Sinar matahari menyelinap kedalam jendela kamar lelaki beralis tebal dan berwajah lembut itu. Ahmed mengerjap mengumpulkan kesadarannya. Setelah sholat shubuh dia bersandar di sofa dan membaca buku untuk menunggu siang. Dia tidak tidur lagi karena hari itu dia berencana untuk mengikuti seseorang yang hendak pergi menuju masadepannya.
“Astagfirulloh,” Lelaki itu bergegas turun dari sofa, disimpannya buku yang terjatuh itu keatas meja. Dengan secepat kilat dia mengambil handuk dan berlari menuju kamar mandi untuk melakukan rutinitas mandi singkat. Dia khawatir jika khadija sudah pergi dan dia akan kehilangan jejak. Setelah itu dia mengenakan pakaian santai, kaos putih dengan celana dibawah lutut, dia juga mengenakan sneaker berwarna putih, menyisir singkat rambut ikalnya dan memeriksa pantulan bayangan dirinya pada cermin besar yang terpasang dikamarnya.
Ahmed mengambil kunci mobil yang tergeletak diatas meja kecil didekat sofa bekasnya tertidur. Dia berlari turun menuju lantai bawah rumahnya. Di meja makan terlihat ibunya tengah menyuapi adiknya yang baru berusia empat tahun. Ahmed menghampirinya untuk berpamitan. Dia duduk disamping ibunya dan meneguk susu hangat yang sudah disiapkan pembantu rumah tangganya. Gelas kosong itu disimpannya kembali, sementara nasi goreng yang terlihat masih hangat sama sekali tidak disentuhnya.
“Mah, aku pergi dulu ada urusan sebentar,” ucapnya sambil mengambil lengan kanan ibunya dan menciumnya.
“Buru-buru sekali, mau kemana?” tatapan mata wanita itu penuh curiga, tidak biasanya anak lelaki kesayangannya berkelakuan seperti itu.
“Ada urusan Mah, mungkin pulang sore, assalamualaikum,” ujar Ahmed sambil berjalan meninggalkan ibunya. Punggung lebarnya menghilang dibalik pintu.
“Wa’alaikumsalam,” ujar Bu Wanda, ibunya Ahmed.
Pemuda itu bergegas mengemudikan mobilnya menuju rumah kecil Khadija. Dia hendak memastikan wanita itu masih berada di rumahnya atau tidak. Dengan kecepatan maksimal akhirnya dia sampai dalam waktu lima belas menitan ke halaman rumah sederhana itu.
Tok tok tok
“Assalamualaikum,” setelah keluar dari mobil, lelaki itu mengetuk pintu kayu itu dan menunggu jeda beberapa lama sampai ada suara seseorang yang menjawabnya.
“Wa’alaikumsalam.” Seorang wanita paruh baya keluar dan menatapnya heran, memang ini pertama kalinya dia berkunjung ke rumah Khadija.
“Khadija ada Bu?” ujar Ahmed.
“Maaf siapa ya?” kening wanita itu berkerut.
“Saya Ahmed Bu, temannya Khadija,” ujar Ahmed dengan tersenyum ramah.
“Dija sudah pergi hampir sepuluh menit yang lalu, dia tadi diantar Arsya naik motor.” Wanita itu memberikan penjelasan pada Ahmed.
“Pergi kemana Bu?” Ahemd memastikan.
“Dia mau kejalan utama, mau naik angkutan umum, Khadija mau mengontrak katanya biar dekat dengan tempat kerjanya,” ujar wanita itu memberikan penjelasan.
“Baik, makasih Bu informasinya, assalamu’alaikum,” Ahmed bergegas berlari menuju mobilnya yang terparkir. Dia memutarnya dengan tergesa dan menyusuri jalan kampung menuju jalan utama.
***
Arsya dan Khadija baru saja turun dari motor maticnya. Arsya memarkirkan motornya ditepi jalan dan membantu menurunkan barang Khadija dari bagasi motornya. Khadija membawa satu tas gendong yang cukup besar, satu tas jinjing dan satu kantong plastik bekal makanan buatan ibunya. Mereka berdua berdiri menunggu angkutan umum yang lewat jarang-jarang melintasi pertigaan tersebut.
“Kha, kamu beneran sudah bulat dengan keputusanmu? apakah kamu benar-benar tidak menyesal menolaknya?” Arsya kembali memastikan sesuatu yang sudah ditanyakannya sejak tadi.
“Hmm, biarkan waktu yang menjawab Sya, aku sedang mencoba ikhlas menerima takdirku,” senyum tipis menghiasi wajah Khadija sambil menatap kearah jalan, menatap satu persatu kendaraan yang berlalu lalang.
“Kalau dia berkeras mengejarmu, apakah kamu akan berubah pikiran?” Arsya kembali menelisik.
“Yang nanti terjadi kita belum tau, pikiran bukan benda mati yang bisa aku bilang tidak akan berubah, semua aku serahkan pada Allah dan takdirku, kenapa dari tadi kamu menanyakan terus hal itu?” Wajah Khadija menoleh kearah wanita yang sudah dia anggap lebih dari sekedar sahabat itu.
“Hmm, eng engga ada maksud apa-apa,” Arsya tergagap menjawab pertanyaan yang dilontarkan Khadija.
“Sya, itu angkutan umumnya sudah datang, aku pergi dulu ya, semoga bisa berjumpa dilain waktu dengan keadaan yang lebih baik,” Khadija memeluk Arsya dan memejamkan matanya. Hatinya merasa sedih harus berpisah dengan satu-satunya orang yang dianggapnya adalah sahabat terbaiknya.
“Assalamu’alaikum.” Khadija melepas pelukan kepada sahabatnya itu. Dia mengangkat semua barangnya dan masuk kedalam angkutan umum yang sudah berhenti tepat didepannya.
“Wa’alaikumsalam.” Arsya menatap punggung sahabatnya yang sudah masuk kedalam angkutan umum dan melaju meninggalkannya.
Gadis itu menghampiri motor maticnya dan memutar balik untuk kembali ke kediamannya. Namun belum mulai dia melajukan motornya dari arah jalan kecil itu terlihat mobil yang melaju cepat menuju kearahnya. Seketika mobil itu berhenti didepannya dan kacanya terbuka.
“Sya, angkot Khadija yang itu ya?” Ahmed memastikan kepada wanita yang tengah berdiri mematung menatapnya. Dengan mata masih membulat sempurna Arsya mengangguk spontan.
“Makasih ya Sya,” kaca mobil itu tertutup kembali dan melaju menyusul angkot yang berjalan perlahan sambil mengumpulkan penumpang.
Tarikan nafas Arsya menandakan ketidakmampuannya untuk menghentikan seseorang yang dikaguminya mengejar cintanya. Matanya masih terpaku menatap mobil Ahmed yang semakin mejauh, tiba-tiba ada tetesan bening meleleh membasahi pipinya. Dia menengadahkan wajah keatas untuk menghalau tangisnya. Terasa begitu menyakitkan melihat seseorang yang dia harapkan untuk menjadi imamnya dimasa depan mengejar wanita lain.
“Kak, perlahan-lahan aku akan merebut hatimu,” gumamnya dalam dada, sambil memejamkan mata memeras sisa cairan bening yang menggenang dikedua kelopak matanya.
Arsya melajukan sepeda motornya kembali menyusuri jalan yang dilaluinya tadi. Sesampainya di pertigaan jalan kampung dia berbelok tidak menuju ke rumahnya akan tetapi dia hendak menuju kediaman Bu Wanda untuk sekedar memastikan apakah wanita itu mengetahui kemana anaknya pergi.
Sementara mobil yang dikendarai Ahmed kini sudah tepat dibelakang angkot Khadija. Beberapa kali Ahmed memijit klakson agar angkutan umum itu berhenti. Setelah beberapa lama mengikuti, akhirnya angkot itu menepi. Ahmed meminggirkan mobilnya dan berlari keluar.
“Kha, aku anter ya,” lengan Ahmed memegang pintu angkutan umum yang terbuka. Khadija menatap sekilas lelaki yang ada didepannya itu.
“Kakak mau nganter aku? apakah ibu kakak mengijinkannya?” Khadija spontan bertanya.
“Ibu, maksudnya?” Ahmed mengerutkan kening keheranan, dia sama sekali tidak tahu perihal yang dilakukan oleh Bu Wanda ibelakangnya.
“Mas, Mba, angkot saya mau narik, cepetan mau turun atau engga, saya kehilangan penumpang nih,” protes pengemudi angkutan umum memecah percakapan mereka.
“Maaf Pak, ayo Kha turun,” Ahmed meraih barang bawaan Khadija dan memaksa gadis itu turun. Karena tidak enak dengan pengemudi angkutan umum, akhirnya gadis itu mengikuti ajakan Ahmed.
“Ini pak, maaf kalau membuat Bapak kehilangan penumpang,” ujar Ahmed sambil menyodorkan uang dua puluh ribuan kepada sopir tersebut yang disambut dengan mata berbinar.
Kini tinggalah mereka berdua, Ahmed mengajak Khadija berpindah ke mobilnya. Sambil membantu membawakan barang bawaan Khadija dia menatap gadis itu yang masih menunduk. Khadija membuka pintu depan dan duduk di kursi samping kemudi.
“Maksudnya apa tadi Kha, ijin dari ibuku?” Ahmed menelisik, tatapannya meminta jawaban atas pernyataan gadis yang kini sudah duduk disampingnya.