia sudah berubah menjadi ibuku, sungguh menyakitkan, ya? Tapi tak peduli rasa sakit yang kuterima tiap melihat Nina, aku terus menahannya agar tak terlihat terluka. Ini semata karena aku sangat menyayangi ayah, yang dari dulu menyayangiku dengan tulus seolah ia adalah ayah kandungku. Hingga kejadian itu terjadi, aku mau tak mau harus merelakan Nina untuk dinikahi ayah. Ah sudahlah, mengenang masa lalu hanya akan membuat hatiku sakit. Aku akhirnya pulang ke rumah, dengan senyum terkembang bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aku harus membiasakan diri dengan situasi seperti ini, mau tidak mau, siap tidak siap, karena sekarang semua tak lagi sama. POV Satria Aku terbangun karena lapar. Aku pun menatap jam dinding, pukul 11 malam. Apa Zaki sudah pulang? Batinku sambil beranjak bangkit, tersenyum kecil memperhatikan Nina yang terlelap pulas, dia tidur salam keadaan ngambek. Aku menyentuh pipinya, lalu menyelimutinya, tanganku mengusap lembut kepalanya lalu aku berkata lirih. "Selamat tidur, Sayang." Aku mengecup keningnya setelah itu berjalan keluar kamar, langsung menuju dapur, mengambil nasi juga ayam goreng yang dibawa ibu tadi lalu makan dengan cepat karena sangat lapar. "Ehemp, katanya ayah, hari ini jadwalnya hanya makan sayur-sayuran begitu pun besok." U-huk! U-huk! Aku tersedak-sedak. Segera mengusap bibir lalu menoleh ke belakang di mana Zaki berdiri. "Ini, ayah mau memberi makan kucing," kataku, segera meraih piring lantas berdiri. Zaki mengulum senyum. Kapan anak ini pulang? "Kamu itu bukannya salam malah main nyelonong masuk saja, Ki, ayah tidak pernah mengajarimu begitu." Aku menatapnya sedikit jengkel. Untung tidak ketahuan sedang makan. "Aku sudah salam dari setengah jam lalu, Yah." "Oh, begitu. Jadi kamu sudah pulang dari tadi?" "Tepat!" jawabnya. "Sampai aku tahu ayah keluar kamar, lalu makan dengan sangat lahap." Dia menatap piring dengan ayam goreng yang kugigit dibeberapa bagian. Aku nyengir. "Ini, ha ha ha. Ayah lupa pada peraturan yang sudah ayah tetapkan agar sehat. Lebih baik ayah, maksud ayah ayamnya, ayah berikan kucing saja agar tidak lupa lagi." Lalu aku mengambil piring berisi beberapa potong ayam goreng di lemari kemudian membuka pintu dapur. Zaki membuntutiku. "Mana kucingnya?" tanya Zaki dengan tatapan ke arah beberapa potong ayam goreng yang kuletakkan di tanah. Maaf Bu, ayam goreng ibu sungguh enak tapi aku terpaksa melakukan ini. "Nanti ada kucing." Lalu aku menutup pintu. Zaki menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD