Di sebuah gerbong kereta kelas ekonomi tanpa pendingin ruangan, yang sesak
oleh penumpang, tampak seorang gadis berusia delapan belas tahun, menyeka
keringat di dahinya dengan punggung tangannya yang kotor.
Gadis itu sangat manis kalau saja tidak berpenampilan kumuh dan kusut. Tampak dengan jelas, pada sorot matanya tersimpan ketakutan dan keputusasaan.
Dia harus menjalani hari-harinya dengan berlari dan terus berlari menjauhi kota Metropolitan, tempat dia lahir dan bersekolah sebelumnya, di mana dia tinggal hanya berdua dengan ayahnya yang sangat menyayanginya setelah ibunya meninggal tiga tahun lalu karena kanker yang di deritanya.
Setahun sudah dia jalani pelarian itu, saat ini dia telah sampai di ujung pulau tanpa uang, tanpa pekerjaan yang bisa dia lakukan untuk menyambung hidup, hanya bergelandang tak tentu arah berbekal dua helai baju ganti yang di terimanya dari seorang pengemis di kota yang pernah di
laluinya karena merasa simpati kepadanya.
Turun dari kereta, dengan kebingungan dia mengikuti orang-orang keluar gerbang stasiun, celingukan tidak tahu harus kemana.
Seorang ibu berusia sekitar lima puluh tahunan, menyapa gadis itu,
"Kamu mau kemana Nak?" Dengan mata penuh selidik, siapa gadis manis di depan stasiun yang belum pernah dilihatnya itu.
"Saya ... saya tidak tahu bu." Jawab gadis itu sambil menunduk, menyembunyikan perasannya yang tiba-tiba merasa sedih.
"Rumah kamu di mana? kamu bukan asli sini kan?" Tanyanya lagi.
Dia menggeleng lemah, wajahnya makin menunduk karena takut air matanya
terlihat oleh ibu itu.
"Dari kota Metropolitan." Jawabnya hampir berbisik.
"Sini ikut ibu." Wanita setengah baya itu menarik tangannya, di bawanya menyebrang jalan, melewati warung makan kecil.
Tepat di belakang warung itu ada rumah kecil yang dalamnya tampak berantakan juga banyak debu hinggap di perabotannya.
"Siapa namamu?" Tanya ibu kepadanya,
"Anne bu." Jawabnya mantap.
Dia telah meninggalkan sapaan dari bagian depan namanya yang biasa keluarga dan
teman-teman memanggilnya yaitu Desi. Nama lengkapnya adalah Desiane.
"Panggil saya Ibu War. Kamu mau kerja di sini? di tempat ibu?" Ibu War menawarkan pekerjaan untuk menjaga warung makannya.
Desiane mengangguk dengan sangat cepat. Ibu War merasa lega. Dia dengan mata hatinya telah menilai kalau gadis ini gadis yang baik, lugu dan masih polos.
Entah kenapa dia pergi dari keluarganya biarlah nanti sambil berjalan mencari tahunya. Pikir Ibu War.
"Sini ibu tunjukin kamar kamu." Katanya seraya bangkit dari tempat duduknya. Ibu War membawa Desiane ke belakang, persis di samping dapur ada ruangan kecil yang hanya cukup untuk satu kasur tipis dan lemari kecil.
Kalau pintu di buka, hanya bisa membuka setengahnya saja, sebab membentur
pinggiran kasur yang di gelar di lantai.
"Kamu tidur di sana, sekarang simpan
gembolanmu itu, terus kamu mandi dulu di situ." Jarinya menunjuk kamar mandi
sederhana yang posisinya di halaman belakang di depan pintu keluar dapur.
"Setelah mandi, kalau kamu mau tidur, tidur aja dulu, sore bantuin ibu cuci piring
di sana." Kembali jarinya menunjuk cucian piring yang menumpuk di sebelah
kanan dapur itu.
"Pakai handuk warna kuning itu." Seraya menunjuk ke arah jemuran sebelah kiri dapur di halaman belakang itu.
Desiane mengangguk,
"Terima kasih bu." Ucapnya dengan penuh syukur.
Ibu War kembali ke warungnya di depan rumah mungil itu. Desiane segera meraih handuknya, rasanya sudah lama dia tidak mandi dengan layak.
Air yang segar dan banyak itu telah membuat Desiane merasa bersih dan segar. Dalam diam, Desiane mulai mengerjakan mencuci piring yang seabrek, lanjut mencuci tumpukan baju, setelah itu dia merapikan dan membereskan rumah, menyapu dan mengepel lantai sampai benar-benar bersih.
Desiane merasa lelah, Tubuhnya sudah tidak mampu berkompromi, sebelumnya
dia telah berjalan kaki sejauh puluhan kilo meter dalam keadaan lapar.
Desiane masuk ke kamarnya dan ambruk menimpa kasur tipis di depannya. Dia langsung tertidur dengan perut kosong.
Empat jam berlalu, Ibu War memasuki rumah dan terkejut melihat rumahnya sangat bersih sampai dia tidak tega untuk
menginjakkan kaki kotornya di lantai rumah.
Dengan heran dia melihat keseluruh
perabotan di dalam rumah, benar-benar bersih tanpa debu. Melangkah pelan-pelan masuk menuju dapur sambil matanya berkeliling melihat ke seluruh bagian
rumahnya.
Dapurnya rapi, semua peralatan yang tadinya berserakan, sudah menempati tempatnya masing-masing. Dia melihat ke dalam kamar kecil itu, tampak kaki Desiane menjulur keluar pintu. Dia sedang tertidur dengan nyenyaknya.
Ibu War keluar ke halaman belakang. tidak ada satupun cucian yang tertinggal. halaman juga bersih dari sampah-sampah plastik, dan jemuran penuh padat dengan pakaian-pakaiannya. Ibu War berdecak kagum. Sangat puas dengan hasil kerja gadis yang dia temukan di depan stasiun itu.
Tiba-tiba dia teringat kalau dia belum memberi makan pada Desiane.
"Kasian anak itu, pasti lapar dan capek." Gumamnya. Tapi dia tidak tega membangunkan Desiane.
"Biarlah dia tidur dulu." Kembali dia bergumam sebelum kembali ke warungnya di depan.
Dua hari kemudian, Desiane gelisah di dalam tidurnya. Mimpi buruk yang dialaminya membuat dia bercucuran keringat, mimpinya bukan sekedar
mimpi bunga tidur, namun sebuah tayangan slide dari peristiwa buruk yang
pernah di alaminya satu tahun yang lalu.
“Jangaann ... saa sakiiit, sakiiiit ... sakiiiitt, tolong jangaaann ... Sakiiit.” Desiane
melengkungkan tubuhnya, kedua tangannya memegang area kewanitaannya, air mata mengucur deras dari ke dua matanya yang terpejam.
Ibu War tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya, wajahnya tampak cemas karena
terbangun oleh rintihan kesakitan dari kamar Anne yang bersebelahan dengan
kamarnya.
Melihat Anne yang membungkukkan badannya sambil menangis dan terus
mengerang kesakitan, sontak membuat Ibu War meraih Anne dan berusaha
mengeluarkannya dari kamar sempit itu dengan cara setengah di gusur.
“Ne, Anne, bangun nak, bangun ... Anne, bangun." Ibu War menepuk-nepuk pipi Anne. Tidak lama Ibu War bangkit mengambil segayung air dari ember besar untuk keperluan memasak.
Lalu tangannya yang basah mengusap wajah sampai kepala Anne, terus menerus,
sampai bahu dan d**a Anne basah kuyup.
Anne terbangun dengan gelagapan, hampir tidak bisa bernafas.
Lalu kebingungan, kenapa dia dan Ibu War ada di lantai dapur. Melihat lantai yang
basah, Anne segera berdiri hendak keluar mengambil lap pel.
“Anne, tidak usah kamu pel sekarang, ikut ibu ke depan.” Ibu War benar-benar mengkhawatirkan Anne.
Anne mengikuti majikannya yang baik hati itu ke ruang tengah. Ibu War menyuruh Anne duduk,
“Duduklah, jangan kemana-mana, Ibu bikin teh dulu.” Ibu War melangkah menuju dapur.
Desiane memejamkan matanya, mimpi tadi sangat terasa nyata, dia menggigil.
“Sampai kapan rasa sakit itu akan terus kurasakan ya Tuhan ....” batinnya.
Tidak lama Ibu War datang membawa dua cangkir teh panas, meletakkannya di
meja, lalu duduk di samping Desiane.
“Anne, suka tidak suka, mau tidak mau, kamu harus tetap menceritakan semua
yang terjadi sama kamu, kenapa kamu pergi dari rumahmu dan lainnya kepada
Ibu.” Ibu War memandangi wajah Anne dengan tatapan lembut.
“Supaya hatimu lega, dan kamu tidak harus menanggungnya sendirian.” Lanjut Ibu War.
Desiane menangis mendengar perkataan majikannya itu. Rasa hangat menyusup
ke dalam pori-pori hatinya. Hanya saja dia bingung, dari mana harus memulai ceritanya.
Dia meneguhkan hatinya untuk berbagi pengalaman pahit hidupnya kepada orang
asing yang telah menampung dan mempekerjakannya. Dia terdiam cukup lama,
Ibu War dengan sabar menunggu sambil sesekali menyesap teh manis panas.
Kemudian mengambil cangkir teh yang dia buat untuk Desiane, lalu menyodorkannya ke tangan Desiane,
"Ini, minumlah selagi masih hangat, untuk membantu supaya tubuhmu merasa
nyaman." Ujar Ibu War, matanya yang ramah menatap Desiane sambil menganggukkan kepalanya.
Desiane yang merasa sangat tidak enak hati karena dilayani oleh majikannya, segera mengambil cangkir tersebut dari tangan Ibu War, mengucapkan terima kasih dengan lirih, lalu cepat-cepat meminumnya. Dia tidak ingin mengecewakan Ibu War.
Setelah meletakkan cangkir di meja, Desiane menarik nafas, benar saja tubuhnya mulai merasa rileks.
"Kejadiannya satu tahun yang lalu, waktu itu aku di jemput papa pulang sekolah,
lalu kami mampir ke Supermarket. Tapi papa gak ikut turun, hanya aku yang turun.
Di situ aku di mintai tolong oleh seorang wanita untuk membawa belanjaan yang
banyak banget ke mobilnya. Ternyata parkirnya jauh di belakang. Seingatku ada
pohon besar di sana, yang menghalangi mobil karena gak kelihatan dari arah
kami datang." Desiane menghela nafas. Mengingat-ingat detailnya saat itu.
"Setelah semua barangnya masuk ke dalam mobil bagian belakang, aku di dorong
dengan keras, di naikkan ke dalam mobil. Aku terkejut dan berontak, tapi kepalaku
di pukul dan aku tidak sadarkan diri." Desiane menguraikan air mata.
Rasa sakit di belakang kepalanya mendadak terasa. Dengan refleks tangannya memegang kepala dan berdesis,
"Sakit." Desiane meringis.
Butuh waktu beberapa saat sampai dia kembali merasa normal. Ibu War yang merasa prihatin, menunggu Anne pulih dari sakit bayangannya.
Sesuatu yang bagus untuk mengungkap biang keladi kejadian di masa lampau
adalah dengan menceritakannya kembali.
"Saat aku sadar aku berada di sebuah ruangan yang pengap dan bau bangkai."
Desiane menangis mengingat kondisi ruangan tempat dia disekap dan disiksa.
"Seorang wanita ada di sana, dari suaranya aku ingat, wanita itulah yang memukul
kepalaku. Tapi aku gak bisa bangun karena kepalaku pusing sekali." Lanjut Desiane.
"Wanita itu memakai topeng, wajah di topeng itu, topeng itu ... topeng itu adalah
wajah papaku ...." Kali ini Desiane menangis dan menjerit.
Dia sangat syok melihat topeng yang berwajah ayahnya. Ibu War memeluk Desiane dengan erat, wajah Desiane di tekannya pada bahunya, lalu mengelus kepala Desiane, mencoba menghantarkan rasa tenang dan nyaman kepada gadis itu.
Ibu War tidak mau menyudahi sampai di sini, meskipun sangat terlihat Desiane
begitu menderita mengingat kejadian pada saat itu.
Ibu War hanya menginginkan kesembuhan bagi jiwa Desiane. Dia menunggu sampai Desiane tenang kembali, lalu memintanya melanjutkan ceritanya.
"Aku terkejut melihat topeng berwajah papa, wanita itu tertawa, dia memegang besi pendek, menyuruhku untuk membuka rok dan celana dalamku, sambil mengancam akan memukulku dengan besi itu kalau aku menolak." Desiane mulai menangis lagi, rasa takut yang sangat, membayang pada sorot matanya.
Ibu War merasa sangat tidak tega, tapi dia merasa belum saatnya menghentikan cerita Desiane, karena klimaks dari peristiwa itu belum sampai.
"Setelah aku membuka rok dan celanaku, aku di suruh duduk dengan mengangkat
kedua kakiku ke atas. Dan ... dan ... tiba-tiba aku merasakan sakit yang teramat
sakit. Aku teriak-teriak berusaha berdiri, darahku berceceran, kemaluanku rasanya
sakit sekali. Aku ... aku ...." Belum selesai kalimat Desiane, dia merasakan dunia
berputar dengan cepat lalu jatuh terkulai tidak sadarkan diri.
Ibu War menitikkan air mata, dia bisa membayangkan semua perasaan yang
dialami Desiane pada waktu itu. Rasa marah membelenggunya. Nafasnya naik
turun. Perjalanan batin seorang gadis yang sangat berat untuk di tanggung pada usianya.
Ibu War menidurkan Desiane di atas sofa tempat mereka berbicara, menyangga
kepalanya dengan bantalan kursi, lalu beranjak untuk mengambil semangkuk air
dingin, waslap dan minyak kayu putih.