Gara-Gara Bakwan Jagung

1316 Words
Seharusnya hari ini aku libur! Harusnya sebelum Bos menyebalkan memintaku mengantarkan makan siang ke peternakan. Padahal Cintami (Adik Mas Agung) mengatakan jika Bibik sudah masak makan siang. Bos menyebalkan tetap ngotot memintaku untuk memasak. Aku mengurungkan niat bersantai setelah membersihkan rumah. Bergegas pergi ke pasar untuk membeli bebek dan sayur-sayuran hijau. “Lama sekali datangnya. Sengaja mau bikin aku kelaparan,” cibirnya saat aku baru sampai peternakan. Aku meletakkan rantang berisi nasi, bebek sambal ijo dan juga tumis bayam ke atas meja kerja Mas Agung. Lalu duduk di sofa tanpa di persilahkan olehnya. Kedua mata Mas Agung meneliti setiap isi rantang. Setelah itu mendengkus, apalagi yang aku lewatkan kali ini? Selalu saja ada kesalahan yang aku buat. “Mas gak cuci tangan dulu?” “Lauknya kurang satu,” jawabnya. “Bakwan jagung nya mana? Kamu tidak baca pesanku dengan teliti.” “Oh, memang sengaja nggak buat soalnya Mimi bilang Bibik bikin bakwan jagung.” “Itu ‘kan Bibik bukan Dyah yang buat.” “Ya, sama saja sih, Mas. Mau aku ambilkan?” tawarku, ingin melarikan diri dari Bos menyebalkan. “Aku maunya bakwan jagung buatanmu.” “Masak aku harus pulang ke kosan hanya untuk membuat bakwan jagung. Mas tidak menggaji ku sebagai tukang masak sekaligus pengantar makanan loh ...” Mas Agung mulai makan siangnya meski dengan wajah ditekuk. Dengan lahapnya menyantap semua makanan yang aku buat. “ATM yang aku berikan itu isinya cukup untuk biaya hidupmu selama satu tahun. Termasuk membayar cicilan motor butut dan kosan reyot. Masih bilang tidak aku gaji?” Mana berani aku mengambil uang yang bukan milikku. Lagian Mas Agung bilang kartu itu untuk belanja menu makan siangnya. Mana ada dia bicara untuk keperluan hidupku juga. Isi ATM itu memang sangat banyak menurutku. Terlalu berlebihan jika Mas Agung memberikan kartu itu padaku. Hanya untuk belanja sampai diberi uang sebanyak 300 juta. Wajar jika dia mengatakan uang itu bisa ku buat biaya hidup selama satu tahun. “Bebeknya enak tapi sambalnya hanya sedikit,” ujarnya setelah menghabiskan sambal hijau. “Harga cabai sedang mahal?” “Iya, Mas. Gak boleh protes! Harga cabai satu kilo sekarang hampir 80 ribu jadi nggak boleh terlalu banyak makan sambal.” “Kamu beli seperempat?” tanya Mas Agung dan aku langsung menggeleng. Kos yang aku tempati tiap kamarnya memiliki tempat jemuran di belakang kamar cukup luas. Aku memanfaatkannya untuk menanam sayuran dan juga cabai. Kebetulan cabai rawit, merah dan juga hijau sudah waktunya panen. Meski hanya satu pot lumayan bisa di buat masak. “Kok diam?” tegur Mas Agung. “Sedang memikirkan jawaban agar aku tidak ngomel.” “Nggak tuh, aku tidak beli cabai tapi panen sendiri.” “Dyah ...” Mas Agung geleng-geleng kepala mendengar jawabanku. “Jangan bilang kamu tidak membuatkan bakwan jagung karena menunggu jagung yang kamu tanam panen?!” Aku berdecak kesal menatap Mas Agung. Isi pikirannya sebenarnya apa sih? Mana mungkin aku menanam jagung di tempat jemuran. Malas menjawab aku mengabaikannya saja. Mengambil n****+ yang aku bawa dari rumah. Sambil menunggu Bos menyebalkan selesai makan siang lebih baik aku baca n****+ baruku. “Wah, iya, kamu kebangetan Dyah. Masak mau bakwan jagung harus tunggu jagungnya di panen.” “Mas kalau bicara suka asal ya. Mana mungkin aku menanam jagung di kosan?” “Bisa jadi begitu. Kamu itu manusia langka dan suka bertindak di luar nalar.” “Dih, nggak sadar diri,” omel ku. “Buat apa aku sadar diri? Harusnya kamu. Uang sudah di kasih dan tinggal belanja. Kenapa masih repot-repot berkebun sendiri? Mau mengamalkan lagu kemarin paman datang.” “Sayang kalau tempat kosong dibiarkan nganggur. Lagian aku menanam sayuran karena suka. Kok Mas Agung yang repot sih!” “Karena sambalku kurang dan bakwan jagung masih menunggu panen. Gimana aku nggak ikut repot?!” “Aku sudah bilang enggak menanam jagung,” debat ku lagi. “Besok aku buatkan bakwan jagung yang banyak.” “Sudah telat aku tidak selera lagi memakan lauk itu.” “Ya, sudah, bagus kalau begitu,” jawabku, lalu pergi meninggalkan ruang kerja Mas Agung. Lebih baik aku menyusul Mimi yang sedang berkunjung ke rumah sang mama. Peternakan sapi milik orang tua Mas Agung terletak di belakang rumah utama. Jaraknya tidak terlalu dekat dan tidak jauh juga. Jika ingin ke rumah utama harus naik sepeda atau motor listrik agar kaki tidak pegal. *** “Sabar, Mbak,” ujar Mimi. Dia tertawa setelah mendengar curhatan ku. “Aku tuh nggak nyangka loh Mas Agung bakal kayak gitu. Sepertinya dia nyebelin hanya sama Mbak Dyah.” “Pengen aku jambak rambutnya tapi nggak berani.” “Ih, jambak aja, Mbak. Nanti kalau dia marah aku bakal marahin balik.” Cintami dan Mas Agung adalah saudara angkat. Mas Agung diangkat anak oleh Om Yopie sejak kedua orang tuanya mengalami kecelakaan. Meski begitu, mereka berdua sangat dekat layaknya saudara kandung. Tidak pernah sekalipun iri karena orang tua mereka sangat adil dalam memberikan kasih sayang dan juga materi. “Tuh, orangnya datang,” bisik Mimi. “Bawa rantang pink manis banget Mas ku, hihi.” Aku menoleh ke belakang, ternyata benar Mas Agung sedang berjalan ke arah ruang tamu. Dia keluar dari dapur pasti meminta Bibik untuk mencuci rantang wadah makan siangnya. Baru juga terhindar sebentar darinya kini sudah harus berhadapan lagi. “Ikut saya ke peternakan milik Pak Yohanes,” titahnya tidak mau dibantah. Mimi mengepalkan kedua tangannya lalu mengangkat ke atas. “Semangat, Mbak Dyah ...” ucapnya memberiku semangat. Tidak ada pilihan lain, aku terpaksa ikut dengan Mas Agung meskipun dalam hati menggerutu. Percuma aku ambil cuti jika akhirnya di suruh kerja juga. Tahu begini aku jaga klinik bersama dengan Dokter Cindy. Sebenarnya Mas Agung sudah memiliki Dokter yang membantunya di klinik. Entah alasannya apa Dokter itu mengambil cuti panjang. Saking lamanya aku sampai lupa berapa lama dia tidak masuk kerja. “Kamu berantem sama Cindy?” “Enggak, memangnya aku harus berantem dengannya?” tanyaku balik. Aneh banget Mas Agung tanya begitu. “Dia mengajukan cuti dengan alasan tidak ingin kamu salah paham.” “Salah paham soal apa? Aku saja jarang bicara sama dia.” “Justru itu kamu kelihatan tidak suka dengannya,” jawab Mas Agung. “Kebalik, Mas. Justru dia yang tidak suka denganku. Terserah Mas mau percaya atau tidak yang pasti aku berkata jujur.” “Aku percaya denganmu. Meskipun menyebalkan kamu selalu jujur dalam segala hal.” Harusnya aku yang berkata seperti itu malah kebalik. Mungkin Mas Agung tidak pernah merasa selama ini telah menjadi Bos menyebalkan bagiku. Bisa-bisanya mengatai ku menyebalkan padahal sikapku adalah cerminan sikapnya. Ya, aku menjadi perempuan yang tegas dan tidak mudah ditindas itu karena didikan Mas Agung. “Jadi, kemarin dia ngadu sama, Mas. Pantas saja saat pulang kedua matanya sembab.” “Kamu tahu dari mana?” “Saat mampir ke minimarket aku tidak sengaja melihatnya. Matanya sembab tapi bibirnya senyam-senyum.” Mas Agung tidak menjawab karena fokus menyetir. Mobilnya sudah masuk ke dalam peternakan milik Pak Yohanes, klien pertamanya setelah mendirikan klinik. Tempatnya jauh dari pemukiman warga dan jalannya masih tanah. Semalam habis hujan jadi lumayan becek. “Mau ikut masuk ke kandang?” tanya Mas Agung sebelum turun dari mobil. “Memangnya aku di ajak ke sini untuk apa kalau bukan membantu Mas?” “Aku hanya ingin ditemani saja.” Kumat lagi penyakitnya. ‘Hanya ingin ditemani’ tau gitu aku pulang ke kosan untuk istirahat. “Tidak usah menggerutu dalam hati. Nanti aku belikan mie yamin.” “Ya, sudah, buruan periksa sapi-sapinya. Setelah itu, pulang. Aku tunggu di mobil saja.” Mas Agung turun dari mobil namun membiarkan pintunya terbuka. Saat aku menoleh ke belakang ternyata dia mengambil selimut dan memberikannya padaku. Setelah itu, mengambil ponsel dari dalam pouch kecil yang ku bawa. “Terima kasih,” ucap ku. “Istirahat tapi jangan tidur! Dan, biarkan sambungan video call kita tetap terhubung sampai aku selesai bekerja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD