Pernikahan Diujung Tanduk
Tidak biasanya istriku berdandan cantik apalagi tidak ada acara menghadiri resepsi. Dan ini masih pukul sembilan pagi.
"Mau ke mana bun?" Tanyaku pada bunda putriku, alias istriku.
Dia baru saja selesai menyemprotkan parfum khusus miliknya. Yang kubelikan di salah satu stand parfum ternama sebuah mall seharga satu karung beras. Itu pun uangnya dari hasilku mengikuti rapat di pendopo kabupaten.
"Aku mau jemput Fay dulu mas."
Fazaira, atau biasa dipanggil Fay, adalah putri kami yang baru menginjak usia 4 tahun. Dia baru sekolah paud.
Usia pernikahan kami baru tiga tahun tetapi putri kami telah ada sebelum pernikahan terjadi. Aku yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu memaksa Djentik yang kala itu masih berstatus kekasihku, untuk melayaniku. Berkali-kali di dalam kamar kosku yang bebas dari penjagaan si pemilik.
Kala itu, aku tergiur dengan cerita kawan-kawan yang keseringan dimabuk asmara bersama sang kekasih. Lalu menyewa motel murah meriah yang sengaja diperuntukkan bagi muda mudi untuk 'bercocok tanam' di daerah Pesanggrahan.
"Njemput Fay kok menor banget sih bun?"
Djentik, nama istriku, melirikku dengan raut keberatan. "Terus aku harus njemput pakai daster? Nggak pake make up? Malu lah mas."
Pakaian semasa muda ia kenakan kembali, maklum tubuh Djentik tidak melar meski sehabis melahirkan. Sudah cetakan dari sang Maha Menciptakan.
"Biasanya kamu njemput pake rok panjang. Itu kenapa pakai celana ketat pensil jaman masih pacaran sih?"
"Ya kan ganti penampilan apa salahnya sih mas? Ibu-ibu yang lain juga modis, wajar kan kalau aku juga ikutan."
Wajar untuknya tapi tidak untukku yang takut kehilangan dirinya. Perempuan mana selain Djentik yang sudi menerima kekuranganku yang tak nampak ini?
"Tapi aku nggak suka bun! Kayak wanita apa aja?!" Protesku dengan nada naik satu tingkat.
Djentik menatapku setelah membetulkan tampilan rambut panjangnya yang lurus, hasil rebonding salon desa sebelah.
"Nggak ada yang salah sama penampilanku mas. Kecuali kamu cemburu lalu mikirnya kejauhan."
"Udah ganti baju sana! Atau nggak usah njemput Fay!" Kesalku tidak bisa ditawar.
Suami mana yang bisa melepas pergi istri tercinta dengan penampilan yang cukup membuat hati pria lain berdesir?
Walau Djentik tidak tinggi tapi dia masih cukup memenuhi syarat untuk dijadikan target yang layak digoda.
Djentik melangkah mendekat lalu mengulurkan tangannya untuk menangkup tubuh tinggiku. Menempelkan tubuhnya dengan tubuhku hingga tidak ada jarak sedikit pun yang membentang. Lalu wajahnya ditempelkan ke dadaku yang bergemuruh karena perdebatan singkat kami tadi.
"Nanti malam aku kasih dua ronde mas sanggup nggak?"
Ah...ini yang kusuka dari Djentik, dia pandai membuatku melayang dan tertantang. Sikapnya yang tidak egois saat menghadapi pria 'aneh' sepertiku membuat rasa cinta ini selalu bertambah untuknya. Malah berubah posesif.
"Mas, kok diem sih? Nggak sanggup?"
Awan hitam yang semula berkumpul di kepalaku langsung memudar ketika Djentik menawarkan sesuatu yang menghangatkan hubungan kami selayaknya suami istri. Apalagi kalau bukan urusan ranjang yang membuatku mabuk kepayang.
"Pinter ngrayunya."
Djentik terkekeh sambil membetulkan kemeja batik parang yang kukenakan untuk mengajar di jam ketiga.
"Aku tuh nggak suka diledekin orang-orang mas. Masak iya istrinya pak guru penampilannya kayak orang mau ngarit? Harga diri kan mas."
"Terus, kamunya nggak usah mikir aku bakal serong. Udah ada anak diantara kita. Meski ekonomi belum mapan tapi semua udah lumayan lah."
Setitik rasa bersalah menyusupi relung hatiku mendengar untaian kata-kata keluhan istriku. Ini bukan kali pertama dia berucap demikian karena aku yang belum mampu membawa bahterah rumah tangga kami ke arah kesejahteraan yang hakiki.
Masih setia menunggu rizki kapan diangkat menjadi pegawai negeri.
Rumah masih mengontrak, mobil belum mampu membeli, hanya dua sepeda motor yang baru bisa kuwujudkan untuk mobilisasi. Ah, ini memang salahku yang terlahir dari keluarga tidak sehat. Hingga aku mengidap PTSD hingga saat ini.
"Maafin aku ya bun udah mikir jelek sama penampilan kamu. Aku cuma nanya aja kok."
"Nggak apa-apa mas. Ya udah aku berangkat dulu ya njemput Fay."
Satu kecupan manis didaratkan ke pipiku yang tirus. Lalu dengan cantiknya Djentik melenggang keluar rumah dengan motor matic merah. Aku bisa menatap kepergiannya dengan hati carut marut. Apa lagi jika bukan karena memori pasca trauma yang tiba-tiba menghinggapi.
"Aku nggak boleh kepikiran. Aku harus positive thinking. Djentik nggak mungkin neko-neko."
Aku terduduk sambil memijat pelipis yang pening lalu kelebat peristiwa traumatis beberapa tahun silam muncul. Mirip seperti yang aku alami ketika melihat Djentik tiba-tiba berdandan cantik.
Kenangan menyedihkan dan tidak kuinginkan terkadang muncul melalui mimpi buruk yang jelas dan kini Djentik memunculkannya seperti kilas balik. Tanganku terkepal dengan d**a lagi-lagi bergemuruh marah.
"Kamu kenapa berubah kayak gini sih bun? Harusnya kamu ngertiin aku kayak biasanya!" Aku menahan amarah dengan jantung berdebar-debar.
"Djentik, kamu jujur atau bohongin aku?" Gumamku sambil menarik nafas dalam-dalam.
Bayangan traumatis masa lalu tergantikan dengan wajah Djentik di setiap potongan adegan. Membuat aku tidak dapat bernafas leluasa dan ingin mengeluarkan magma amarah tapi bagaimana jika isi rumah ini kembali kuporak-porandakan seperti dulu?
Semakin menahan diri untuk tidak membuntuti Djentik, peristiwa traumatis itu makin menghantui. Bagaimana kegiatan itu terjadi, tempat, pelaku, hingga perasaanku seperti kembali ke masa itu.
"Maafin aku Djentik. Aku sayang kamu. Tapi aku nggak kuat nahan lagi."
Pikiran dan perasaan negatifku muncul karena takut Djentik berbohong. Bukankah ikatan batin suami istri itu sangat kuat?
Aku tidak mau nasib keluargaku seperti orang tuaku di masa lalu yang hanya menambah deretan traumatisku. Hingga aku dijauhi teman dan keluarga karena dianggap gila. Kehilangan minat untuk hidup.
Segera kuambil kunci motor, mengunci pintu rumah, lalu menginjak pedal motor mega pro milikku. Kupacu kecepatannya melebihi batas normal berkendara di jalan pedesaan demi menemukan titik terang motor matic istriku.
"Djentik." Gumamku ketika belum nampak hilalnya.
Bagai jatuh tertimpa tangga, belum sampai jalan raya ada segerombol itik berbaris memanjang selepas mandi di kali. Diikuti kambing yang selesai merumput di ladang tak berpenghuni, memenuhi jalanan.
Lengkap sudah!
Kecemasan tak terkontrol karena tidak bisa menemukan Djentik ikut menyusupi traumatikku. Hampir saja aku berteriak tidak terkontrol seperti kala itu, kehilangan ibu karena kelakuan bapak.
"Tenang! Tenang! Tenang!"
Kecemasan yang bercampur dengan pasca traumatis jika bersatu memiliki efek buruk bagiku.
Aku berbalik arah lalu memacu laju motor dengan kecemasan mulai menguasai logika. Di perempatan depan aku berbelok ke kiri sambil berusaha menenangkan prasangka yang terus membisikkan kata-kata provokasi. Walau tidak sepenuhnya berhasil setidaknya cukup mengontrol.
Tujuanku ingin segera sampai sekolah Fay, lalu mengecek keberadaan Djentik disana. Tapi, tanganku reflek memelankan laju motor ketika melihat sesuatu yang kukenal berhenti di depan rumah seseorang.
"Itu motornya Djentik kan?!"
Kuturunkan penyangga motor lalu berjalan mendekati motor matic merah itu. Yakin, ini adalah motor Djentik karena aku hafal plat nomernya.
Jika sudah begini bagaimana aku bisa mempercayai istriku sepenuhnya? Dia berucap akan menjemput Fay di sekolah, tapi mengapa motornya berada disini?
"Apa yang dia lakukan disini?" Amarah yang sebelumnya berkumpul kini makin menggulung karena aku merasa dilukai.
"Kenapa kamu bohongin aku?"
Selama tiga tahun pernikahan, ini adalah pertama kali Djentik menipuku dan aku baru mengetahuinya.
Dirumah itu, milik pamanku, adik bapakku yang usianya hanya terpaut dua tahun di atasku, Djentik berada di sana. Persepsi apakah ia berkencan dengan pamanku pun menyeruak.
Dengan jantung berdegub kencang dan hati yang sejak tadi menahan amarah, aku mengendap-endap waspada mendekati pintu rumah. Bukan tanpa alasan, sejak aku dan Djentik menikah, aku belum pernah mengenalkan sosok paman mudaku itu padanya.
Ia sering menarik diri dari acara keluarga bahkan di hari pernikahanku dengan Djentik, dia tidak hadir. Otomatis Djentik tidak pernah tahu bahkan mengenal sosok pamanku ini.
Tapi kini, mengapa motornya berada disini?
"Sandalnya Djentik."
Kutatap sandal bling-bling kuning kecoklatan itu dengan hati riuh redam seperti dipenuhi petasan. Itu adalah barang milik istriku. Kekecewaan akan ucapannya yang tak sesuai kenyataan makin menambah deretan luka di hati.
Setelah ini, jika Djentik terbukti berkhianat, bagaimana aku mengatasi kesulitan tidur, amarah yang mudah meledak, bahkan nekat mengambil risiko?
Tanganku bergetar ketika memegang handle pintu. Sambil merapal kata-kata penenang agar gangguan kecemasanku tidak muncul di saat yang keliru.
"Nggak dikunci."
Kulongokkan kepala dari balik pintu lalu melihat ke dalam. Yang terpampang hanyalah kesunyian diikuti suara detik jarum jam. Kutajamkan pendengaran dengan tubuh gemetar bersimbah keringat dingin.
Saat tubuhku sampai di ruang tengah terdengar tawa lirih dari dalam kamar yang berada di sisi kananku.
"Suara Djentik kah itu?"
Kutempelkan telinga di daun pintu kamar dengan seksama hingga terdengar gelak tawa lebih jelas.
Ketika melakukan perzinahan empat tahun lalu, aku ingat jika tidak ada darah yang mengiringi aktivitas panas kami. Djentik berujar jika tidak semua gadis akan 'berdarah' ketika pertama melakukannya. Dan aku percaya begitu saja.
Kini, dugaanku beralih. Apakah Djentik sebelumnya telah ternoda? Dengan siapa?
Kira-kira apa yang dilakukan istri orang berduaan dengan lelaki single di kamar pagi begini?
Sejak kapan Djentik menodai hubungan kami?
Dan haruskah aku kembali menggunakan alkohol atau obat-obatan untuk mengatasi stres?