Rifta tiba di kosnya sudah menjelang waktu maghrib, hari itu sangat padat jadwal di kampus. Ia sudah menjadwalkan untuk KKN (Kuliah Kerja Nyata) semester itu agar bisa lulus tepat waktu. Tadi ia sudah berdiskusi dengan teman-temannya tentang pelaksanaan KKN, ia bersama tiga orang teman kelompoknya akan mencari lokasi yang sesuai dengan persyaratan untuk melakukan KKN.
Ponselnya kembali berdering, Rizka menelepon. Ia segera mengangkatnya, penasaran dengan percakapan adiknya bersama Dannis, juga khawatir dengan kesehatan ibunya.
"Assalamu'alaikum, Riz," ucap Rifta. Ia memasang earphone agar bisa bertelepon sambil mengetik di laptop.
"Wa'alaikumsalam, Kak. Kakak sudah punya calon? Kenapa nggak bilang-bilang? Dia bilang besok mau transfer uang, betulan kan, Kak? Aku sudah bilang sama rentenir itu besok uangnya ada." Rizka langsung bercerocos to the point, dia memang paling kepo untuk masalah pacar. Rizka pasti pasti sangat penasaran, kakaknya yang terkenal sangat anti dengan cowok itu tiba-tiba sudah memiliki calon suami.
Rifta menghela napas kasar. Sekarang bagaimana caranya ia menyangkal? Semuanya jadi terasa sulit.
"Kak, beneran, kan?" desak Rizka.
"Mmm, itu...."
"Ih, Kakak nggak usah malu, santai aja, kali," ucap Rizka memotong ucapan Rifta dengan nada meledek.
"Kak, sebenarnya rentenir itu sudah ngancam aku, kalo sampe akhir bulan nggak dibayar, aku yang mau mereka bawa." Suara Rizka berubah serius. "Kakak juga tau sendiri, kita sudah nggak punya harta benda untuk lain mencicil pembayaran."
Rifta semakin kuat menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, dadanya tiba-tiba terasa sesak mendengar ucapan adiknya. Sepertinya kandungan karbon dioksida di udara sekitar tempatnya duduk tiba-tiba meningkat!
"Iya, Riz, besok aku transfer. Kamu tenang aja, ya, jaga ibu baik-baik."
Rifta kembali tertunduk lesu di depan laptopnya. Kepada siapa dia akan mendapatkan pinjaman uang dalam waktu sesingkat itu? Sepuluh juta untuk mencicil utang, bukan jumlah kecil, belum termasuk biaya pengobatan ibunya.
Ah, kenapa juga Dannis harus mengaku-ngaku sebagai calonnya?! Sekarang jadi semakin rumit.
Rifta menghubungi Silvy, sahabat dekatnya di kampus dan satu organisasi keislaman dengannya. Siapa tahu dia memiliki uang, meskipun ia tahu, Silvy juga anak rantau sama seperti dirinya. Tapi hasilnya, sesuai dugaannya, Silvy tidak bisa membantu.
Sudah lima orang temannya ia hubungi untuk meminjam uang, kendati hanya beberapa rupiah saja, tapi tetap saja tidak ada yang mau meminjamkan padanya. Yah, siapa yang berani meminjamkan uang di zaman seperti sekarang? Meskipun ia berpenampilan islami, tetap saja tidak menjadi jaminan akan mendapat kepercayaan orang-orang.
Rifta meraih ponselnya, membuka nomor baru yang tadi digunakan Dannis untuk meneleponnya. Entah berapa kali ia hendak menekan tombol panggil, tapi selalu diurungkannya niat itu.
Akhirnya Rifta menyimpan kembali ponselnya. Ia bergegas mengambil air wudhu, sudah waktunya untuk mengadu pada Yang Maha Kuasa atas segala gundah hatinya.
"Ya Allah, hanya kepada Engkau hamba mencurahkan segala keluh kesah ini. Hamba tidak tau lagi harus mengadu kemana, tolonglah hamba, Ya Allah." Rifta terus bersimpuh di atas sajadahnya, menangis sepuas hatinya, melangitkan doa setinggi-tingginya, semoga Yang Maha Kuasa akan memberi setitik harapan cerah padanya.
**WF**
Keesokan harinya Rifta mengurus berkas KKN bersama teman satu kelompoknya. Jika berkas selesai pagi, maka siang hari mereka langsung survey lokasi.
Menjelang pukul 11 siang, Rizka kembali menelepon.
"Kak, rentenir sudah datang, bagaimana ini? Kakak bilang mau transfer hari ini!" Suara Rizka meninggi.
"Iya, sedikit lagi, aku masih di kampus. Bilang sore aku transfer," ujar Rifta berusaha bernegosiasi. Rizka tidak menjawab, langsung mematikan telepon. Rifta hanya bisa menghela napas berat memandangi layar ponsel yang sudah mati itu.
"Sorry, aku nggak ikut survey lokasi, aku ada urusan mendadak," ucap Rifta pada teman kelompoknya dengan wajah menyesal.
Rifta segera mencari lokasi yang sunyi di belakang BAAK (Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan), lalu duduk di bawah pohon rindang. Perlahan ia membuka kembali ponselnya, mencari nomor baru yang belum ia simpan itu, lalu... calling.
"Halo." Terdengar suara serak pria dari seberang.
Jantung Rifta berdegup kencang, apakah keputusannya ini benar? Apakah ia yakin?
"Halo?" Suara serak Dannis kembali memenuhi gendang telinganya.
"Halo," jawabnya dengan suara lirih. "Ini aku, yang kemarin." Mereka bahkan belum berkenalan, ia hanya mengetahui nama pria itu dari wallpaper ponselnya, betul atau tidak nama itu ia juga tidak mengetahuinya.
"Rifta," ucap Dannis. Jadi, Dannis sudah tahu namanya?
"Apa kamu sudah berubah pikiran?" Suara Dannis terdengar renyah, mungkin cowok itu sedang menertawakannya.
"Bisa kita ketemu sekarang? Ada hal penting yang harus aku bicarakan denganmu," ucap Rifta.
**WF**
Rifta dan Dannis sudah berada di gazebo paling ujung kampus yang jarang dikunjungi mahasiswa. Mereka duduk berhadapan, di antara mereka terdapat sebuah meja bundar.
"Tidak bisakah kamu pinjamkan saja aku uang itu? Aku akan ganti dengan mencicil," ucap Rifta membuka percakapan. Terus terang ia sangat gugup, semenjak berhijrah mengenakan pakaian syar'i, ia tidak pernah duduk berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram-nya, jadi ini adalah pengalaman barunya.
Dannis tertawa lebar. "Katakanlah aku pinjamkan, berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk mencicil?" ujarnya dengan nada mengejek.
"Hei, 350 juta itu tidak sedikit. Katakanlah aku meminjamkanmu uang untuk membayar cicilan utang dan biaya rumah sakit ibunu 20 juta, lalu bulan depan? Kau yakin bisa membayar utangku dan membayar cicilan utang ke rentenir itu? Jangan bilang kau akan meminjam uangku lagi." Dannis melempar pandangan ke rimbunan pohon-pohon di sekitar gazebo.
Rifta menghela napas kasar, pikirannya kusut, layaknya benang kusut yang sudah tidak jelas ujung pangkalnya. Ucapan Dannis ada benarnya, ia hanya tidak ingin terikat pernikahan dengan pria tak dikenal itu.
"Kita menikah hanya sementara dan aku akan membayar semua utangmu, mencukupi semua kebutuhanmu. Kau tenang saja, aku juga tidak berminat untuk menyentuhmu, kau bukan tipeku," sindir Dannis tajam. Ia bahkan menatap Rifta dengan pandangan merendahkan.
"Kau hanya perlu menuruti perintahku. Berpura-pura jadi kekasihku dan istriku, pura-pura jadi orang kaya biar orang tuaku tidak mempermasalahkan hubungan kita. Pokoknya kau tinggal tau beres, aku akan mengurus semuanya," ujar Dannis dengan nada kesal.
"Kau janji, tidak akan menyentuhku sedikit pun?" Rifta berucap lirih, sangat malu rasanya mengatakan hal sensitif itu.
Dannis tertawa lebar. "Ya ampun, Rifta! Kau pikir aku akan tertarik sama kamu? Meski kau telanjang bulat di depanku, aku tidak akan tertarik!"
Rifta sangat geram mendengar ucapan Dannis yang terdengar sangat menghina itu. Tapi ia diam, ia sekarang sedang butuh uang, tidak sedang dalam ruang debat.
"Baiklah aku setuju kalau begitu. Pegang janjimu itu," ketus Rifta sebal.
Dannis mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pena, Rifta mengernyit melihat kertas itu.
"Kita tulis perjanjian ini di sini, agar menjadi bukti di antara kita berdua. Satu, pernikahan ini sifatnya hanya sementara, sampai Agnez kembali." Dannis mulai menuliskan isi perjanjian.
"Tunggu! Ini bukan nikah kontrak, kan? Sebab nikah kontrak tidak diizinkan dalam agama," tegas Rifta.
"Ah, terserah apa pun namanya, yang pasti kita menikah sampai tujuan masing-masing terpenuhi," jawab Dannis. Ia mengibaskan tangannya di depan wajah tampannya.
Mereka mulai melakukan tawar menawar isi surat perjanjian hingga akhirnya tercapai kesepakatan. Pernikahan mereka tidak dibatasi oleh waktu, uang 350 juta sebagai mahar, adapun selebihnya berisi tentang hal-hal teknis yang tidak boleh dilanggar masing-masing pihak, termasuk hubungan suami-istri.
"Deal?" Dannis memastikan.
"Deal!" jawab Rifta berusaha yakin.
Mereka membubuhkan tanda tangan di bawah surat perjanjian itu. Setelah menyelesaikan urusan mereka, Dannis bergegas beranjak dari tempat duduknya.
"Tunggu!" seru Rifta menghentikan langkah Dannis.
"Apalagi?" tanya Dannis kesal.
"Aku butuh uangnya sekarang," ucap Rifta lirih, ia meremas ujung jilbabnya hingga kusut.
Dannis kembali tertawa. "Heh, baru saja selesai ditulis surat perjanjiannya kau sudah minta uang itu? Benar-benar...! Kirimkan nomor rekeningmu!" ketus Dannis, lalu segera berlalu meninggalkan Rifta yang masih berdiri mematung.
Bersambung...