"Mas Yassa yakin mau ngajak aku makan malam?" tanya Arutala meski pemuda itu tetap mengikuti langkah lelaki itu ke ruang makan.
Hita yang berjalan di depan mereka hanya diam meski dalam hatinya wanita cantik yang mengenakan dress terusan berwarna merah maroon itu menggerutu, "sok sok an tanya yakin atau enggak tapi ngintil aja ke dalem!"
"Ya yakin, memang kenapa?" tanya Yassa dengan tawa renyahnya, lelaki itu memang lelaki yang mudah bergaul, dewasa tetapi menyenangkan.
"Aku makannya banyak, bisa abis nanti makanan kalian," jawab Arutala sambil tertawa membuat Yassa semakin tertawa ringan, Hita ke pergi ke dapur untuk mengambilkan piring dan gelas kosong untuk Arutala juga memindahkan gudeg yang pemuda itu berikan pada mereka dari dalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu ke dalam piring saji lalu membawanya ke ruang makan.
"Jadi selain nulis kerjaan kamu apa?" Hita mendengar pertanyaan sang suami pada pemuda yang duduk di hadapannya sedangkan Hita kembali duduk di tempatnya.
"Nulis itu kerjaan utama saya, Mas. Saya menghabiskan semua waktu, tenaga dan pikiran saya untuk menulis dan itu sudah cukup," jawab Arutala, Hita hanya diam mendengarkan sambil menyaksikan bagaimana sang suami mengambilkan nasi untuk Arutala.
"Emang penghasilan kamu sebagai penulis cukup untuk kehidupan dan masa depan kamu?" tanya Yassa tanpa segan karena selama ini lelaki itu hanya menganggap pekerjaan sang istri hanya untuk mengisi waktu luang saja.
"Cukup dong, Mas. apa lagi menulis itu bukan hanya untuk mengisi kekosongan dompet saja tapi juga kekosongan hati. Iya kan Mbak Hita?" tanya Arutala membuat Hita yang tidak siap dengan pertanyaan itu sedikit tergagap menjawabnya.
"I-iya, ya udah ayo di makan. Enggak usah malu-malu," kata Hita karena melihat Arutala sama sekali belum mulai makan.
"Oh ya, saking semangat ngobrol sampe lupa makan kan. Ini pasti enak banget, nih. Udah lama aku enggak makan gudeg asli dari Jogja," kata Yassa sembari menyendok gudeg yang begitu menggugah selera makannya, sedangkan Arutala mengambil masakan Hita dari piring saji yang ada di hadapannya.
"Mas Yassa pernah ke Jogja?" tanya Arutala menanggapi ucapannya tadi.
"Iya, sering. Secuil hatiku seolah tertinggal di kota istimewa itu," jawab Yassa dengan senyum gembiranya seolah sedang membicarakan sesuatu yang memang benar-benar berarti untuknya.
"Kalau Mbak Hita, secuil hatinya tertinggal di sana juga enggak?" tanya Arutala, lagi-lagi Hita tergagap mendengar pertanyaan yang Arutala berikan untuknya. Entah apa penyebabnya tetapi seolah semua interaksi Arutala padanya membuat Hita selalu merasa tidak siap hingga tergemap rasa, entah rasa apa.
"Saya belum pernah ke sana," jawab Hita singkat, wanita itu lalu memakan makanannya tanpa menatap pemuda yang sedang menatapnya sambil tersenyum manis itu.
"Wah, beneran Mbak Hita belum pernah ke Jogja?" tanya Arutala tidak percaya pemuda itu menatap Hita dan sang suami bergantian, "rugi banget, seenggaknya sekali seumur hidup manusia harus mengunjungi kota istimewa itu."
"Iya, aku memang belum sempat mengajak Hita ke sana, biasanya aku ke sana buat urusan pekerjaan," sahut Yassa, Arutala menganggukkan kepalanya mengerti sedangkan Hita kembali hanya diam.
"Tapi Mbak Hita tenang aja, semua makanan enak yang ada di sana masih kalah enak kok dari makanan yang aku makan sekarang. Ini yang masak Mbak Mimi yang tadi siang kenalan sama aku?" tanya Arutala setelah memuji makanan yang ia makan, padahal Arutala tahu itu masakan Hita ia hanya tidak ingin Yassa tahu jika dirinya terang-terangan memuji masakan istrinya.
"Iya," jawab Hita singkat membuat Yassa menatapnya karena ia berbohong tetapi lelaki itu hanya diam karena tahu Hita pasti punya alasan untuk hal itu.
"Wah, Mbak. Mbak Mimi masih bisa enggak ya kalau kerja di rumah aku juga? Cuma masak doang, soalnya aku suka banget sama masakannya ini," kata Arutala penuh semangat, Yassa malah ingin tertawa mendengar perkataan pemuda itu.
"Aku enggak tau, mungkin enggak bisa kan Mbak Mimi kerja di sini," jawab Hita datar wanita cantik itu lalu kembali memakan makanan di piringnya, sedangkan Yassa tampak begitu menikmati gudegnya.
"Yah, Mbak. Tolong bolehin dong, cuma masak doang kan enggak lama bisa nyambi kerja di sini juga. Besok tolong tanyain sama Mbak Miminya ya," pinta Arutala, Hita hanya menghela napas pelan lalu menganggukkan kepalanya membuat Arutala tersenyum gembira.
Yassa juga ikut tersenyum tetapi bukan karena ikut bahagia bernama Arutala melainkan karena tahu sang istri sedang kebingungan termakan kebohongannya sendiri, Yassa tahu betul kalau Mbak Mimi tidak pandai memasak itu sebabnya Hita jarang meminta Mbak Mimi memasak untuknya.
"Kamu memang asli Jogja?" tanya Yassa untuk mengalihkan pembicaraan mereka dari masakan Mbak Mimi, Arutala yang sedang mengunyah makanannya dengan begitu nikmat hanya menganggukkan kepalanya cepat.
"Kalau pekerjaan kamu hanya menulis kenapa kamu harus pindah ke Jakarta? Bukankah menulis bisa di lakukan di mana aja?" tanya Yassa lagi, Hita turut menunggu jawaban Arutala sambil menatap pemuda itu karena pertanyaan yang sama juga ada di dalam benak Hita tetapi ia enggan menanyakannya.
"Sebenernya alasan aku pindah ke Jakarta cuma satu, Mas," jawab Arutala, pemuda itu menjeda ucapannya untuk meneguk air putih dari gelas yang ada di hadapannya.
"Apa?" tanya Hita tidak sabar menunggu jawaban pemuda itu, Arutala tersenyum mengetahui Hita begitu penasaran.
"Cinta," jawab Arutala singkat, Yassa mengerutkan keningnya sedangkan Hita hanya memutar bola matanya malas.
"Cinta?" tanya Yassa sambil tertawa kecil.
"Mas Yassa pernah merasakan mencintai seseorang sampai gila? Atau layak di sebut gila oleh orang lain?" tanya Arutala serius, Yassa hanya diam, "ya bisa di bilang aku ngerasain itu. Aku pindah ke Jakarta karena hal itu, karena aku ingin melindungi orang yang aku cintai dan kalau bisa memilikinya."
"Iya, aku pernah merasakan cinta seperti itu," jawab Yassa datar, Hita hanya diam mendengarkan.
"Jadi kamu jauh-jauh pindah dari Jogja ke Jakarta untuk orang yang kamu cintai, tapi kenapa tadi kamu bilang kalau bisa memilikinya? Kamu sendiri ragu?" tanya Yassa membuat sebuah senyum tipis menghiasi wajah manis Arutala.
"Sebelum dia berkata iya," jawab Arutala sekilas pemuda itu melirik Hita yang hanya diam menatapnya, "tapi sampai kapanpun walaupun dia belum berkata iya aku akan tetap menjaga dan melindunginya."
"Wah, keren. Prinsip kamu memang bagus, menurut aku, kalau kamu mencintai seseorang kamu memang harus berusaha untuk memiliki, apapun yang terjadi," sahut Yassa penuh semangat dan berusaha membagi semangat itu pada Arutala.
"Iya, tapi aku akan tetap berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuat orang lain terluka di dalam usahaku untuk memiliki cinta itu," kata Arutala sambil menatap Yassa, membuat Hita membuat Hita menatapnya dengan tatapan tajam seolah wanita itu bisa merasakan atmosfer lain dalam ucapan pemuda itu.
"Oh iya, kamu Jogjanya mana?" tanya Yassa terlihat jelas lelaki itu ingin mengakhiri pembicaraan mereka tentang cinta.
"Gunung Kidul," jawab Arutala, Yassa hanya membulatkan bibirnya mendengar nama tempat yang Arutala sebut.
"Ya udah, deh. Mas, Mbak, aku udah selesai makan. sebaiknya aku pulang karena enggak mau ganggu kalian berduaan," kata Arutala sambil mengerlingkan satu matanya pada Yassa membuat lelaki itu tertawa, "terima kasih banyak makan malamnya. aku harap kalian enggak akan pernah bosen punya tetangga ganteng dan baik hati kayak aku."
Yassa tertawa lepas mendengar ucapan narsis tetangga baru yang menurutnya menyenangkan itu.
"Kayaknya kita enggak akan bosen punya tetangga seru kayak kamu," jawab Yassa sementara Hita hanya tersenyum saja.
"Hita, tolong kamu anter Fajar keluar, Mas masih pengen menikmati gudeg ini," pinta Yassa yang mengetahui sang istri sudah selesai makan.
"Iya, Mas," jawab Hita patuh, wanita itu lalu bangun dari duduknya di ikuti Arutala.
"Mbak kok enggak makan gudegnya? enggak suka?" tanya Arutala, Yassa masih bisa mendengar pembicaraan pemuda itu dengan sang istri meski mereka sudah berjalan ke depan.
"Aku enggak suka makanan manis," jawab Hita.
"Mbak harus membiasakan diri biar suka, seperti membiasakan diri akan kehadiranku di setiap sendi kehidupanmu," kata Arutala dengan suara yang ia pelankan meski sekarang mereka sudah sampai di teras rumah Hita, wanita itu memelototkan kedua matanya menetap Arutala dengan sebal.
"Terima kasih makan malamnya, masakan Mbak Hita adalah masakan terenak kedua di dunia setelah masakan ibuku."