Bab 18

1185 Words
“Tapi Gue yakin bisa menemukan celah agar pernikahan itu tidak akan pernah terjadi, sambil mengulur waktu, gue akan mengumpulkan bukti akan persekongkolan mereka, sebenci itukah mereka padamu Kha,” Ahmed memejamkan matanya membayangkan sosok gadis yang dimintanya untuk membuka hati untuknya. Perasaan bersalah menggelayutinya selama beberapa bulan terakhir, namun Ahmed belum memiliki keberanian, butuh bukti untuk mengungkapkan kalau dia memang tidak melakukan apa-apa pada malam itu. Pikirannya kembali menerawang kejadian dua bulan kebelakang. Mencoba kembali menghubungkan titik-titik dimana dia merasa dijebak dan akhirnya terpaksa untuk mengulur waktu dengan meminta kepada keluarga untuk bertunangan dulu. FLASHBACK Jumat malam beberapa bulan yang lalu Paman Ilham yang merupakan adik sepupu dari Bu Wanda menelpon Ahmed. Pemuda itu bergegas mengemudikan mobil, karena Paman Ilham memang memintanya datang dengan membawa mobil. Lelaki paruh baya itu memintanya mengantarkan sebuah mesin pompa air kepada rekannya. Ahmed yang baru saja pulang dari Bandung untuk menghabiskan weekend di rumah sebetulnya merasa sangat lelah, dan waktu sudah sangat sore, namun tidak enak jika harus menolak. Akhirnya selepas maghrib, mobil yang dikemudikannya tiba disebuah rumah yang ternyata itu rumahnya Arsya. Paman Ilham mengetuk pintu, tak lama kemudian ayahnya Arsya muncul dan mengajak Ahmed dan Paman Ilham untuk duduk di ruang tengah. Obrolan ringan terjadi sebentar, kedua lelaki paruh baya itu beranjak mencoba mesin pompa air itu di kolam belakang. Ahmed tadinya hendak ikut, namun rasa lelah yang luar biasa menahannya untuk tetap bersandar malas pada sofa ruang tengah. Selang beberapa menit, Arsya muncul membawakan minuman dingin, Ahmed segera meminumnya setelah dipersilahkan. Beberapa menit berlalu, kantuk terasa menggelayuti kelopak mata Ahmed. Perlahan sandaran itu menjadi semakin jatuh dan akhirnya tertidur. Mungkin karena efek kelelahan atau memang ada hal lain sehingga akhirnya lelaki itu tidak lagi sadar akan apa yang terjadi. Sampai sebuah gedoran keras membuat matanya mengerjap. Ada sesuatu yang aneh, ketika terbangun dia sudah berada di sebuah tempat tidur, padahal dengan kesadaran penuh sebelum akhirnya terlelap dia sedang bersandar di sofa ruang tengah. Dan lebih kaget lagi ketika dia menyadari ternyata tubuhnya sudah bertelanjang, hanya mengenakan celana pendek saja. Ada seorang gadis terbaring disampingnya, dan wanita itu ternyata Arysa. Ahmed melompat kaget ketika mendapati ayah Arsya dan Paman Ilham menatap tajam kearah mereka. “Ahmed, cepat pakai pakaianmu, kita pulang sekarang, Pak Anto, maafkan keponakan saya, kami pasti akan bertanggung jawab, kami akan segera menikhakan Ahmed dengan putri Anda, tapi mohon jangan sampai aib ini tersebar, jangan sampai nama keluarga besar kami hancur pak.” Itulah kalimat yang terucap dari mulut Paman Ilham. Ahmed tak bisa berfikir jernih, bahkan dia tidak menyadari jika gadis yang terbaring disampingnya masih mengenakan pakaian lengkap hanya saja tidak lagi mengenakan jilbab. Dia terlalu panik akan hal yang tidak pernah diduganya. Sementara gadis itu menutup wajahnya menggunakan bantal. Ahmed tidak bisa menangkap ekspresi wanita yang sedang menyembunyikan wajahnya itu. Apakah dia sedang senang ataukah sedih. Sepulangnya dari rumah Arsya, Paman Ilham mengumpulkan kedua orang tua Ahmed. Berkali-kali Ahmed mencoba menjelaskan, namun kedua orang tuanya tetap memintanya menikahi Arsya. Ibunya memakai dalih kesehatan untuk memaksa anaknya mengikuti kemauan mereka. Akhirnya dengan segala cara, Ahmed berhasil meyakinkan orang tuanya agar mereka bertunangan dulu mengingat Ahmed masih harus menyelesaikan satu tahun terakhir kuliahnya. Dia membutuhkan fokus untuk menyusun skripsi. Setelah perdebatan yang alot akhirnya kedua orang tua Ahmed menyetujuinya setelah berembug dengan kedua orang tua Arsya. Pada minggu berikutnya, pertunangan itu terjadi. Ahmed bermaksud hendak menyembunyikannya dari Khadija, karena dia yakin jika dia tidak melakukan apapun pada Arsya. Dia tidak ingin membuat luka dihati orang yang dicintainya, dia berjanji akan menyelesaikan semuanya sendiri. Namun naas, takdir berkata lain, justru seseorang yang selalu dia perhatikan dalam diam, Khadija sendiri yang menyaksikan jika dirinya yang menjanjikan akan memperjuangkannya, kedapatan tengah memasang cincin dijemari sahabatnya. Iya, Arsya merupakan satu-satunya orang yang paling dekat dengan Khadija di kampung itu. Kedekatan Khadija dengan Arsya terjalin begitu lama, Khadija merasa jika Arsya bisa menerima segala latar belakangnya yang hina. Sejak saat itulah Arsya adalah salah satu sahabat terbaiknya. Namun takdir membuat mereka berdua berada dalam keadaan sulit. Mereka mencintai satu lelaki yang sama. Sampai peristiwa itu terjadi, Arsya dan Khadija tidak pernah bertemu kembali. Khadija kini fokus pada masadepan dan sekuat hati hendak mengubur masa lalu. Sementara Arsya masih bersusah payah memasuki celah dihati lelaki yang sejak hari itu tak pernah lagi tersenyum padanya. Ahmed, dengan segala beban di akhir kuliahnya, masih berusaha mencari kebenaran yang dia harap bisa membebaskannya dari pernikahan yang tidak dikehendakinya. FLASHBACK OFF. Ahmed menyeruput kopi yang sudah menjadi dingin. Setiap kali mengingat kejadian itu, pastinya membuat tenggorokannya terasa tercekat. Hidup begitu pahit dia rasakan. “Eh kebiasaan Lu mah Med,” Endro yang tidak lain lelaki yang sejak tadi menemaninya di balkon menepis punggung lengan Ahmed yang baru saja menyimpan mug kopi miliknya. “Dikit doang, ngilangin pait di idup gue,” Ahmed berlalu membawa laptopnya meninggalkan Endro yang masih ngedumel menyumpahi sahabatnya itu. Ahmed dan Endro merupakan teman satu angkatan. Keduanya menjadi dekat karena tinggal di satu atap kos-kosan yang sama. Endro bertubuh tinggi, berotot karena dia merupakan pekerja keras. Orang tuanya memiliki perkebunan yang luas di Bandung, dia memutuskan untuk ngekos karena untuk menghindari permintaan orang tuanya. Ayahnya selalu meminta bantuannya untuk mengelola perkebunan. Endro mengambil jurusan Information Teknologi yaitu satu fakultas dengan Ahmed. Fakultas yang Ahmed jalani diam-diam. Ahmed sekarang tengah menyelesaikan dua skripsi, satu untuk pendidikan agama islam demi menyenangkan sang ibu, dan satunya yaitu jurusan information tekhnologi sesuai minatnya sejak duduk di bangku sekolah menengah. Ahmed meletakkan laptop diatas meja belajar dalam kamar kosannya. Ditambahnya derajat temperatur AC yang terasa menggigit kulit. Dia berbaring diatas spring bed bersprai putih ukuran 160 x 200. Matanya terpejam, pikirannya tak pernah lepas dari bayangan gadis yang selalu hadir mengantui hari-harinya, gadis berparas manis yang selalu terlihat menyedihkan dan merupakan cinta pertamanya, Khadija. Sementara di salah satu sudut kota Bekasi, Khadija bersama Azmi sudah mendekati gerbang kontrakan. Motor matic yang dikendarainya perlahan memasuki gerbang dan melewati rumah utama, kemudian langsung menuju kontrakan Khadija. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang memandang tajam dari balik celah pintu yang terbuka. Sepasang mata itu masih mengawasi arah motor tadi menghilang sampai deru itu muncul kembali dan melewati rumahnya. Azmi sama sekali tidak mengerti jika ada yang memperhatikannya dengan seksama dari tadi. Pemuda itu terus memutar balik meninggalkan kontrakan Khadija. Azmi tinggal di sebuah perumahan rakyat, rumah sederhana yang baru beberapa bulan ini diambilnya secara KPR. Sebagai seorang perantau, dia memang harus banyak berhitung, walaupun sedikit lebih mahal akan tetapi uang yang dibayarkan tidak akan menghilang seperti halnya jika dia hanya tinggal di kontrakan. Sesampainya di kontrakan, Khadija bergegas mandi dan bersiap menunggu Nayya datang. Saking terburu-buru, dia lupa mampir untuk membeli makan. Baru saja jemarinya hendak membuka aplikasi makanan online, sebuah ketukan pintu terdengar. Bergegas dipakainya kerudung instannya, dibukanya pintu kontrakan. Pikirnya pasti Khalima dan Nayya sudah datang. Namun perkiraannya salah, yang tampak yaitu sosok yang tidak asing. Rasyid tengah berdiri membawa Nayya sambil menenteng satu kantong plastik. “Khalima sedang datang bulan, dia memintaku untuk menemani Nayya belajar, ini makanlah dulu, Khalima yang membelikannya untukmu,” ucap Rasyid tanpa salam dan tanpa basa-basi. Diturunkannya gadis kecil itu dari pangkuannya yang langsung berhambur memeluk guru mengajinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD