Bagian 1
Adeline Agna Famus menatap nyalang ke arah sebuah kamar. Di sana terlihat jelas bahwa suaminya sedang bercinta dengan sahabatnya sendiri. Bahkan suara kecipak penyatuan mereka bergema hingga keluar dari kamar. Sang pria terlihat begitu antusias terhadap kegiatan panas yang mereka lakukan hingga tak peduli pada pintu kamar yang terbuka lebar. Atau memang pintu itu sengaja dibuka agar seseorang melihatnya.
Adeline terisak sembari mengelus perut besarnya. Andai saja waktu itu ia tidak memaksa Dave untuk bertanggung jawab maka semuanya akan baik-baik saja. Harusnya ia tidak lemah dan memilih untuk membesarkan anaknya sendiri dari pada menikah namun tidak dianggap.
Adeline meremas dadanya lalu menyeret kakinya menaiki tangga menuju lantai dua. Ini bukan pertama kalinya mereka bercinta, Adeline tau namun untuk melihatnya secara langsung baru kali ini. Dan ternyata rasa sakitnya jauh lebih parah dibanding hanya mendengar suara desahan setiap malam.
"ugh" Adeline meremas perutnya yang terasa nyeri lalu menghentikan langkahnya. Sepertinya ia tidak sanggup naik ke lantai atas. Perutnya sakit dan tubuhnya lemah. Di saat seperti ini, Adeline kembali menyesali tindakannya enam bulan yang lalu. Andai saja ia tidak terhasut sahabatnya sendiri ia tidak mungkin berakhir seperti ini.
Adeline terduduk di anak tangga kedua lalu memejamkan matanya, membayangkan kejadian yang membuat ia berakhir mengenaskan seperti ini. Ia dan Rossa sudah bersahabat sejak SMP. Mereka selalu bersama bahkan hingga kuliah. Namun suatu kejadian membuat mereka bertemu dengan idola kampus, pria tampan bernama Dave Cakrayasa. Dave adalah pria sempurna yang tidak akan mungkin ditolak oleh gadis manapun termasuk Adeline sendiri.
Adeline menikmati kekagumannya terhadap Dave dalam diam sampai suatu hari Rossa memergoki dirinya sedang melihat foto Dave. Dari situ, Rossa mulai bertindak sebagai sahabat yang baik dan memberi beberapa saran untuk mendekati Dave.
Adeline tentu percaya pada semua saran Rossa. Rossa tidak mungkin membodohinya kan?
Rossa memberi saran agar memasak untuk Dave, Adeline menurutinya meski makanan itu tidak pernah diterima.
Rossa memintanya untuk mengikuti semua kegiatan Dave, Adeline menurutinya meski ia selalu mendapat tatapan tajam.
Dan saran-saran Rossa terus berlanjut hingga hal yang paling fatal, yakni saat pesta kelulusan kampus. Rossa meminta dirinya untuk menyatakan cinta pada Dave. Adeline yang termakan rayuan Rossa hanya menurut layaknya keledai bodoh, dan ya semuanya tentu berakhir dengan penolakan dari Dave dan sedikit kalimat menyakiti hati.
"Betapa bodohnya aku." Gumam Adeline begitu bayangan masa lalu menghilang.
"Ahhh Daveee ahhh"
Adeline memejamkan matanya mendengar desahan Rossa. Wanita itu mendesah sangat keras seolah ingin menunjukkan kemenangannya.
Kemenangan atas cinta Dave.
Adeline mulai berpikir apa kejadian malam itu juga diatur oleh Rossa. Mungkin saja Rossa yang memberi minuman Dave obat perangsang dan berniat tidur dengannya.
"Apa yang kau lakukan di sana?"
Deg
Adeline mendongak dan menatap sosok Dave yang bertelanjang d**a. Pria itu hanya memakai celana pendek yang bahkan tidak menutupi lututnya. Rambutnya berantakan dan tubuhnya mengkilap karena keringat, khas orang selesai bercinta.
"Da_dave aku ingin mengatakan sesuatu." ucap Adeline lalu perlahan berdiri sembari memegang perut besarnya. Ia akan mengatakan segalanya kepada Dave. Ia akan memberitahu pria itu bahwa ia tidak memasukkan obat perangsang saat itu melainkan Rossa yang melakukannya.
"Sayang, kenapa keluar. Ayo kita lanj__ eh Adeline. Kau di sini, sejak kapan?" tanya Rossa seolah kaget dengan wajah tak enak namun tubuhnya sudah bergelanyut manja di lengan Dave.
Adeline kembali berdenyut melihat Rossa yang bisa begitu nyaman menyentuh suaminya. Sedang dirinya? Adeline bahkan sudah tak ingat berapa kali ia didorong dan diteriaki hanya karena tidak sengaja menyentuh pakaian pria itu. Itu baru pakaiannya saja, bagaimana jika Adeline menyentuh tubuh Dave. Ia mungkin akan dibunuh.
"Cepat katakan!" ucap Dave datar membuat Adeline membuka mulutnya namun perkataan Rossa menghentikannya.
"Adeline pasti marah padaku, Dave. Aku sebaiknya pulang saja." ucap Rossa dengan wajah sendu namun tubuhnya semakin merapat ke dalam pelukan Dave.
Dave tersenyum manis lalu memeluk pinggang ramping Rossa erat lalu berkata dengan lembut. "Wanita itu tidak sebanding denganmu, sayang."
Mendengar hal itu membuat Adeline menyentuh perut besarnya. Bayinya menendang secara brutal seolah ikut mendengar perkataan menyakitkan dari Dave.
"Ughh" Adeline merintih sembari memeluk perut besarnya.
"Jangan berbohong dengan membawa kehamilanmu." tegur Dave keras membuat Adeline menggeleng dengan air mata mengalir deras. Perutnya sakit. Sangat sakit, terasa ada ribuan jarum yang menusuk perutnya.
"Sayang, kasian Adeline, dia terlihat kesakitan. Setidaknya pedulikan bayimu." ucap Rossa seolah peduli namun tangannya justru mencengkram lengan Dave seolah melarang pria itu untuk bergerak.
Dave yang menyadari hal itu hanya tersenyum tipis. Wanitanya ternyata cemburu. "Jangan pedulikan dia, sayang. Lagipula__" Dave mengecup kening Rossa lembut lalu telapak tangannya terangkat untuk mengelus perut Rossa. "Anakku ada di sini. Di dalam rahimmu." ucap Dave membuat Rossa tersenyum manis lalu menatap Adelia yang tertegun saat mendengar perkataan Dave.
"Maafkan aku Adeline, tapi Dave tidak mau membantu." ucap Rossa dengan senyum kemenangan dan itu bisa dilihat jelas oleh Adeline.
Rasa sakit Adeline semakin menjadi bahkan sesuatu yang hangat terasa mengalir diantara kakinya.
"Argghhh Dave tolongghh" Teriak Adeline memegang perutnya ia sudah jatuh terduduk dengan keras di atas keramik.
Rossa menyadarinya. Ia melihat tubuh Dave menegang. Pria itu lemah dan ingin menolong Adeline. Tapi Rossa tidak akan membiarkannya.
Rossa perlahan menyentuh perutnya lalu merintih kesakitan. "Arghhh"
Dave yang hampir saja berlari membantu Adeline langsung teralihkan dengan suara rintihan Rossa.
"Ada apa?" tanya Dave panik.
"Dave sakitt hhhh anak kita Davee." Rintih Rossa membuat Dave tanpa pikir panjang lagi segera mengendong tubuh Rossa lalu berlari keluar rumah menuju mobilnya.
Sedang Adeline yang sudah sekarat dengan kaki bersimbah darah hanya termangu. Rasa sakitnya mendadak hilang atau mungkin bukan hilang. Melainkan rasa sakitnya sudah tidak bisa ia rasakan lagi karena terlalu menyakitkan.
Adeline terbaring lemah dengan perutnya yang menggunung. Darah segar terus mengalir di kakinya. Perlahan namun pasti Adeline sudah tidak merasakan gerakan anaknya lagi. Sekarang Adeline hanya bisa pasrah, tidak akan ada yang membantunya karena di rumah ini tidak ada pelayan. Dave memecat mereka semua dan menjadikan dirinya pelayan di rumah sebesar ini.
Dalam kesunyian malam, hanya detik jarum jam yang menemani. Saat itulah air mata Adeline menetes, andai saja waktu bisa diulang. Ia tidak akan mengambil jalan ini lagi. Ia tidak akan menjadi bodoh dan lemah seperti ini.
Tepat saat pandangan matanya mengabur, Adeline sempat bergumam.
'Aku hanya ingin kesempatan kedua'
Dan setelah itu semuanya gelap.