DUA

1576 Words
Hari ini tanggal satu Januari 2018. Resolusiku masih sama seperti tahun-tahun lalu: untuk membahagiakan Aksa, my husband. Pertengkaran sudah lama menghantui rumah kami dan aku tidak punya teman berbagi. Dengan buku catatan kecil ini, aku mencoba untuk mengutarakan perspektifku terhadap semua hal yang kurasakan. Aku... Aku tidak akan kaget jika catatanku penuh dengan kesedihan dan kemarahanku selama aku jadi istri Aksa. Tapi apapun alasannya, aku akan bertahan. "Eden? Apa ini?" Mama adalah teman Eden yang tidak pernah lelah memberikan perhatian padanya. Mama selalu percaya pada Eden. Mama mengerti bagaimana Eden tertekan hidup di bawah atap yang sama dengan anak tunggalnya. Mama... bukan ibu kandung Eden. Bukan perempuan yang membawa Eden ke dunia. Namun menjadi menantu Mama, Eden merasa memiliki ibu yang sesungguhnya. Perlahan, Eden menggeleng. Tubuhnya sangat lemah setelah dokter memberitahunya janin di rahimnya tidak berkembang dan harus segera melahirkan anaknya yang meninggal. Dengan dalih menunggu persetujuan suami, Eden meminta dokter untuk melakukan tindakan tersebut nanti saja. Tiga jam terlewati. Hanya Mama yang berada di sampingnya. Mama tidak mengatakan apa-apa tentang Aksa. Tapi Eden tahu, Mama sudah meneleponnya, dan Eden dapat menebak bagaimana reaksi Aksa mendengarnya keguguran. Suaminya pasti tidak percaya. Eden masih bersandar di atas tempat tidur rumah sakit. Begitu mendapat kabar dari pembantu Eden bahwa Eden kesakitan saat di kantor, Mama langsung mendatangi kantornya dan membawanya ke rumah sakit. Mama tidak mau ambil risiko dengan percaya bahwa Aksa akan datang dan meninggalkan Eden begitu saja. "Eden? Jawab Mama, Nak." Mama biasa tampil cantik dengan sasakan yang tinggi dan dress selutut dengan motif bunga-bunga. Itu sudah menjadi gaya berpakaian Mama sejak dulu. Namun hari ini, Mama memakai kemeja panjang dan celana legging. Rambutnya pun hanya diikat cepol begitu saja. Mama pasti buru-buru dari rumah karena khawatir, pikir Eden sedih. Mengapa Aksa tidak bisa seperti ini? "Eden!" Sekali lagi Mama memanggilnya. "Itu hanya..." Eden diam sejenak. "Tidak penting, Ma. Saat itu Eden marah sekali pada Aksa. Karena itu Eden menulis hal-hal yang tidak benar." "Are you sure?" "Don't worry, Ma." Eden memaksakan senyum di hadapan ibu mertuanya. "I am okay." "Eden, sebenarnya Aksa..." "Apa, Ma?" Mama memandangnya lama, namun memilih untuk menjawab, "Tidak. Tidak penting. Mama akan panggil dokter. Mama tidak mau kamu menahan sakit lebih lama lagi." Aku tahu apa yang ingin dikatakan Mama, pikir Eden. Mama pasti ingin memberitahuku bahwa Aksa tidak sedang sibuk dan dia... Dia di luar negeri. Bersama perempuan yang tak lain simpanannya. Aku tidak tahu di mana mereka bisa bertemu, bagaimana mereka... dan siapa... Aku tidak bisa berpikir apa-apa. Di bawah sana terasa sakit. Sakitnya tidak tertahankan. Setelah ini apa, Eden? Kamu akan pulang ke rumah itu? Rumah tempat kamu menunggu suamimu lima bulan terakhir? Kamu tahu dia takkan pernah kembali. Setelah semua ini... Ya, setelah semua ini, aku akan kehilangan sebagian hidupku. Aksa akan menceraikanku. Aku tidak bisa bertemu lagi dengan Mama. Aku... Entah kenapa, aku bisa bayangkan Aksa akan menikah lagi. Dan semua perhatian yang Mama curahkan padaku saat ini akan berpindah pada perempuan itu. Andai saja aku bisa memberitahumu betapa sakitnya keguguran begini, Aksa. Andai saja kamu tahu aku sedih harus kehilangan anak kita-atau katakan saja begitu. Andai saja kamu tahu aku merasa gagal tidak bisa memberikan apa yang kamu mau. Setelah melahirkan, Eden meminta pulang. Dia tidak betah berada lama-lama di rumah sakit. Mama mengatakan pada Eden bahwa Mama sudah siap untuk memesan kamar VVIP sampai kesehatan Eden betul-betul membaik. Mama tidak mau Eden di rumah lalu tak ada yang merawat dan menjaganya. "Kan ada Bibi, Ma," kilah Eden lemas. "Eden! Bibi tahu apa selain masak dan bersih-bersih rumah?" Mama menyemprotnya. "Eden, Mama tetap ingin kamu di sini." "Maaf, Ma, Eden mau di rumah saja. Eden tidak nyaman di RS." "Baiklah. With one condition, Mama ikut tinggal di rumahmu." "Apa Mama yakin?" "Kenapa tidak? Mama mengurus Aksa seorang diri sejak dia kecil. Tidak menggunakan babysitter. Menjagamu juga tidak akan sulit bagi Mama." "Eden tidak mau merepotkan Mama." "Kamu menantu Mama, Eden. Mama sudah menganggapmu sebagai putri Mama sendiri. Selain itu, Mama geram sekali pada Aksa. Mama tidak ingat pernah mendidiknya menjadi orang yang irresponsible seperti itu." Eden akhirnya setuju dengan keinginan Mama untuk tinggal bersamanya. Eden berkali-kali mengatakan dia tidak mau memusingkan ibu mertuanya dengan masalahnya, namun Mama juga bersikeras untuk tidak peduli dengan keberatan yang disampaikan Eden. Perjalanan ke rumah dari rumah sakit memakan waktu setengah jam. Walau begitu Eden merasa waktu terasa lama. Rumah. Sejak pertengkarannya dengan Aksa tak pernah sekali pun meninggalkan rumah itu. Ia menunggu kepulangan suaminya. Dikiranya pertengkaran itu hanya angin lalu yang segera lupakan dan mereka akan kembali berdamai seperti sedia kala. Sambil menahan sakit di perutnya, Eden berdoa, agar bisa bertemu Aksa sesampainya di rumah. Kecewa muncul di permukaan wajahnya ketika ia hanya disambut Bibi. Dan Bibi mengatakan bahwa Pak Aksa belum juga pulang. Didengarnya decakan Mama. "Anak itu! Ya sudahlah, Eden, kan ada Mama. Sekarang kita ke kamarmu." Mama memapahnya sampai ke kamar dan membantu Eden untuk telentang di atas tempat tidur. "Pasti sakit sekali. Kamu tahu, sebelum Mama hamil Aksa, Mama dua kali keguguran. Rasanya... Aduh, menyebalkan sekali, tapi tak ada yang bisa kita lakukan selain bersabar." Eden mengangguk. "Terima kasih banyak ya, Ma." "Mama mau telepon asisten Mama dulu ya untuk mengepak barang Mama dan membawanya ke sini. Kamu istirahat saja dulu." Seminggu di bawah pengawasan Mama, Eden tak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak diperbolehkan membuka laptop-nya. TV pun tidak boleh dinyalakan. Dia hanya boleh tidur, makan, tidur, dan begitu seterusnya. Eden merasa bosan. Sampai ada telepon dari Rashid di tengah ia melamunkan suaminya. Rashid adalah teman kecilnya. Mereka sama-sama dibesarkan di panti asuhan. Bedanya, Rashid diadopsi saat keduanya berusia sepuluh tahun. Kemudian mereka bertemu lagi secara kebetulan saat melamar kerja di kantor konsultan pajak yang sama. Hubungan mereka dekat. Hanya sebatas teman saja. Rashid yang playboy dengan tampilan necis: rambut cepak yang di-gel, kumis tipisnya yang selalu dicukur rapi, dan wanginya yang semerbak sungguh berbeda dengan Eden. Eden sebagai wanita tidak terlalu mengeluarkan s*x appeal­-nya. Rambutnya pendek sebahu. Pakaian kerjanya pun hanya sebatas blouse dan celana panjang. Tak pernah dia memakai mini dress yang mengundang lawan jenis untuk tertarik padanya. Selain itu, Aksa selalu melarangnya untuk berpakaian yang menurutnya tak pantas. Rok pendek, salah. Pakaian ketat sedikit, salah. "Kamu itu cantik, Eden. Kulitmu yang kuning langsat. Dahimu yang bebas kerutan. Kakimu yang mulus dan panjang. Senyummu yang manis setiap bibirmu tersungging.... O, Tuhan. Jangan pakai baju yang aneh-aneh!" Biasanya Eden tersipu saat suaminya memuji terselubung begitu. Tapi kini Eden muak. Jika suaminya memang menganggapnya cantik, kenapa pergi dengan perempuan lain? "Halo, Rashid," kata Eden di ponselnya. "Are you ok? I have not seen you for a week!" "Haven't you got my message? I am on medical leave." "Kamu tidak pernah sakit, Eden. Ada apa?" Saat Eden keguguran Rashid memang sedang ditugaskan di luar negeri. Namun Eden tahu, pasti Rashid sudah mendengar dari orang kantor bahwa Eden keguguran. "Rashid, aku lelah sekali. Jika tidak ada urgent matters, sebaiknya aku tutup." "Okay get some rest, Eden. Bye." Eden menaruh ponselnya lagi di meja samping tempat tidur. Walaupun sudah seminggu, dia masih merasa sakit di bawah perutnya. Eden memejamkan matanya dan tidur. Mimpinya samar-samar. Dia berada di tanah yang lapang dan melihat Aksa berdiri jauh darinya. Dia memanggil Aksa berulang-ulang, namun sosok Aksa semakin buram dan tak jelas. "Aksa!" "I am here." Cepat-cepat dibukanya matanya dan ia memperoleh kesadarannya. Dipeluknya suaminya yang duduk di tepi tempat tidur. Sudah berapa lama Aksa di sini? Apakah tadi Eden mengigaukan namanya? Eden tidak peduli. Eden terus memeluk suaminya. "Sweetheart, aku rindu sekali." Eden melepaskan pelukannya setelah sekian lama. Dipandanginya Aksa. Dan dia sedih ketika melihat suaminya yang begitu datar. "Mama memaksaku untuk datang." Oh, jadi karena mamamu kamu di sini, pikir Eden geram. Jika bukan karena Mama, lantas kamu tetap bersama simpananmu, begitu?! Tapi Eden berusaha untuk tampil tegar. Bersikap seolah-olah jawaban Aksa tidak melukai hatinya. "Saya tidak tahu permainan apa yang kamu tunjukkan pada Mama, Eden, tapi saya ke sini untuk memberitahumu bahwa saya sudah selesai denganmu." "I don't know what you're saying." Mama muncul di pintu dan menyela perbincangan mereka, "Eden, Mama tidak mengerti. Kata dokter usia kandunganmu enam belas minggu. Sementara kata Bibi, Aksa sudah pergi dari sini sejak lima bulan yang lalu. Apakah kalian..." Aksa tersenyum masam pada Eden. "Bisa kamu jelaskan semua ini, Eden?" Dilihatnya Eden diam saja. Ekspresi Eden pun tak berubah sedikit pun. Aksa kemudian berdiri mendekati ibunya, "Biarkan ini menjadi urusan saya dengan istri saya, Ma. Sebaiknya Mama pulang. Saya tidak akan menyakiti Eden jika itu yang Mama khawatirkan." "Aksa, Mama tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tapi satu hal, Nak, Mama tidak pernah menuntut cucu dari kalian. Mama tidak pernah menuntut ini-itu. Apapun yang terjadi, jangan sampai ada perceraian." "Kalau begitu Mama ingin kami terus bertengkar." "Jika memang harus begitu, ya biarkanlah." "Biarkan Aksa bicara dengan Eden berdua saja, Ma." Sebelum Mama pergi dari hadapan putranya, Mama sempat menatap Eden yang diam saja di atas tempat tidur. Eden tersenyum sedih, hanya untuk meyakinkan ibu mertuanya bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu setelah Mama tidak ada di antara mereka, Aksa menutup pintu. Dihampirinya istrinya. Eden sudah siap jika ia ditampar. Eden sudah siap mendengar makian suaminya. Eden sudah siap dengan semua itu. Didengarnya helaan napas panjang suaminya. "I guess we're trapped in this marriage. Let's make the best of it. Let's...." Rahang suaminya terlihat mengeras. "Let's pretend we are fine. Yes, we are fine. Even we are no longer in love like we were 15 years ago."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD