Bab 2

1220 Words
Kepalaku terasa berat ketika bangun pada pagi harinya. Semalaman aku berkutat dengan pekerjaan, menyelesaikan lima sketsa gaun pernikahan untuk klienku. Aku adalah Sekar Ayu Paramita Abdillah 32 tahun, berprofesi sebagai designer gaun pengantin. Aku mengenyam pendidikan fashion design di salah satu universitas ternama di London selama beberapa tahun. Dan setelah lulus dengan berbagai prestasi yang kuraih di sana, aku pulang untuk membangun karirku di negeri tercinta. Berkat nama besar Ayahku-dr. Yusuf Abdillah Sp.B dan Ibuku-dr. Ayu Probosutedjo Sp.OG yang memiliki banyak relasi, dalam kurun waktu tiga tahun, bisnis yang kubangun dari nol berkembang cukup pesat. Bisnis gaun pengantin yang kudirikan dengan menggunakan brand Sekar Abdillah ini sudah mendatangkan klien dari berbagai penjuru dalam dan luar negeri. Dan aku akan sekuat tenaga, menjaga nama Sekar Abdillah tetap bersih. Tak akan mengizinkan siapapun, termasuk Dipta mengotorinya dengan penawaran perceraiaan di bulan kedua pernikahan kami. Enak saja dia! Pukul setengah tujuh pagi, aku keluar dari kamar setelah memastikan penampilanku sempurna. Celana kulot yang kupadu dengan blouse berbahan sutra dan hijab yang kuikat ke belakang leher, membingkai tubuhku pada hari ini. Tak lupa kukenakan cincin berlian yang merupakan cincin pernikahanku dengan Dipta. Aku sudah berkomitmen, akan terus memakainya selama pernikahan kami, meski Dipta sering kali tidak memakainya. Tak kuduga, ketika memasuki dapur, aku menemukan Dipta tengah mengaduk minuman. Indra penciumanku juga menghidu aroma roti panggang. Tumben sekali pria itu masih berada di apartemen pagi ini. Namun, aku sama sekali tak berniat untuk menyapa Dipta. Aku berjalan ke arah lemari penyimpanan untuk mengambil gelas lalu menuju dispenser di sisi lemari pendingin. “Aku sudah mengirim undangannya semalam. Apa kamu sudah melihatnya?” Dipta berkata ketika aku selesai mengisi air. Kutatap Dipta seraya menjawab, “Sudah.” Tentu saja aku sudah melihatnya. Rasa penasaranku tidak bisa kubendung begitu notifikasi email baru masuk pada iPad-ku. Dalam foto prewedding, Melani nampak sangat cantik dengan balutan gaun berwarna putih yang sukses menutupi kehamilannya. Pernikahan Dipta dan Melani sendiri akan diselenggarakan satu pekan lagi. “Kabari aku jika kamu akan datang. We’ll reserve special room for you.” “Aku akan datang.” Semalam, aku sudah bertekad akan datang untuk menyaksikan pernikahan Dipta dan Melani. Aku ingin melihat wajah-wajah siapa saja yang mendukung pernikahan sepasang sahabat itu. “Aku tunggu.” Dipta menjawab dengan senyuman lebar, nampak puas. “Itu artinya, kamu akan tetap berada di dalam pernikahan ini, bukan?” “Kita lihat saja nanti,” jawabku, sebelum melangkah menjauhi dispenser dan menuju meja makan. Aku duduk di salah satu kursi pada meja makan minimalis lalu meraih sebuah pisang. Aku mulai menyantapnya sebagai sarapanku pagi ini. Tak lama, Dipta menyusulku di meja makan membawa serta minuman dan roti panggang yang dibuatnya. Pria itu turut duduk di salah satu kursi, tepat di seberangku. Untuk beberapa waktu kami saling terdiam, menikmati makanan kami masing-masing. Hingga akhirnya ketika aku selesai menyantap pisang milikku, Dipta kembali berbicara. “Nanti malam, Mama mengundang makan malam.” “Mama belum memberitahuku,” sahutku. Biasanya, jika ada acara keluarga, Mama Saras-ibu mertuaku akan mengabariku juga, meski hanya melalui chat. “Aku juga baru di-chat barusan. Mungkin Mama belum sempat kabari kamu.” Aku mengangguk pelan, lalu berdiri dari duduk. “Aku harus ke butik sekarang,” pamitku sekadar basa-basi. Bukan aku ingin menghindari pembicaraan dengan Dipta. Tetapi aku memang benar-benar sibuk. “Baik lah, sampai bertemu nanti malam,” kata Dipta yang hanya kuangguki. … Kukendarai Jazz merah milikku menuju butik yang kudirikan tiga tahun silam. Hari ini aku cukup sibuk. Selain bertemu dengan klien dari Jayapura, aku harus menyiapkan berbagai hal untuk pagelaran fashion show dua bulan lagi. Tiba di butik, Pak Rahmat-sekuriti butik menyambutku dengan ramah. Tentu saja, baru aku seorang yang datang ke butik ini, karena para stafku baru akan mulai bekerja pukul sepuluh pagi. Aku segera menuju ruanganku di lantai dua dan mulai bekerja. Memeriksa email masuk, mengecek jadwal kegiatan hari ini dan mencari contoh kain yang akan kutunjukkan pada klienku nanti. Pukul dua siang, tepat tiga puluh menit setelah klienku undur diri, aku meninggalkan butik untuk menemui kedua sahabatku, Nadia dan Indah di salah satu restoran Sunda. Aku berencana berbagi cerita pada mereka berdua mengenai pernikahan Dipta dan Melani. Aku mengabari keduanya di grup w******p yang hanya beranggotakan kami bertiga. Aku tersenyum dan berjalan mendekat ke meja Nadia dan Indah yang sudah lebih dulu tiba di restoran. “Kangen sekali,” ucap Indah ketika kami berpelukan singkat. “Terakhir minggu lalu kan, kita kumpul?” sahut Nadia yang tak lupa menjawit hidungku setiap kali kami bertemu. “Nggak apa-apa jarang kumpul. Yang terpenting komunikasi kita tetap jalan,” sahutku yang mengambil tempat di sisi Indah. Tak lama begitu aku duduk, makanan khas tanah Sunda dihidangkan oleh pelayan restoran. Kami menikmati makan siang yang kesorean dengan khidmat sembari sesekali mengomentari rasa makanan. Barulah setelah makanan telah habis disantap, kami mulai berbincang. “Dipta akan menikah dengan Melani minggu depan,” beritahuku pada Nadia dan Indah yang seketika membuat keduanya syok. “Apa?” “Ini kita nggak salah dengar kan, Sekar?” tanya keduanya hampir bersamaan. “Iya, kalian nggak salah dengar. Semalam Dipta memberitahuku akan menikah dengan Melani, minggu depan di Bali. Aku diundang, dan aku akan datang ke sana.” “Sebentar. Gimana ceritanya, Dipta mau menikah dengan Melani sedangkan dia berstatus suami kamu sekarang? Dipta ini mau kayak si Adi yang ada di n****+ Orang Ketigaku?” tanya Indah dengan ekspresi tak percaya sekaligus kesal. “Terus kamu setuju-setuju saja Dipta mau menikah lagi, Sekar?” kali ini Nadia yang mengajukan pertanyaan padaku. “Kenapa kamu nggak berpisah saja dari si Manusia Kutub itu?” “Ini lah yang membuatku dilema sekarang. Aku jelas nggak akan mungkin bisa membatalkan pernikahan mereka. Sedangkan jika harus bercerai sekarang, rasanya aku juga belum sanggup.” “Kenapa?” “Kenapa memangnya, Sekar?” Tanya Indah dan Nadia lagi-lagi dengan bersamaan. “Mau diletakkan di mana wajahku jika orang-orang tahu, baru beberapa bulan menikah aku dan Dipta berpisah. Aku belum siap, Indah, Nadia. Paling tidak satu tahun, mungkin aku sudah siap, sesuai kesepakatan kami dengan Mama Saras dan Ibuku.” “You’re still virgin, right?” tanya Nadia sedikit menuntut. “Of course, Nadia. Aku bahkan belum pernah melihat bentuk kamar Dipta seperti apa.” “Kalau begitu, tunggu apalagi? Kamu belum pernah disentuh oleh Dipta. Dia juga tidak pernah kooperatif untuk mempertahankan pernikahan kalian. Jadi buat apa kamu bertahan?” Nadia berkata dengan berapi-api. Nampak sekali gadis Minang ini menginginkan perpisahan antara aku dan Dipta. “Memangnya kenapa Dipta tiba-tiba akan menikahi Melani? Bukannya selama ini mereka cuma bersahabat?” kali ini Indah yang bertanya. “Melani hamil sudah empat bulan. Dan menurut Dipta, mereka melakukannya tanpa sengaja,” kataku antara jijik dan kecewa karena tak menyangka Dipta akan berbuat sejauh itu dengan Melani. Atau mungkin aku yang terlalu polos, karena menganggap Dipta adalah anak Mama-anak baik-baik. “Dan kamu masih akan bertahan, hanya karena malu menjadi janda, Sekar?” Nadia menggelengkan kepala. “Jangan pertaruhkan masa depanmu, terlebih mentalmu dengan tetap berada di pernikahan ini. Kamu cantik, berpendidikan dan dari keluarga terhormat. Kamu berhak mendapat suami yang mencintaimu dan menjadikanmu satu-satunya ratu di istananya!” “Aku setuju dengan Nadia. Kamu berhak bahagia dan dicintai sepenuh hati, Sekar. Pikirkan lagi segala sesuatunya. Janda bukan sesuatu yang hina, ketika kamu tetap bisa menjaga martabatmu sebagai seorang wanita.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD