Harapan?

807 Words
“Saat angin berhembus dan menerbangkan harapanmu, janganlah kau takut. Namun biarkanlah harapanmu itu terbang dan mendarat ditempat yang tepat hingga ia dapat tumbuh dan hidup menjadi harapan yang lebih besar seperti bunga ini…kau pahamkan sayang?”Pria itu meniup bunga berwarna putih berbetuk seperti kapas,  saat tiupan pria itu mengenainya, bagian-bagian kecil seperti bunga kecil terlepas dari kelopaknya dan berterbangan mengikuti arah angin yang membawanya.   *** “Wow… Itu sangat indah ayah! tiup lagi..tiup lagi!” gadis kecil menatap takjup kemudian kaki-kaki kecilnya  melompat-lompat girang menatap tunas-tunas bunga itu  terbawa angin bergerak di birunya awa. Ingatan itu seakan menggantikan ucapan selamat datang dari pria dalam ingatanku itu. Aku benar-benar merindukannya, dan disaat aku berharap dapat merasakan pelukan hangat dari tubuhnya, yang kulihat hanya tubuh yang  terbaring lemah diatas ranjang, terlelap begitu tenang. Kulangkahkan kakiku keluar  dari kamar pria itu, membiarkannya tetap terjaga dalam ketenangan. Mataku kini menatap sekelilingku, tak ada yang berubah, bahkan sejak aku meninggalkan rumah ini dan memilih tinggal di apartemen minimalisku sejak 4 bulan yang lalu. Cat putih yang membuat rumah ini terlihat semakin klasik dengan gaya klasik Eropanya , taman yang indah dengan pepohonan rimbun yang menghalangi sinar matahari menyapukan kehangatannya pada rerumput hijau yang mengundangku untuk berbaring disana, gemericik air kolam, tarian melambai dedaunan. Tempat ini selalu berhasil membuatku merasakan kehangatan dan kedamaian. “Kau sudah tiba?” Kalimat itu menyentakkanku dari lamunanku dan saat aku membalikkan tubuhku, kedamaian yang kurasakan meluap dan ketidaknyamanan langsung menghinggapi tubuhku saat sosok wanita berusia lebih 50 tahun menatapku dengan tatapan yang tak berubah sedikitpun sejak pertama kali aku datang kerumah ini. “Apa kau sudah melihatnya?” Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu walau tanpa disebutkan pasti, aku sudah tahu siapa yang wanita itu maksud karena tujuanku menginjakan kakiku ketempat ini lagi adalah untuk menemuinya, ayahku. Mata wanita itu menatapku dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Senyuman sinis mengembang diwajahnya yang membuat tubuhku merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa. Aku mencoba memalingkan wajahku untuk melepaskan rasa ini namun bibir berlipstik merahnya membuat keresahan menjalar dihatiku. Rasa ketidaknyamanan yang tak pernah hilang bahkan setelah bertahun-tahun aku melihatnya. “Kau terlihat sangat luar biasa saat ini! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaanmu sekarang  seandainya dia tidak memunggutmu dari jalanan. Mungkin kau sedang meminta-meminta saat ini atau…. menjual tubuhmu untuk mengisi perutmu..” ucapan dan senyuman sinis itu kini terasa seperti lemparan batu yang mengenai dadaku. Kegugupan semakin menjalar ditubuhku, nafasku terasa tak teratur. Inginku membalas ucapannya namun yang dapat kulakukan hanya meremas jari-jariku menahan amarahku. “Kau tadi sudah melihatnyakan? Pria bodoh yang membuatmu seperti saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya dan kau tahu? perusahan tekstil yang dikelolanya juga mengalami hal yang sama dengannya… kritis….” wanita itu mengunci tatapan tajamnya kemataku dan merebahkan dirinya pada kursi dibelakangnya dengan nada pelan dan tegas ia melanjutkan ucapannya lagi. “Sebagai seseorang yang sudah diangkat dari jalanan, tentu kau tahukan harus berbuat apa?” wanita itu menyilangkan kakinya tanpa melepaskan pandangannya padaku. “Aku tahu posisiku dan aku juga sudah tahu tanpa ayah aku tak akan bisa seperti saat ini. Aku akan membantu ayah, menolongnya semampuku..” kalimat itu mengalir dengan cepat, membuatku merasakan debaran keras didadaku. Aku mencoba menahan diriku agar tetap terlihat tenang dihadapan wanita yang tak pernah menebarkan senyuman tulusnya padaku itu sedikitpun. “Hahaha, bagus! Sebagai anak punggut, kau memang harus tahu posisimu! Kalau kau memang mau menolongnya lakukakanlah perintahku ini karena inilah jalan termudah untuk menyelamatkannya. Yah, aku tak yakin hal ini bisa membuatnya sehat kembali seperti semula  namun setidaknya hal ini bisa meringankan bebannya dan menyelamatkan perusahaan tekstilnya itu!” “Hal? hal apa?” tanyaku mencoba memahami arti ucapannya. “Kau berkata ingin menolongnyakan?” tanya ulang wanita itu. Ketenangan wanita itu membuatku takut mendengar kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibirnya. “ME-NI-KAH-LAH….” Mulut wanita itu bergerak sangat lambat mengucapkan kata itu. “Menikah?” tanyaku mencoba meyakinkan diri kalau kalimat yang kudengar itu salah. “Iya! Menikahlah dengan James William Caplox, anak tuan Scoot Brigh  Caplox, dan beban pria yang sedang terbaring lemah diranjang itu akan selesai.” wanita itu kini bangkit berdiri dan berjalan kearahku. Aroma parfum dari tubuh wanita itu tercium olehku saat ia membisikkan sebuah kalimat yang membuat bulu roman ditengkukku berdiri sekaligus melemaskan kedua lututku.. “Aku berharap tidak mendengar kata tidak dari mulutmu! Karena aku sangat membenci orang yang tak tahu balas budi dan tak menuruti perintahku!” aroma parfum itu menghilang seiring hancurnya pertahanan ketenanganku. Kalimat-kalimat dari bibir wanita itu masih terdengar jelas ditelingaku meski bibir yang mengatakannya sudah tak ada lagi dihadapanku. Badanku melemas. Aku mencoba berpegangan pada trali jendela disebelahku, mencoba menyeimbangkan tubuhku yang terasa tak bertulang. jantungku berdetak begitu kencang. Aku mengerjap-ejapkan mataku berulang kali meredam rasa pusing yang tiba-tiba melandaku dan tanpa perintah dariku, tubuhku terjatuh tepat di sofa dibelakangku. Kubiarkan mataku mencari kehangatan dan ketenangan dari taman di balik jendela kaca yang sebelumnya selalu berhasil menghipnotisku itu, namun kini hal itu terasa tak berguna lagi saat nama pria itu terputar jelas di otakku.. “James William Caplox…”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD