Badanku bergerak kekiri dan kekanan mencari kenyamana di ranjang besar tempatku berbaring saat ini. Namun, rasa kantuk tak juga menghampiriku. Kulirik jam di ponselku dan waktu sudah menunjukan pukul 10.13 malam. Ahh…. kuputuskan untuk bangun, meninggalkan ranjang berseprai putih itu.
Aku baru menyadari kalau kamar ini terlihat sangat menawan dengan pencahayaan minim seperti malam ini. Hampir seluruh barang-barang dikamar ini terbuat dari kayu yang terukir dengan sangat indah yang terlihat begitu padu dengan tembok bercat putih bersih.
Mataku sedang menikmati deburan air ombak yang tanpa henti bergerak melalui jendela kaca besar di depanku saat suara ketukan terdengar dipintu depan kamarku.
“Siapa? Apakah itu kau Corie?” tanyaku sambil melangkah menuju arah pintu itu.
“Corie? Lisa? Apakah itu kalian?” tanyaku kembali saat sudah berdiri tepat didepan pintu kamarku beristirahat.
“Bukalah. Ayah ingin berbicara denganmu..”
“Ayah?” dengan cepat kubuka pintu kamarku dan melihat sosok ayahku terduduk dikursi roda otomatisnya.
“Ayah.. ini sudah malam. Kau harusnya istirahat!” ucapku khawatir pada sosok pria dihadapanku kini. Kudorong kursi roda yang sebenarnya dapat bergerak sendiri sesuai kehendak ayahku itu.
“Ada yang ingin ayah katakan padamu Alex…” raut kesedihan terpancar dari wajah ayahku dan terlihat jelas ada sesuatu yang sangat penting ingin diucapkan bibirnya.
“Katankahlah…” ujar lebut sambil duduk pada sofa kayu didepan kursi roda ayahku, yang membuat tubuh kami saling berhadapan.
“Ada hal yang belum kau ketahui tentang dirimu…..” ucapan pria itu tertahan dan terlihat sedang menimbang-nimbang sesuatu untuk dikatakan.
“…….. Maafkan ayahmu ini sebelumnya karena sudah membuatmu menghadapi hal ini..” kesedihan kini terpancar jelas di wajah keriputnya.
“Ssstttt… Ayah, kau sudah mengangkatku dari jalanan dan memberikanku hidup yang sangat nyaman. Semunya tidaklah sebanding dengan apa yang kuperbuat saat ini…” kutundukan tubuhku dan menyentuh tangan hangatnya.
Tanpa diduga, air mata tumpah dari mata hijau pria dihadapankku ini yang membuatku sangat terkejut dan tak percaya. Ini pertama kalinya dalam hidupku melihatnya menangis.
“Alexis… Semua salah ayah hingga kau dan ibumu harus merasakan kerasnya hidup dijalanan. Harusnya dulu aku tidak meninggalkan ibumu….” pria itu mengucapkan kata itu dengan wajah tertunduk.
“Maksud… maksud ayah apa?” tanyaku tak paham dengan ucapan ayahku ini.
“Kau benar-benar putri kandungku. Dulu, aku bertemu dengan ibumu yang sedang bekerja di club malam tempatku sering minum. Malam itu…..” mata pria itu menerawang, melihat tembok dihadapannya, tepat dibelakangku.
“Malam itu aku mabuk berat setelah mendengar kalau aku harus menikah dengan Margaret. Aku mengenal ibumu dan merayunya yang kebetulan adalah pelayan yang sering kutemui di club malam itu. Setelah malam itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi hingga suatu ketika ia datang kekantorku dan mengatakan kalau dia hamil anakku. Aku tidak mempercayainya saat itu, dia seorang wanita yang bekerja di club malam jadi dia bisa dengan mudahnya bertemu dengan pria lain. Aku memberinya sejumlah uang, memintanya pergi dan jangan pernah muncul dihadapanku lagi." ayah menghentikan ucapannya dan menatap kedua mataku. Aku masih tidak percaya dengan ucapannya.
"Ayah ini pasti tidak benarkan?" tanyaku lagi.
"Maafkan ayah..." tangannya mencoba menyentuh tanganku namun segera kutarik dan berlahan aku bangkit berdiri dan berjalan menjauhinya.
"Maafkan ayah... Tapi ayah harus mengatakn hal ini kepadamu." air mata pria itu masih mengalir namun tak lagi menyentuh hatiku.
"Enam tahun kemudian ayah tak sengaja menabrakmu dan membawamu kerumah sakit. Saat itu, entah mengapa aku teringat pada ibumu, wajah kalian terlihat mirip namun bola mata hijaumu itu mengingatkanku akan diriku sendiri. Aku tak tahu apa yang tejadi padaku saat itu, aku hanya merasa kau adalah putriku dan hasil tes DNA menyatakan kalau hal itu adalah benar. Kau adalah putriku….” ucapan pria itu terhenti dan aku masih benar-benar tak percaya dengan apa yang kudengar barusan.
Dadaku terasa sangat sesak, sangat sakit seperti merasakan tikaman-tikaman pisau. Tanganku reflek meremas jemariku. Ada rasa kemarahan yang tiba-tiba muncul dihatiku dan tanpa kusadari aku sudah berbicara dengan nada membentak pada pria tua yang masih menatapku dengan kesedihan dan penuh penyesalan itu.
“Kau… Ibuku berusaha membesarkanku dengan susah payah dan menderita selama bertahun-tahun itu karena kau sudah meninggalkannya ?” aku merosot melemas pada sofa tempat tubuhku bersandar.
Pria itu tertunduk diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Kau tahu?? Ibuku sangat mencintaimu!! Pria yang selalu ia ceritakan padaku bahkan ketika ia merengkuh kesakitan saat harus menghadapi penyakitnya yang membuatku harus kehilangannya!” aku mencoba mengatur nafasku yang memburu, debaran keras dijantungku membuatku semakin panas.
“Apakah karena ibuku hanya wanita miskin yang mencoba bertahan hidup hingga harus bekerja di club malam membuatmu bisa mempermainkannya dan mencampakannya begitu saja??!” aku benar-benar tidak sanggup melihat pria dihadapku itu.
“Keluarlah… “ ucapanku melemah tanpa mau memandang wajah pria itu.
“Maafkan ayahmu ini…” pria itu menyentuh tanganku dan aku menolaknya, aku benar-benar merasa tak ingin disentuh olehnya.
“Keluarlah….” ucapku dengan sangat pelan dan mencoba menahan bendungan air mata yang tak tertahankan. Aku tak ingin ia melihatku menangis.
Aku masih tak memandang pria itu dan suara kursi rodanya terdengar bergerak menjauhiku lalu pintu terdengar terbuka. Pria itu sudah benar-benar pergi meninggalkanku dalam kesedihan dan kemarahan yang bercampur menjadi rasa yang sangat menyakitkan.
Aku mencoba mencerna semuanya dengan air mata yang mulai membasahi wajahku. Aku mulai paham mengapa pria itu sangat menyayangiku dan mengapa Margaret, ibu angkatku itu sangat membenciku. Aku mulai paham mengapa banyak orang mengatakan kalau aku mirip dengannya terutama mata hijauku ini dan bodohnya aku! Aku tidak menyadari semua itu selama ini! Badanku terasa benar-benar lemas dan pikiranku goyah akan keputusan yang sudah kuambil.
“Apakah aku kabur saja dari pernikahan ini? Aku tinggal mengatakan kalau aku tidak bersedia menikah dengannya, maka semuanya akan berakhir... ” pikirku.
Aku masih tak percaya. Aku akan menikah dengan pria tak kukenal demi menyelamatkan perusahaan pria yang sudah mencampakan ibuku dan membuatnya harus menderita demi membesarkanku??
Pikiranku terus melayang mengingat betapa menderitanya ibuku, yang bahkan rela menjual tubuhnya untuk membuatku hidup dengan layak. Tak pernah terpancar keluhan sedikitpun di wajahnya saat ia bersamaku bahkan ketika wajahnya lebam membiru karena pukulan pria tak kukenal. Ia selalu tersenyum dan berkata kalau aku harus menjadi orang yang lebih baik darinya. Ia juga selalu mengatakan perkataan yang membuatku sangat meradang geram saat ini,
“Kalau kau bertemu dengan ayahmu suatu saat nanti, sayangilah dia seperti ibu menyangimu oke?”Senyuman manis terpancar dari wajah lebam wanita yang membuat gadis kecil didepannya menangis dan membiarkan tangan kecilnya mengelus wajah wanita itu.
Kenangan itu terus berputar dengan alunan air mataku mengiri tubuhku yang masih terduduk lemas pada sofa yang sama, yang tanpa kuminta mengantarkanku pada alam mimpiku….
***
“Alexis…!!! Alexissss!!!!! Alexisss!!!” Teriakan wanita membangunkanku dari tidurku. Tubuhku terasa pegal semua ketika menyadari aku tertidur di sofa semalaman.
“Cepat bagunlah!!! Ini sudah pukul 6 pagi ! kau harus bersiap-siap!!!”
“Bersiap-siap untuk apa?” tanyaku masih dalam keadaan kantuk berat pada Corie yang terlihat sudah bersih dan wangi. Sepertinya ia baru selesai mandi.
“Hari ini PERNIKAHANmu sayang! Cepatlah bangun!!” Corie menarik tanganku dan mendorongku menuju kekamar mandi.
“Per…ni..ka..han?” ucapku terbata. Kata itu berhasil membuatku terbangun 100% dibandingkan teriakan Corie yang begitu membahana itu.
“Oh Tuhan… Hari ini pernikahanku???”