Reason Not to Worry

1156 Words
Sekarang adalah hari Senin yang merupakan awal minggu. Satu hari yang umumnya paling tak disukai oleh mayoritas manusia karena seperti mengembalikan mereka dari mimpi pendek libur dua hari saat weekend yang tak ingin dikahiri. Hari di mana semua orang harus kembali ke kenyataan di mana mereka harus bekerja keras untuk kembali melanjutkan hidup. Yang tak akan beri mereka kesempatan untuk hanya bangun tidur dan makan sesuka hati bahkan jika memang memiliki sumber daya yang cukup untuk itu. Semua tetap tak akan terasa normal untuk dijalani. Sebagai seorang manusia tidak peduli apa yang terjadi kita harus tetap kembali bangun dari tempat tidur yang nyaman memabukkan. Kembali bekerja dan berhubungan sosial demi melanjutkan kehidupan. Walau kadang memang harus menghadapi beberapa alur dilema. Tapi, tak pernah boleh putus asa. Begitulah manusia apa adanya. Terkadang nestapa bahkan tidak peduli siapa mereka sebenarnya. Liam sendiri adalah seorang anak yang cukup pendiam jika dibanding dengan anak remaja lain di sekitarnya yang seumuran dengannya. Apa pun yang terjadi pada dia sejauh ini sama sekali tak banyak memancing antusiasme publik. Termasuk saat ia masuk sekolah dengan keadaan babak belur karena insiden yang terjadi malam minggu kemarin. Bel untuk istirahat pagi sudah berdering dua kali. Mengabaikan Shania dan teman-temannya yang lain. Yang tak sabar untuk mengepoi apa saja yang ia alami saat malam minggu kemarin. Sebagai saksi mata langsung peristiwa yang menimpa Perdana Menteri Liam dan… Tuan Muda Tara. Buat Kenna langsung bergegas menuju kelas Liam. Ж Kenna langsung masuk ke dalam kelas saat guru sedang tak ada di tempat. Ia benar-benar tak bisa lagi menahan perasaan khawatir yang bergejolak dalam sanubari. Segera ia hampiri tempat duduk di mana Liam berada. Ada di bagian paling depan banjar kedua dari sisi kiri kelas. Pemuda itu sedang berusaha menyalin catatan pelajaran dengan tangan kirinya. Tangan kanannya harus digip karena cidera. Ia pun terpaksa menjadi ambidextrous yang merupakan istilah untuk mereka orang yang bisa gunakan dua tangan baik yang kiri maupun yang kanan dengan sama baik secara kilat. “Hallo, Liam. Gimana keadaan kamu? Apa sudah jauh lebih baik? Apa yang kamu rasakan?” tanya Kenna dengan tatapan welas asih super perhatian. “Ah, udah baik-baik aja, kok. Jauh lebih baik. Nggak ada yang perlu kamu atau orang lain khawatirkan karena aku sedang sangat sehat sekarang,” jawab Liam dengan nada suara yang hampir selalu tenang. Cenderung datar, tapi tampak berusaha dibuat lebih ceria dengan mengada-ada. Seorang siswi reseh dari kelas Liam menyempatkan diri meledeki situasi mereka, “Masih pagi ini, Mas Liam. Udah nyerang aja sama cewek dari kelas lain. Pantas aja kamu diserang sama yang punya dia,” komentarnya seenak sendiri. Kenna langsung melirik sinis siswi yang tinggal terlihat punggungnya itu. “Target locked,” tekadnya dalam hati. Akan ia buat perhitungan dengan anak itu suatu saat nanti. Berani menyakiti sang pangeran pemiliki separuh isi hati? Oh, lihat saja nanti. Liam memegang pergelangan tangan kanan Kenna di atas mejanya. “Aku benar-benar nggak apa-apa. Lebih baik kamu segera kembali ke kelasmu sendiri. Aku benenar, deh, sangat baik-baik aja,” pintanya lembut dengan tatapan yang ingin dipahami. Entah bagaimana Kenna pun hanya bisa mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya Liam inginkan. Ia tak mau sampai perhatian yang berusaha keras ia utarakan malah berakhir buat Liam alami hal tidak menyenangkan dari orang lain yang tak ia harapkan. Ж Bel istirahat siang berdering nyaring dengan indahnya di telinga para siswa. Aroma delusional soto ayam Surabaya dari kantin rasanya sudah cukup menggugah selera. Shania dan teman-temannya yang lain langsung mengajak Kenna untuk makan siang. Diiringi bergosip tentang kejadian itu. Tapi, lain dengan Kenna di mana ia sama sekali tak ada selera. “Sori, temen-temen. Aku merasa harus bertanggung jawab sama apa yang menimpa Liam,” ia menjawab sambil memegang sebuah bekal makan siang. Shania mengernyitkan kedua mata. “Itu… apa kamu siapkan buat Liam?” ia bertanya. Kenna tersenyum dipaksa tulus. “Seperti yang kamu lihat. Sudah, ya,” pamit gadis itu hendak menuju ke kelas Liam. Shania dan ketiga temannya pun bergegas pergi ke kantin sebelum kehabisan kursi kosong. “Miris banget gak, sih? Cowok sempurna kayak Tara harus terlibat skandal kayak gini hanya gara-gara seseorang yang bahkan bukan... ah…” buka salah satu temannya membuka gunjingan tengah hari mereka. “Kalau begitu mah yang namanya ironis sih bukan miris,” koreksi Shania. Salah satu temannya menambahkan, “Bukannya Liam itu jelek atau gimana, sih. Tapi, kalau dibandingin sama Tara. Perbandingannya kayak langit dan bumi. Buminya bagian bumi paling rendah lagi.” Siswi yang lain berusaha menambahkan, “Dalam kasus ini gue juga yakin kalau Tara sama sekali nggak salah, kok.” “Tara itu kan berasal dari keluarga yang terkemuka. Nggak mungkin kan dia nekad mukulin anak penerima beasiswa. Yang lagi part time jadi pelayan di pesta borju mereka?” tanya seorang siswi berusaha ungkapkan perasaan yang mengganjali dalam hati. “Non sense. Fix ini pasti cuma kesalahpahaman yang gak punya dasar dan hanya merugikan Tara aja,” sambung siswi lain berusaha optimis dengan apa yang ia ingin sebenarnya. Malah ada siswi lain “Atau yang sebenarnya salah Liam. Tapi, dia sengaja memutar balikkan fakta. Yah, bisanya memang seperti itu, 'kan? Namanya juga orang dari kalangan biasa.” “Kasihan Tara jadi harus nggak masuk hari ini,” komentar seorang siswi dengan raut wajah sedih. “Poor boy. Kasian banget dia,” tambah seorang siswi tak kalah bersimpatinya. Ж Kenna mengajak Liam untuk makan siang di belakang gedung olahraga sekolah mereka. Walau awalnya Liam menolak dan bersikukuh mengaku bahwa ia masih bisa saja makan pakai tangan kiri. Kenna yang tak kenal menyerah berusaha tetap memaksa. Dan akhirnya menyerahlah anak remaja laki-laki itu. “Aku beneran nggak habis pikir. Bagaimana bisa Tara malah nggak dihukum apa pun karena insiden yang menimpa kamu ini?” tanya Kenna dengan tatapan sedih sambil bercucuran air mata. Ia dengan sabar dan lembut terus menyuapi Liam. “Udahlah, nggak apa-apa, kok. Aku juga sehat-sehat aja, ‘kan?” respon Liam santai seraya menyeka air mata Kenna. “Jangan nangis, dong. Kan aku jadi sedih juga kalau lihat kamu bersikap begini,” ucap anak remaja laki-laki itu lembut. Mungkinkah bibit-bibit perasaan telah tersemai dalam dirinya yang dingin dan kaku? "..." Kenna hanya bisa terdiam. Tak menyangka pada bagaimana perkembangan situasinya. Apakah suatu saat nanti apa yang selalu ia ucapkan dalam untaian doa itu akan menjadi sesuatu yang nyata? Bukan mimpi di balik realita lagi. Semoga saja. “Tulang tangan kanan kamu geser. Kaki kamu cidera juga. Muka kamu yang ganteng jadi bonyok-bonyok begini. Dan kamu bilang nggak apa-apa?” tanya Kenna tak percaya. Liam tersenyum dengan mulut penuh bekal makan siang buatan Kenna yang tidak enak. “Cowok itu hatinya memang mudah hancur. Tapi, fisiknya strong. Selama belum ditinggal sama cewek yang dicintainya, sih. Dia nggak bakal beneran sakit.” “Percaya deh sama aku.” “Jangan khawatir lagi ya, Sayang.” Kenna menganggukkan kepalanya lembut. Dengan telapak tangan Liam di wajahnya. Menahan air matanya agar tak menetes lagi. Tetap terjaga di tempatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD