"Silahkan..." Billy menarikkan kursi putih kayu untukku dan membiarku duduk tepat dihadapnnya. Entah mengapa ia menjadi begitu baik padaku akhir-akhir ini. Ia bahkan mengajakku makan siang untuk pertama kalinya. Rasanya seperti mimpi menjadi nyata.
Wajah Billy benar-benar maskulin. Rambut cokelat terangnya, mata birunya dan rahangnya yang begitu tegas dan tampak sedikit kasar sisa brewoknya yang ia cukur bersih. Beberapa teman wanitaku dikantor mengatakan ia mirip aktor Chris Hemsworth, tapi dimataku Billy jauh lebih tampan dibandingkan dengannya.
Selain penampilan Billy yang begitu mempersona, ia memiliki kepribadian yang begitu luar biasa. Billy merupakan sosok pria dewasa penih wibawa dan berpikiran teguh dan matang yang sangat aku dambakan untuk menjadi pasanganku dan mungkin dambaan wanita lainnya. Tentu, wanita bodoh mana yang bisa menolak pesona dari pria ini walau ia adalah seorang duda beranak satu.
"Ada apa?" suara berat Billy membuatku segera membuang pandanganku kemana-mana. Aku terlalu malu ketahuan sedang memandangi wajah rupawannya.
"Tidak ada, aku sedang berpikir ingin memesan apa." ucapku sambil menyambar buku menu dengan cepat yang entah sejak kapan berada dimeja didepanku. Aku pasti sudah terlalu tergila-gila dengan pria ini hingga membuatku tidak menyadari sekelilingku.
" Aku melihat ada menu pasta shrimp souce kesukaanmu. Kau mungkin mau mencicipi menu itu." ucap Billy yang masih terlihat begitu tenang.
"Oh, oke aku akan pesan itu." jawabku dengan begitu cepat tanpa mencoba melihat menu itu terlebih dahulu bak anak kecil yang begitu menuruti ucapan ayahnya.
"Lalu? Minumnya?" tanya Billy dengan als terangkat satu menatapku.
"Aah, iya. Aku mau..." aku segera membuka kembali buku menu yang sudah kututup dan membuka kembali mencari menu minuman yang kuiinginkan.
"Aku.. orange squash saja." jawabku cepat.
"Squash?" tanya Billy dengan heran padaku. "Kau tidak suka sodakan, Alex." ucap Billy.
"Oh my God! Maksudnya, orange juice." aku mencoba memperbaiki pesanannku. Sesungguhnya otakkulah yang perlu kuperbaiki saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa begitu grogi hari ini. Tapi mau bagaimana lagi, Billy terlihat terlalu tampan hari ini, ditambah wajahnya yang terkena pencahayaan sinar matahari yang membuatnya terlihat seperti malaikat.
***
"Cloe sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu."
"Aku juga senang bisa menhabiskan waktu bersamanya."
"Minggu ini apa kau sibuk?"
Aku menatap Billy. Ia meletakan cangkir kopinya dan menatapku serius.
"Iya, tentu." aku menyentuh cangkir kopiku hendak meminumnya. Aku akan selalu meluangkan waktuku untuknya. Kuharap pria ini menyadarinya.
"Aku ingin mengajakmu berkencan sebenarnya tapi bingung harus mengatakn apa."
Aku nyaris menyemburkan kopi yang baru saja kuesap. Hatiku bersorak gembira, rasanya seperti mendengar nyanyian malaikat surga yang menari-nari indah di sekelilingku.
Ini bukan mimipikan?!
Akhirnya pria yang sudah lama kusukai ini mengajakku berkencan. Iya Berkencan!!
Rasanya segera kuingin menelpon Corie dan menceritakan kabar gembira ini.
"Kuharap kau tidak akan keberatan dengan hal ini." tambah Billy dengan senyum menawannya.
"Keberatan? Keberatan karena hal apa?" aku bingung dengan maksud ucapannya.
"Kau mungkin keberatan berkencan dengan seorang duda sepertiku."
Untuk pertama kalinya dalam hidupku kulihat wajah Billy tampak sedikit memerah, ia jelas sedang merasa malu. Ooooh, dia benar-benar menggemaskan. Aku tak menyangka pria maskulin sepertinya punya sisi seperti ini.
"Tentu tidak! Aku tidak keberatan!" jawabku dengan cepat. Pandanganku tak lepas sedetikpun dari wajahnya. Wajah tampan Billy yang kini terlihat malu-malu seperti seorang anak kecil.
"Syukurlah. Chloe pasti senang bisa bertemu denganmu lagi."
"Kau tidak?" pertanyaan ini keluar dengan reflek dari mulutku.
"Aku? Iya, aku tentu senang." senyum menis dari bibir Billy benar-benar menggoda, membuatku ingin tersenyum juga.
"Aku juga senang." balasku cepat.
Kedua mata kami bertemu untuk beberapa detik rasanya seperti tenggelam dalam kenyamanan yang selama ini aku cari dari pria yang kusukai dan kukagumi ini. Andai aku bisa melihat wajah ini sepanjang malamku, hidupku akan terasa begitu sempurna.
"Nanti kau mau kujemput?" tawar Billy.
"Jemput? Iya tentu." aku tak akan menolak tawaran ini.
"Kau bisa kirimkan alamatmu nanti ya."
"Alamatku..." rasanyanya seperti merasakan hantaman tepat dikepalaku yang membuatku tersadar dari mimpi indahku. Aku nyaris lupa kaluau saat ini aku tinggal bersama James. Aku tidak mungkin memberitahu alamat tempat tinggalku saat ini kepada Billy. Tidak akan pernah!
"Aaahhh, itu. Aku nyaris lupa. Bagaimana kalau hari minggu kita bertemu ditempat taman hiburan saja ya. " semoga jawabanku ini tidak membuat Billy menjadi curiga. Aku tahu dia pria yang sangat teliti akan semua hal.
"Oh, oke. Kita akan bertemu disana saja ya." Billy menyesap kopi dicangkirnya dan matanya masih menatap kedua mataku, seakan ada yang ia ingin sampaikan melaluinya. Namun entah apa. Andai aku tahu.
***
"Apa kau bodoh dan Gila, Alexis!"
"Kecilkan suaramu, Corie!"
"Bagaimana aku bisa mengecilkan suaraku, saat sahabatku yang baru saja menikah menerima tawaran berkencan dari pria lain! Aku sungguh tidak percaya punya sahabat sepertimu, Alex!" Corie nyaris melempar ponsel ditangannya. Ia tampak begitu ekspresif saat ini. Orang-orang yang lewat ditaman saat ini dan sedang menyaksikan pembicaraan kami mungkin akan mengira aku dan Corie sedang dalam pertengakaran hebat. Yah, nyatanya mungkin akan begitu.
"Tidak ada yang salah dengan aku berkencan dengan Billy!"
"Jelas itu salah, Alex! Kau isteri orang saat ini, kau tidak bisa berkencan dengan orang lain seenakmu, Alex!"
"Ayolah, Corie. Kau tahu bahwa pernikahanku dan James bukanlah hal yang kuinginkan. Lagi pula, James juga berkencan dengan wanita lain dan aku tak mempermasalahkannya." aku tak terima dengan pernyataan Corie yang terus menerus menyudutkanku.
"James berkencan dengan wanita lain?" nada suara memelan dan ia tampak tak percaya dengan ucapanku.
"Iya, dia kemarin membawa Britney si model seksi itu ke penthouse nya. Pernikahan ini hanya sementara Corie, dan kau juga tahu kalau aku sudah lama menyukai Billy. Kuharap kau memahami hal ini."
Corie menatap rerumutan hijau yang terlihat menggelap karena tak terkena cahaya matahari. Ia tampak berpikir keras sebelum melanjutkan ucapannya padaku.
"Ini memang bukan zonaku, Alex. Tapi aku merasa kau dan James adalah pasangan yang tepat untuk bersama." suara Corie melembut saat mengeucapakan setiap kalimat ini. Inginku menyanggahnya lagi namun perdebatan kami ini mungkin tak akan berakhir.
" Aku merasa sebaliknya, Corie. Aku mendambakan hubungan bersama Billy, bukan James."