Khadija sudah mengabari Khalima kalau sore itu dia pulang telat, keinginannya untuk daftar kuliah sudah bulat. Kebetulan kata Azmi pendaftaran penerimaan mahasiswa kelas karyawan gelombang kedua sudah dibuka. Khadija meminta Nayya untuk menambah menjadi dua hafalan doa wudhu dan meminta maaf pada gadis itu karena malam itu tidak bisa mengajarinya.
Pertemuan hari kemarin dengan Azmi sepertinya sudah merupakan salah satu jalan Allah untuk memudahkannya. Terbukti hari ini, Khadija sangat terbantu dengan kehadiran Azmi. Sepulang kerja Azmi dengan senang hati mengantarnya, kebetulan kampus yang bisa ditempuh dengan waktu tiga puluh menit dari pabriknya itu ada kelas malam karyawan juga, jadi untuk sekedar mengambil formulir pendaftaran pastinya bisa.
“Makasih ya Mas Azmi,” ucap Khadija setelah mereka keluar dari sekretariat.
Formulir pendaftaran mahasiswa baru, sudah Khadija bawa. Dan untuk penyerahannya nanti bisa pada hari sabtu ketika sedang off kerja.
“Sama-sama Dija, tapi kamu keren ya, bisa cepet ambil keputusan,” Azmi memuji gadis itu sambil memberikan helm padanya. Suasana halaman kampus sudah ramai dengan para mahasiswa kelas karyawan yang baru pada datang.
“Karena aku tidak memiliki alasan apapun untuk menundanya,” ucap Khadija singkat sambil mengenakan helm.
“Ayo, aku lapar nih kita makan dulu yuck,” ucap Azmi.
“Ok Mas, aku juga laper,” ucap Khadija sambil naik ke sepeda motor Azmi. Mereka melaju meninggalkan kampus yang akan menjadi pelabuhan Khadija, pelarian patah hati remaja masa kini.
Mereka menuju pulang, sepanjang perjalanan obrolan ringan mereka sekitar pekerjaan dan kuliah. Khadija begitu antusias dengan kegiatan barunya yang akan menyita banyak waktunya. Baginya itu lebih baik daripada sendiri dan berlarut dalam kepedihan. Sesuatu yang selalu hati kecilnya ingkari untuk mengikhlaskan.
Azmi memilih sebuah rumah makan sunda yang sedang, bisa dijangkau oleh sekelas karyawan. Lelaki itu bersahaja, tapi tetap bisa memperlakukan wanita dengan baik. Dia memilih tempat yang nyaman untuk mereka makan. Pastinya saung lesehan merupakan tempat favorit bagi Khadija karena dia bisa selonjoran dan bersandar santai.
Tak lama seorang pelayan menawarkan menu, Azmi menawarkan Khadija untuk memilih namun seperti biasa dia tidak rewel, dia meminta Azmi memesan satu porsi yang sama untuknya. Azmi memesan dua porsi nasi timbel dengan satu ekor ayam bakar lengkap dengan lalapan, sayur asem, tahu tempe dan sambal. Minumnya es teh manis, dan Khadija minumnya teh manis hangat. Gadis itu bukan penyuka minuman dingin.
Mereka berdua tengah asyik mengobrol ketika tiba-tiba suara yang dikenal Khadija menyapanya.
“Dija,” Khadija menoleh, dan ternyata lagi-lagi dunia sempit itu mempertemukannya dengan putra sang pemilik kontrakan.
“Eh Kak Rasyid, lagi ngapain disini?” tanya Khadija menatap Rasyid heran.
“Kamu tuh, ya makanlah, masa orang pergi ke rumah makan mau belanja bahan bangunan,” Azmi menyela sambil menyenggol lengan Khadija sambil terkekeh, kebetulan duduk mereka bersebelahan. Keduanya sama-sama ingin melihat view yang sama soalnya.
“Ayo Bang kalau mau gabung,” Azmi memang supel dan mudah akrab, tanpa canggung dia menawari Rasyid untuk bergabung di mejanya.
“Oh iya kalau boleh,” dengan tidak tahu malunya mengganggu kebersamaan orang lain. Rasyid duduk di seberang Khadija. Kemudian lelaki itu memesan makanan kepada pelayan yang kebetulan melewati tempat mereka.
“Saya Azmi Bang, abang ini siapa ya?” Azmi membuka percakapan kembali setelah Rasyid memesan makanan.
“Dia Kak Rasyid, anak pemilik kontrakan tempatku Mas,” Khadija yang menjawab sambil tetap menikmati ayam bakar kecap dengan khidmat.
“Ohhh, soalnya wajahnya kayak pernah lihat,” Azmi mengangguk-angguk.
“Kamu memang pernah lihat saya dimana?” Rasyid mengerutkan dahi.
“Abang mirip salah satu personel band idola kampus XYZ tempatku kuliah,” ucap Azmi ringan sambil menuangkan lagi kecap kepada piring kecil Khadija. Rasyid mendelik melihat perlakuan Azmi terhadap gadis yang ada didepannya.
“Saya memang kuliah disana, sekarang dua semester terakhir, sedang penyelesaian skripsi, kamu saya lihat kemarin pakai seragam kerja?” jawab Rasyid.
“Saya kuliah sambil kerja Bang,” ucap Azmi sambil kali ini membantu Khadija mematahkan paha ayam yang sejak tadi kesulitan diambilnya.
“Uuuu ada yang laper banget nih,” Azmi mengerling kepada gadis yang tengah asyik makan tanpa memperhatikan mereka berdua. Lagi-lagi Rasyid mendelik tidak suka.
“Hai Merry!” tiba-tiba Azmi berteriak, memanggil seorang perempuan yang baru saja memasuki pintu rumah makan itu.
“Hai Azmi,” wanita itu berhambur menghampiri mereka. Rasyid masih belum menoleh, dia tengah fokus membalas chat pada poneslnya. Wanita itu berjalan menghampiri mereka.
“Lagi pada makan ya, eh kamu lagi ngapain disini Bie?” tiba-tiba wanita itu mengalungkan lengannya dipundak Rasyid yang membuat lelaki itu menoleh seketika.
“Merry?” raut muka Rasyid berubah, diliriknya gadis berkerudung yang tidak memperdulikannya.
“Biasanya panggil Umi, kho panggil nama sih sekarang,” wanita itu cemberut manja sambil duduk di sebelah Rasyid.
“Kalian saling kenal?” Azmi menatap Merry dan Rasyid bergantian.
“Iya, kan kuliah di kampus yang sama,” Rasyid mendahului Merry sebelum mengoceh terlalu banyak.
“Kho gitu sih Bie ngomongnya?” Merry mendelik sambil mencubit perut Rasyid.
“Mas aku udah selesai makannya, kita pulang yuck,” Khadija meneguk teh manis hangatnya. Azmi dengan sigap mengambilkan tempat tissue dan disodorkannya pada Khadija.
“Makasih Mas,” ucap Khadija.
“Merry, Bang Rasyid, kami duluan ya,” Azmi berpamitan sambil bergeser turun dan memakai alas kakinya. Khadija sudah selesai mencuci tangan dan sedang menunggu Azmi. Akhirnya mereka meninggalkan Rasyid yang masih melongo menatap kedua orang itu menjauh. Pikirannya tidak bisa bekerja dengan baik. Kepiawaiannya menaklukan wanita, patah oleh cueknya sikap Khadija terhadapnya. Sementara Merry memanggil pelayan dan memesan makanan, keberuntungan berpihak padanya karena akhirnya lelaki yang beberapa minggu ini susah sekali dihubungi karena alasan sibuk skripsi kini sudah ada disampingnya. Gadis itu bersandar manja di bahu Rasyid yang jiwanya masih belum kumpul sepenuhnya.
Khadija dan Azmi meneruskan perjalanan pulang. Sejak hari itu, gadis itu seperti menemukan kawan seperjuangan. Dia begitu antusias setiap bercerita dengan sahabat barunya itu. Mereka memiliki visi yang hampir sama, Azmi banyak memberikan masukan-masukan yang berarti.
Latar belakang keluarga Azmi yang dari orang biasa membuat lelaki itu memiliki pandangan yang jauh lebih dewasa daripada pemuda seumurannya, apalagi jika dibandingkan dengan Rasyid. Wajahnya yang tidak terlalu tampan menjadi tidak berarti ketika sikap supel dan wawasan luas menjadi pelengkap kepribadiannya.