Bab 232 : "Salem Henokh."

4507 Words
Salem Henokh mengatupkan bibirnya. Mihlail berkaca-kaca. Hening. Mereka tak bercakap sepersekian menit. “Mereka membakarku?” tanya Mihlail, tersiksa oleh desis angin dan derit jendela yang memberikan efek dahsyat pada zaman yang tenang. Salem Henokh mengangguk. “Tapi sesuatu yang ajaib terjadi,” ungkap lelaki tua itu lagi. “Kau mengeluarkan kekuatan besar yang tidak terbayangkan sebelumnya, bahkan tidak pernah terjadi sebelum-sebelumnya.” Mihlail terdiam, tatapannya tajam mengarah ke Salem Henokh, mencari-cari jawaban dan sumber kebenaran. Salem Henokh menarik napas panjang, memandang ke arah lain, mengumpulkan kata-kata, dan bercerita lagi. ***** Kekuatan yang dimaksud adalah keluarnya cahaya dari dalam tubuh Mihlail. Cahaya itu menyebar, meninggi, menusuk langit, lalu meledak, merobek-robek awan gelap dan turun seperti hujan cahaya kembang api. Dan seketika api menjadi dingin. Seluruh makhluk tercengang. Tertatih, Izebel mendekati anaknya. Ia tersenyum, air memenuhi kantung matanya, tumpah tanpa suara. Untuk sekian detik, bangsa Kronum tidak mampu melakukan apa-apa, seakan tubuh mereka dipaku oleh sebuah kekuatan besar. Mereka terpaksa melihat momen saat seorang ibu mengambil anaknya dari api pembakaran dan memeluknya dalam tangis paling menyedihkan yang pernah mereka dengar. “Laa  khalika, brun dem!”[1] teriak Raja Moloch. Bangsa Kronum segera naik pitam dan berteriak-teriak menghujat Izebel. Amschel de’ Angelo menarik rambut Izebel, memukul wajahnya berkali-kali dan memaksanya melepaskan anaknya. Hezron berteriak, memekik untuk menghentikan penyiksaan itu. Tapi bangsa Kronum hanya terbahak-bahak. Kilatan cahaya melesat-lesat dari tongkat sihir mereka, menerpa tubuh Hezron bertubi-tubi, menyisakan titik-titik terbakar di kulitnya. Hezron merintih kesakitan. Para The Great Salem juga meronta-ronta, menjejak-jejakkan kakinya ke udara, berusaha melepaskan diri dari kekangan sihir yang menyalib mereka secara terbalik. Lagi-lagi, bangsa Kronum hanya tertawa. “Brun dem!!!!!!!!!” Raja Moloch menjerit, suaranya menggelegar, meledak-ledak ke langit. Ia menancapkan tongkatnya ke tanah dengan keras, tangannya terkepal. Tiba-tiba gemuruh datang. Dari arah timur, kabut muncul mengunyah segalanya menjadi putih. Salju turun begitu deras. Angin menderu. Pohon-pohon bertumbangan. Hezron dan para The Great Salem jatuh tertindih. Seluruh bangsa Kronum mengangkat tangan ke atas, bernyanyi dalam nada keras yang mengerikan, menggaungkan sesuatu ke arah langit. Badai semakin deras. Hawa semakin dingin. Sekali lagi, Amschel de’ Angelo memukul Izebel. Perempuan itu pun terjatuh. Mihlail lepas dari pelukannya. “Kau tidak akan mampu mengalahkan kami,” hardik Hezron. Pelan-pelan ia menggelosor, berusaha keluar dari batang pohon yang menindih tubuhnya, berusaha mengancam bangsa Kronum, berusaha selamat dari terpaan badai. Tapi, untuk kesekian kalinya, kilatan tongkat sihir melejit ke tubuhnya, menumpahkan darah dan darah. Gemuruh semakin deras, udara semakin keruh dan angin kencang bertiup. “Aku tidak bisa melihat apapun!” teriak Salem Salem Eliezer, berusaha berkomunikasi dengan rekan-rekannya. Namun ia hanya mendengar suaranya sendiri tersambar-sambar oleh angin. Ia berusaha bangkit dari pohon besar yang menindihnya. Ia meraba-raba, mencari pegangan, tapi dingin yang mencekik tubuhnya tak kuasa ia tahan dan dalam hitungan menit, ia terkapar. ***** “Aku pikir aku sudah mati dan dunia sudah selesai.” Salem Henokh hampir menangis.  “Aku minta maaf...” serunya lagi, saat Mihlail tidak mengatakan apa-apa. Masih hangat dalam ingatannya, ketika ia tersadar dan membuka mata, langit telah menjadi secerah biasanya. Gugusan awan-awan putih bergeser, memberi tempat kepada matahari untuk bersinar. Burung-burung bercuit di ketinggian, angin bertiup lembut dan pepohonan bergoyang lemah memberi keteduhan. Ia bisa melihat pegunungan Barboza dan aliran sungai Moran yang membelahnya, indah ditutupi kabut, tegap di ketenangan, seakan-akan suatu kekejaman yang baru saja terjadi, tidak pernah terjadi. Ia menurunkan matanya, melihat tubuhnya. Sihir hitam yang menerjangnya, pepohonan yang menindihnya, salib terbalik, ah ia seharusnya terluka parah. Terluka parah seperti yang ia rasakan sebelumnya. Tetapi sekarang ia terlihat baik-baik saja. Ia tidak melihat luka di badannya, pun tak ada darah di pakaiannya. Dalam bingung, ia melempar pandangan ke sekeliling, ia lihat Salem Salem Eliezer dan Salem Yosafat menghadapi kebingungan yang sama. Barangkali peristiwa tadi hanyalah mimpi, pikir mereka. Karena alam kelihatan baik-baik saja, begitu pula dengan diri mereka. Mereka begitu bersyukur waktu mendapati bayi Mihlail selamat. Mereka memeluknya penuh haru. Namun begitu, mereka begitu kaget waktu menemukan tubuh Hezron yang membeku. Mereka mengusap salju yang menutupi Hezron, merasakan kedinginan yang amat sangat di kulit pria itu. Lama mereka menatapnya, berusaha mencerna kembali apa yang sebenarnya terjadi. Mereka membangunkan Hezron, berpikir bahwa pria itu mungkin akan tersentak dan tersadar dari kebekuannya. Satu detik. Dua detik. Lima menit mereka menunggu. Hezron tetap membeku. Air mata mulai mengalir. ***** “Jadi itulah mengapa ayahku disebut sebagai malaikat yang terbantai?” tanya Mihlail, sedih. Salem Henokh mengangguk, “Aku sangat menyesal atas kematiannya.” “Aku juga minta maaf karena tidak bisa menemukan Izebel,” lanjutnya. “Tidak pernah ada yang tahu apa yang terjadi dengan Izebel. Apakah ia masih hidup atau sudah tiada, benar-benar sebuah misteri.” Mihlail tidak membalas. “Kau adalah anak yang luar biasa,” sahut Salem Henokh. “Sejak saat itu, kau mulai bisa berbicara lancar dan tidak henti-hentinya menceritakan setiap detil apa yang...” “Ya, Salem. Aku ingat semua itu.” Salem Henokh menarik napas, memaklumi ucapannya yang mungkin terlalu banyak diucapkan kepada seseorang yang tidak dapat lupa. “Kau baik-baik saja, Mihlail?” tanyanya sambil meneliti air muka bocah itu. “Ya,” kata bocah itu dengan keraguan menelan kata-katanya, membuat Salem Henokh yakin bahwa Mihlail tidak sedang baik-baik saja. “Baiklah,” ujar Salem Henokh, pura-pura yakin bahwa Mihlail baik-baik saja. Mihlail mengangguk, pura-pura tidak yakin bahwa Salem Henokh pura-pura yakin bahwa ia baik-baik saja. Malam semakin gelap. Pada suatu titik di langit, terdengar suara sayap-sayap berkelepak; lirih dan mengerikan. Mihlail dan Salem Henokh sama-sama tidak mengatakan apapun lagi dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.                                         Kelopak Mawar   Mikhael sudah pulas waktu Mihlail kembali. Hanya si kucing Turki, Romeo yang berjingkat menyambutnya ketika ia sampai. Suasana begitu sunyi hingga Mihlail khawatir bunyi derit lantai kayu akan membangunkan Mikhael. Si Romeo yang gembrot berjalan malas keliling kamar, sebentar ia memperhatikan Mihlail dan lalu berkeliling lagi. Tak lama kucing itu telentang di atas tumpukan buku-buku di meja belajar, ia menguap, seperti sesosok makhluk bosan. Mihlail mendekat, menyentuh bulu-bulu lembutnya. Hatinya telah begitu kalut oleh obrolannya dengan Salem Henokh tadi. Ia merasa tidak akan mampu tertidur. Barangkali menghabiskan malam bersama hewan peliharaan Mikhael bukanlah ide buruk. Tapi Romeo merasa terlalu sensitif terhadap sentuhan, ia tersentak dan menggelinjang. Dalam kekagetannya, ia meluncur jatuh bersama buku-buku. Dan tiba-tiba bingkai kesunyian pecah berkeping-keping. Mikhael terbangun. Matanya memerah. Mihlail, terinsafi oleh kesalahan yang dibuatnya, segera menghamburkan kata maaf. Namun Mikhael malah semakin marah dan perang sumpah serapah pun meletus. Mikhael mendorong Mihlail ke meja belajar, buku-buku dan kertas-kertas berjatuhan. Mihlail membalas. Mikhael berlari ke rak buku, lalu ke tumpukan benda-benda usang. Pergulatan terjadi. Barang beterbangan kemana-mana. Prang! Buk! Prang! Buk! Suara pintu diketuk, Atalya berteriak, “Apa kalian baik-baik saja?” Mikhael dan Mihlail cengengesan. Atalya kembali ke kamarnya. Mikhael dan Mihlail saling berpandangan penuh raut pembunuhan. Mereka berebut tidur di kasur. Tendang menendang tak terelakan lagi. Romeo si kucing Turki ketakutan, ia bersembunyi dibawah meja, matanya memohon dengan iba supaya dua manusia itu segera sadar diri dan sama-sama diam. Mikhael ke satu sisi, Mihlail di sisi lain. Mereka saling mengitari sudut, saling bertemu lagi, bertengkar lagi. Pintu diketuk lagi, “DEMI TUHAN, APA KALIAN INGIN MENYIKSA SELURUH PENGHUNI ASRAMA INI? BERHENTILAH BERTENGKAR!” Agrin Al Houssin           Ciutan burung-burung pemakan beras di dahan-dahan neem akhirnya membangunkan Mihlail dari malam panjangnya, yang sebenarnya tidak akan terasa panjang andai saja tidak dibubuhi dengan pertengkaran dan obrolan yang tidak menyenangkan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rupanya Mikhael sudah bangun terlebih dahulu dan merapikan kerusuhan yang terjadi semalam. Benda-benda sudah ditaruh di tempat asalnya dan aroma jeruk membumbung, memenuhi udara. Mikhael telah memasang pengharum tradisional juga, pikirnya. “Maaf,” seru Mihlail, merasa bersalah karena sementara dirinya enak-enakan tidur, Mikhael sendirian merapikan kamar ini. Tapi Mikhael tidak menyahut. Dendam masih nampak dari segala gerak-geriknya. Mihlail menghela napas kecewa. Ia beranjak ke kamar mandi dan berharap kucuran air mampu mendinginkan kepalanya dan menguliti semua ingatannya atas kejadian semalam. “Ini hari Jupiter, hari libur,”[2] pikir Mihlail. Apa rencana yang akan dilakukannya untuk menyantap hari ini? Membersihkan kebun bunga di belakang lagi kah? Ah, kemarin ia sudah membersihkannya. Ia lalu memikirkan percakapannya semalam dengan Salem Henokh, bahkan ketika ia tidak mau memikirkannya, ingatan itu muncul sendiri dengan kedetilan yang dahsyat seakan-akan ia melihat dan merasakan drama percakapan itu lagi disini, di kamar mandi. “Aku yatim piatu,” bisik Mihlail kepada dirinya sendiri. “Ayahku terbunuh mengenaskan. Ibuku menghilang misterius.” Mihlail mengenal wajah kedua orang tuanya hanya lewat foto yang diberikan Salem Salem Eliezer dahulu ketika ia berkunjung ke Kapelarium Svarozich. Tapi dalam jutaan memori yang tak dapat lupa yang ia alami sepanjang hidupnya, tidak ada satu pun memori tentang dia dan ayah-ibunya. Dan semalam, seseorang baru saja menceritakan hal yang amat perih, lebih perih lagi karena ia selalu ingat obrolan semalam. Selalu ingat.   ***** “Mau diapakan koran-koran itu?” tanya Mihlail waktu selesai mandi dan mendapati Mikhael sedang mengepak-ngepakkan tumpukan koran lusuh. “Jual,” jawab Mikhael, ketus. Mihlail tidak menanggapinya secara serius, ia mengambil asal tumpukan koran yang berada paling atas dan membolak-balik isinya. Sesaat, ia kembalikan koran itu ke tempat asal dan ia mengambil koran yang lain. Lalu ia taruh lagi korannya dan mengambil koran yang lain. Terus begitu sehingga Mikhael menjadi gusar. “Jadi begitulah Tabliq Suci mengenalku,” Mihlail membatin. El Epistem, satu-satunya koran milik Populo Dei telah memberitakan sebagaimana yang telah Salem Henokh ceritakan; Oh anak ajaib! Mihlail Gideon, anak yang tidak dapat lupa! Mihlail menghela napas. Ia baru saja akan mengembalikan koran terakhir saat ia melihat berita dengan judul yang agak berbeda: Menelusuri jejak keturunan Mihlail Gideon. Mihlail tidak pernah melihat berita itu sebelumnya, saat ia mengecek tanggal penerbitannya, Lilith 6000, hatinya tersentak. Tulisan ini terbit di tahun saat ia lahir. Luar biasa! Ia baca siapa penulisnya, Agrin Al Houssin. Keningnya berkerut. Mihlail tidak pernah mendengar nama itu dan tidak pernah mendengar orang lain menyebut-nyebut nama itu. Agrin, pikir Mihlail. Pastinya dia seorang perempuan. Tapi siapakah dia yang telah menulis jejak keturunan dirinya? Mihlail membaca tulisan Agrin hati-hati dan jantungnya tersentak. Mata mereka sama-sama biru, tapi tidak ada kemiripan dari caranya memandang. Semua ciri-ciri yang ada pada Mihlail, hanya ada pada Izebel, tapi tidak dengan Hezron. Saya tidak tahu apa yang tengah disembunyikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Namun mengingat kelahiran Mihlail yang istimewa dan desas desus yang tengah bergulir saat ini bahwa kita, Tabliq Suci, benar-benar akan menyerang tembok filemon dalam waktu dekat. Bisa jadi suatu konspirasi besar memang sedang dijalankan. “Ada apa?” Mikhael penasaran melihat Mihlail yang termangu membaca koran. “Ya ampun, kamaal hai!” pekiknya lalu segera merebut koran itu dari tangan Mihlail. Cepat-cepat ia taruh koran tersebut diantara tumpukan koran lain. “Aku bersumpah tidak punya niat untuk menyembunyikannya,” Mikhael memelas. “Aku hanya secara tidak sengaja mendapatkannya. Ini juga aku mau membuangnya segera. Ya, aku buang! Sungguh aku tidak sengaja, aku bersumpah demi Tuhan, tolong jangan laporkan aku!” “Apa yang kau bicarakan itu, Mikhael?” Mihlail mulai kesal dengan Mikhael yang tidak henti-hentinya memohon. “Ada apa sebenarnya?” Mikhael terkatup, dahinya berkerut. “Kau tidak tahu?” “Tahu apa?” Lewat matanya, Mikhael menunjuk koran tadi. “Ini aneh sekali,” akhirnya Mihlail bercerita. “Ada seseorang menulis tentangku semacam itu, tapi aku tidak tahu sama sekali dan tidak ada yang memberi tahu.” Sunyi. “Siapa itu Agrin Al Houssin?” Senyap. “Kenapa kau tidak menjawab, Mikhael?” Mihlail hilang kesabaran dan menatap Mikhael. “Kau tahu siapa dia?” “Kau tidak tahu?” Mihlail menggelengkan kepala.  “Ya ampun, Mihlail, Agrin Al Houssin itu kan Malaikat Yang Terbantai!”  *** “Itu adalah edisi gelap dari El Epistem. Peredarannya segera ditarik hanya dalam beberapa menit setelah dibagikan ke masyarakat. Kau lihat sendiri, di edisi itu ada tulisan Agrin Al Houssin. Ia memberitakan banyak hal tentang kaitannya kelahiranmu dengan rencana menghancurkan tembok filemon. Pada intinya, ia tidak sependapat dengan Para The Great Salem. Ia mengatakan bahwa ibumu, Izebel pasti mempunyai kekasih gelap dan kemungkinan besar telah bersekongkol dengan bangsa Old Sammur. Hezron adalah bukan ayahmu dan ia juga memprediksikan adanya bencana besar setelah kelahiranmu.”           Mikhael menghela napas. “Semua masyarakat wajib membakar koran edisi itu dan akan mendapat hukuman keras jika tetap menyimpannya. Tapi pada hari pertama aku belajar di Kapelarium ini, orang tuaku begitu miskin hingga tidak bisa membeli tas yang layak. Mereka membungkus pakaianku dengan lembaran koran. Aku tidak tahu darimana mereka mendapatkannya, tapi ya, rupanya edisi gelap dari koran itu ada di selipan lembaran koran pembungkus pakaianku. Aku pikir aku sudah membuangnya karena aku tidak cukup berani untuk membakarnya. Aku takut orang-orang akan curiga kalau aku membakar sesuatu. Tetapi sungguh, aku sungguh-sungguh tidak tahu bahwa koran itu masih ada.” Muka Mihlail merah padam. Rasanya ia ingin sekali merobek mulut Mikhael dan memaksa bocah itu supaya berkata yang baik-baik saja. Tapi Mikhael mengatakannya secara polos, ditambah dengan ketakutannya yang berlebihan ketika melihat koran tersebut, sulit untuk meyakinkan dirinya bahwa Mikhael berbohong. Tapi bagaimana dengan kisah yang diucapkan Salem Henokh? Tiba-tiba segala sesuatunya menjadi bertabrakan di kepala Mihlail dan ia merasa menjadi manusia paling bodoh sekaligus paling kasihan di tanah Aristarkhus. Bagaimana tidak? Ia bisa mengingat semua hal namun bahkan ia kehilangan arah untuk mengetahui garis keturunannya sendiri. “Maafkan aku, Mihlail,” kata Mikhael. Untuk pertama kalinya, ia begitu rendah hati menyebut kata maaf, untuk Mihlail pula. “Aku tahu ini menyakitkan, tapi setahuku Agrin adalah seorang pemberontak bawah tanah yang memang anti agama dan anti Tuhan. Katanya dia juga pernah mencintai Hezron dan sangat benci waktu ayahmu menikahi ibumu. Jadi tidak ada alasan untuk mempercayainya,” lanjutnya, seakan tidak sadar atas apa yang sedang ia katakan. “Tapi tadi kau bilang dia adalah malaikat yang terbantai?” Malaikat, dalam istilah Populo Dei berarti adalah seorang manusia yang sangat baik, ia yang putih, ia yang suci, ia yang berdampingan dengan kebenaran dan kebaikan. Ia yang menegakkan perintah Tuhan. Istilah ini, tentu berbeda jika ditelaah dari kacamata Langit Bawah, bahwa malaikat adalah para makhluk bercahaya yang dikatakan sebagai penantang setia bangsa Kronum. Anti tesis dari para iblis. Sementara itu, bangsa Elite dan bangsa Polumor tidak mengenal istilah malaikat. Selama berabad-abad, Populo Dei telah melahirkan banyak malaikat. Konon, selama berabad-abad pula, bangsa Kronum telah mengorbankan malaikat sebagai tumbal sucinya. Mikhael tertawa kecil, “Ya, kau mungkin pernah mendengar istilah The Danish? Suatu kelompok rahasia yang sangat misterius itu?” Mihlail mengangguk. Di Populo Dei, bahkan di tanah Aristarkhus, The Danish adalah diskusi tersendiri bagi seluruh makhluk. Namanya cukup terkenal sebagai nama diantara mitos dan fakta. Mitos, karena pergerakannya tidak diketahui, entah bagaimana kelompok itu beroperasi dan apa tujuannya. Fakta, karena terkadang beberapa orang melakukan analisis-analisis mendalam tentang suatu hal dan mengaitkannya dengan kelompok ini sebagai kebenaran tunggal. Ada dua aliran dalam memperbincangkan The Danish. The Danish sebagai suatu kelompok baik-baik yang bertugas menolong mereka yang ingin pindah dari kerajaan asal ke kerajaan lain, dan The Danish sebagai malaikat dari Langit Bawah. “Kabarnya, Agrin Al Houssin adalah salah satu anggota dari kelompok itu. Ia bahkan menyebut dirinya sendiri malaikat. Lalu ketika para The Great Salem menangkapnya dan membawanya ke tiang pancung, Agrin pun tewas. Jadi, ya, dia malaikat dan dia terbantai. Malaikat yang terbantai.” “...” “Ketika Tabliq Suci berbicara tentang malaikat yang terbantai, tentu saja hal itu ditujukan untuk ayahmu, Hezron,” terang Mikhael, seakan menjawab kegundahan Mihlail yang dikeluarkannya dalam bentuk kata-kata tanpa suara. “Tapi...” lanjutnya, “Ketika kita berbicara tentang Agrin Al Houssin, kita juga akan mengarah kepada malaikat yang terbantai juga. Bedanya, Hezron Gideon diklaim sementara Agrin Al Houssin mengklaim.” Mihlail tidak tahu bahwa ada istilah semacam itu untuk ayahnya dan musuh ayahnya, segera Mihlail menganggap Agrin adalah seseorang diluar sana yang tidak suka dengan mesranya hubungan kedua orang tuanya. Namun tetap saja, Mihlail merasa tercengang karena ia tidak tahu apa yang semestinya-menurut pendapatnya, harus ia ketahui, bahkan ketika semua mengatakan ia adalah anak yang cerdas. Bagaimana ia bisa dikatakan cerdas ketika hal semacam ini saja ia tidak tahu? Ia mulai menduga-duga, apa jangan-jangan mereka memang sengaja menyembunyikan sebuah kebenaran darinya? “Tidak ada,” ujar Mikhael, seakan menjawab kegelisahan Mihlail lagi, seperti telepati. “Jika kau berpikir mengapa kau tidak tahu dan tidak ada yang memberi tahu dirimu tentang hal ini, aku pun tidak tahu jawabannya. Tapi sesuai perintah The Great Salem, jangan pernah mempercayai omongan wanita bernama Agrin Al Houssin itu.” “Lalu kenapa kau memberi tahuku kalau aku harus tidak mempercayainya?” Pekikan suara Mihlail membungkam Mikhael. Keduanya saling berpandangan. Tiba-tiba sesuatu menyadarkan Mikhael. Terlihat dari gelagat matanya, mendadak Mikhael seakan terbelalak dan ekspresinya berubah dari yang agak sedikit hangat, menjadi seketus biasanya. “Aku kehilangan empat puluh hari dalam ingatanku, kau tahu itu? Sekalipun aku akan mengetahui dan mengingat segala hal dalam hidupku sampai seratus tahun ke depan, tapi rasanya aku tidak akan memahami satu pun karena kehilangan empat puluh hari itu.” Mikhael tidak menggubris. Ia kembali mengepak-ngepakkan koran usang itu, merobek-robek edisi yang ada tulisan Agrinnya. Mihlail memperhatikan tingkah lelaki itu. Pada satu titik, akhirnya ia terduduk kelelahan di atas kasur. “Maafkan aku, Mihlail,” ujar Mikhael, untuk kedua kalinya, secara sadar dan rendah hati. “Aku tahu  aku suka jahat padamu, aku... yah...” Mikhael tidak sanggup melanjutkan ucapannya. “Jangan pura-pura jahat padaku,” kata Mihlail, tersenyum. “Aku tahu kau sebenarnya orang baik.” Mikhael tersenyum balik. “Agrin Al Houssin itu cerita lama. Sekarang orang-orang sudah tidak pernah membahasnya lagi, dia sudah mati. Kata orang tuaku, satu-satunya alasan mengapa kau tidak diberi tahu adalah karena kata-kata Agrin tidak terbukti dan para The Great Salem tidak ingin kau terganggu atas ingatan seperti itu. Kau adalah makhluk ajaib yang tidak bisa lupa. Para The Great Salem sangat mengkhawatirkanmu.” “Aku mengerti sekarang,” Mihlail mulai merasa tenang. “Terima kasih sudah memberitahuku, aku tidak merasa terganggu sama sekali.” “Ya,” Mikhael mengangguk. “Aku kelepasan, Mihlail. Tolong jangan laporkan kepada para The Great Salem ya kalau aku yang bilang hal itu kepadamu ataupun bahwa aku sempat menyimpan koran edisi Agrin...” “Aku bahkan tidak akan bilang kalau kau punya kucing Turki yang gendut dan pemalas itu,” potong Mihlail. Si Romeo langsung mengeong dan berjalan mendekati Mikhael. Mereka terbahak. Mihlail mengulurkan jari kelingking kepada Mikhael, tanda bahwa ia mengajak lawan bicaranya ini untuk berbaikan dan memulai hubungan yang lebih harmonis atas nama persahabatan. Mikhael berpikir-pikir sejenak. Lalu dengan agak malu-malu, ia menautkan kelingkingnya ke kelingking Mihlail. Kedua kelilingking itu bergoyang pelan. Mihlail dan Mikhael sama-sama tersenyum gembira.                 Pasar Ekazar           Hari Jupiter adalah hari berkah bagi Tabliq Suci di seluruh penjuru Populo Dei. Karena selain hari Venus, dimana mereka fokus beribadah seharian penuh, hari Jupiter adalah hari libur, dimana mereka fokus bergembira seharian penuh. Dalam artian, ini adalah hari ketika Tabliq Suci istirahat bekerja dan pergi mencari keasyikan bagi dunianya, entah itu menyalurkan hobi atau sekedar melepaskan beban penat yang ada. Pada hari ini, biasanya orang-orang sibuk berbelanja, berkunjung ke rumah-rumah saudara, memasak makanan enak, dan masih banyak lagi. Setelah adanya tembok filemon, banyak juga masyarakat yang pergi mengunjungi tembok itu, untuk sekedar melihat-lihat, mengenang kekejaman bangsa Elit,  atau tenggelam dalam kerinduan atas sanak saudara yang saat itu memilih pergi dari Populo Dei. Tapi tentu saja, belanja dan belanja adalah kegiatan yang paling ditunggu-tunggu oleh kebanyakan Tabliq Suci. Dalam hal ini, pasar menjadi tempat yang paling ramai dan sibuk.           Di Kapelarium Zerubabel, pasar terdekatnya adalah pasar Ekazar atau orang-orang menjulukinya pasar ayam karena disana banyak yang menjual daging dan telur ayam. Nayef, Haran dan Nahor pagi ini telah berhasil memaksa Mihlail yang sebenarnya sedang tidak terlalu bersemangat pergi ke pasar gara-gara masalah Agrin Al Houssin itu, menjadi ikut ke pasar. Maka, jadilah lima bocah: Nayef, Haran, Nahor, Mihlail dan tentu saja, Mikhael, bersama-sama melangkahkan kaki menuju kumpulan manusia di pasar Ekazar.           “Ayo cepat, nanti permen paman-baik-hati keburu habis,” titah Nayef kepada teman-temannya.  Paman-baik-hati adalah seorang pria muda penjual pakaian yang setiap hari Jupiter selalu membagikan permen gratis kepada anak-anak. Nama aslinya tidak terlalu banyak diketahui orang, yang jelas saat ini semua memanggilnya paman-baik-hati akibat kemurahan hatinya itu.           “Aku harap paman-baik-hati membawa jenis permen baru ya,” sahut Haran, semangat. Yang lain mengangguk setuju. Inilah salah satu motivasi mereka suka pergi ke pasar Ekazar; mendapatkan aneka permen gratis.           “Tenang, paman-baik-hati pasti sudah menyiapkan dan menyisakan sekantong plastik besar untuk kita,” jawab Mihlail, yakin. Haran dan Nahor bersorak-sorak girang.           “Nah, makanya tidak sia-sia kan kami mengajakmu,” kata Nahor. Entah bagaimana, ia merasa paman-baik-hati selalu memberikan permen sedikit lebih banyak kepada Mihlail daripada kepada yang lain. Mungkin karena Mihlail populer, mungkin karena Mihlail pintar, apapun itu. Tapi mengajak Mihlail pergi ke paman-baik-hati memang akan memiliki keuntungan tersendiri.           “Kalian tidak bisa memaksa orang pergi untuk kesenangan kalian tauk,” seru Mikhael, bersungut-sungut.           Huhuuuu... Haran, Nahor, dan Nayef menyoraki. Mereka menjulurkan lidah meledek Mikhael. Bocah itu kesal marah-marah. Semua terbahak-bahak. *****           Sesampainya di pasar Ekazar, usai menjual koran-koran bekas milik Mikhael, mereka langsung ke tempat Paman-baik-hati. Ternyata lapak paman-baik-hati sudah agak sepi. Hanya tinggal beberapa anak yang mengantri. Sebelum menerima bungkusan permen, terlebih dahulu mereka membuka mulut untuk diperiksa apakah mereka sakit gigi atau tidak. Dengan sabar, kelima bocah itu pun turut ambil posisi antri dan dengan sabar menunggu giliran.           “Aku pikir kau tidak datang, Mihlail,” sahut paman-baik-hati, riang gembira. Mihlail tersenyum. Setelah diperiksa dan ternyata mulut Mihlail baik-baik saja, Paman-baik-hati menyerahkan sekantong penuh permen kepada Mihlail. “Aku juga membawa cokelat manis hari ini,” lanjutnya. Paman-baik-hati menengok kepada Nayef, Nahor, Haran, dan Mikhael, ia menjanjikan cokelat manis juga kepada mereka. Mereka berjingkrak-jingkrak girang, khas anak kecil.           “Terima kasih paman!” seru anak-anak. Paman-baik-hati hanya tertawa. “Paman, ada salam dari bibiku, katanya kapan paman akan menikah? Bibi siap jadi pengantinnya,” Nayef berbicara blak-blakan dengan gaya khasnya yang lucu. Sontak semua terkekeh. Paman-baik-hati mencubit pipi Nayef gemas. Ia mengeluarkan suara lucu yang menghibur. Anak-anak terpingkal-pingkal. “Ah, Mihlail, lihat, kau selalu berantakan kalau makan cokelat.” Paman-baik-hati mengelap lelehan cokelat di pinggir bibir Mihlail dengan tangannya. Mihlail mengucapkan terima kasih. Paman-baik-hati tersenyum dan mengangguk pelan. “Paman, aku suka mata paman!” sahut Nahor. Itu adalah kalimat yang keseribu kalinya yang diucapkan Nahor kepada Paman-baik-hati setiap kali ia datang kemari. “Mata cokelat yang terang dan berkilauan,” lanjutnya. Ia duduk di atas meja, mengelus rambut-rambut halus di wajah Paman-baik-hati, meskipun yang ia kagumi adalah matanya. “Ya, Nahor, meskipun begitu, tetap saja mulutmu sedang tidak terlalu bagus. Kau harus lebih sering menyikat gigi, sayang. Aku tetap akan simpan sekantong permen ini untukmu nanti,” kata Paman-baik-hati. Nahor mendengus kesal. Semua menahan tawa. “Hmmm,” Paman-baik-hati berdehem. Ia lalu memeluk Nahor hangat. “Jangan bersedih,” katanya menghibur. Lalu semuanya berebut ingin dipeluk. Paman-baik-hati yang baik hati, paman tampan, paman kesayangan. “Lagi-lagi kau makan dengan berantakan,”Paman-baik-hati memperingatkan Mihlail. Ia mengelap lagi lelehan cokelat di pinggir bibir anak itu. “Hari ini ada parade kan?” tanya paman-baik-hati. “Oh iya iya, dimana? dimana?” Nayef langsung beranjak kegirangan. Parade yang dimaksud adalah parade tari-tarian dari para pria, tua dan muda, yang biasa dilakukan dalam rangka bersenang-senang, seperti tarian rakyat. Gerakannya berupa berputar-putar sesuai genderang musik dan sesekali mengangkat tangan saat ketukan gendang meninggi. Ini adalah tarian kegembiraan. Siapapun yang melihat ini, jika hatinya sedang sedih maka akan menjadi senang dan jika hatinya sedang senang maka bertambahlah kesenangannya. “Disana! Disana!” teriak Haran, menunjuk-nunjuk arah kerumunan orang. Tanpa menunggu lama, Nayef, Nahor, dan Haran langsung bergegas menuju kerumunan itu. Mikhael menarik tangan Mihlail, mengajaknya ikut bergabung. Dalam sekejap, paman-baik-hati ditinggal sendirian. *****   Suasana sudah seramai perayaan waktu Mikhael dan Mihlail tiba di depan parade. Mereka melihat Nayef, Haran dan Nahor ikut menari bergabung bersama para pria lain. Mereka meneriaki Mikhael dan Mihlail untuk ikutan tapi kedua bocah itu dengan malu-malu menolaknya. Sebagai ungkapan bahwa mereka baik-baik saja tidak menari, mereka bertepuk tangan mengikuti irama. Nayef menggoyang-goyangkan pinggulnya jenaka, Haran menepuk pantatnya. Huu, semua bersorak. “Kembalilah ke putaran dan berputar-putar,” seru orang-orang. Mereka memberi isyarat dengan gerak badan bagaimana cara menari yang benar. Bukan begini tapi begitu. Nayef, Haran, dan Nahor manggut-manggut. Tapi sesekali mereka iseng lagi dan orang-orang berkomentar lagi. Riuh gemuruh tepuk tangan membahana. Semua tertawa. “Mereka ribut sekali,” celetuk Mikhael, menuding kepada ketiga temannya. “Mereka akan menjadi bujang lapuk jika terus-terusan bersikap seperti itu.” “Hello manis, maukah kau menikah denganku?” sahut Nahor kepada seorag gadis kecil di barisan perempuan. Ia mengedipkan matanya sebelah. Gadis itu tersipu malu. Nahor membisikkan sesuatu ke telinga si gadis, si gadis tersenyum-senyum, wajahnya memerah. “Menjijikan,” kata Mikhael, kesal. “Menggoda wanita di depan umum huh? Biar disangka apa? Casanova?” “Mereka hanya bersenang-senang,” Mihlail menenangkan. Tapi Mikhael terus berkomentar seperti ibu mertua. Tak lama, Haran mengikuti jejak Nahor. Kepada seorang gadis kecil yang sedang menggendong sebakul sayuran, ia mengedipkan mata, meniup mulutnya dan berimajinasi seakan-akan tiupannya mengeluarkan lambang cinta. Mikhael semakin ketus. Mihlail menahan tawa. Sekarang giliran Nayef. Matanya liar mencari-cari gadis kecil nan cantik. Ia berjalan agak ke sudut, dan tiba-tiba berteriak girang waktu melihat gadis berambut hitam. Ia berjalan, bergerak mendekat, menari-nari, berputar-putar seperti kipas angin, dan berusaha menunjukkan gaya noraknya kepada si gadis. “Anoosheh.” Mihlail terkejut melihat siapa gadis yang sedang didekati Nayef. Jantungnya langsung berdegup kencang. Nayef baru mau mengulurkan tangan seperti pangeran berkuda putih waktu gadis yang disukainya membalikkan badan dan pergi tanpa satu senyuman. Ah! Dengan dramatis ia memegangi dadanya, pura-pura sakit hati. Mikhael terbahak-bahak puas. Ia menoleh kepada Mihlail yang diam. “Apa? Kau mengenalnya?” Tapi Mikhael tidak mendengar jawaban apapun. Karena sebelum Mihlail sempat membalas pertanyaan Mikhael, ia sudah memutuskan pergi dari tempat itu. ***** Mihlail memanggil Anoosheh berkali-kali, namun sepertinya gadis kecil itu tidak mendengar. Akhirnya Mihlail berlari mengejar Anoosheh, gadis itu terkejut bukan main menyadari Mihlail tiba-tiba ada di sampingnya. Mereka saling terpaku. “Aku tahu kita akan bertemu lagi,” kata Mihlail, seiris senyum tersimpul di bibirnya. Anoosheh memandang Mihlail sebentar lalu menurunkan matanya. “Kau sebenarnya jamaah dari Kapelarium mana?” tanya Mihlail, setelah keheningan yang panjang. Anoosheh menaikkan alisnya, seolah terkejut. “Kau pasti baru pindah kesini ya?” Mihlail berasumsi. Lama Anoosheh diam, sebelum akhirnya mengangguk dengan sangat pelan. Orang lain yang melihatnya mungkin tidak sadar bahwa itu adalah sebuah anggukan. Udara berhembus. Dedaunan kering jatuh dan bertebangan diantara debu-debu. Mihlail dan Anoosheh berjalan beriringan tanpa suara. Orang-orang lewat diantara mereka, melirik dan memperhatikan sejenak, kemudian kembali pada urusan masing-masing. Sepanjang itu, mereka tidak berbicara. Pada satu titik, akhirnya Mihlail tidak tahan lagi. “Ayo kita ke bukit rahasia!” seru Anoosheh, tepat saat Mihlail hendak bersua. Mihlail terkatup. Bibir merahnya melengkung indah. Dengan satu tarikan, ia gamit jemari Anoosheh dan mereka berdua berlari girang diantara para pejalan kaki, berbelok secara mekanis di tikungan, meninggalkan orang-orang, meninggalkan pasar Ekazar. Dari arah belakang, Mikhael yang mencari-cari Mihlail dan menemukan bahwa lelaki itu pergi bersama seorang gadis, hanya menggeleng-geleng heran. “Kemana Mihlail?” tanya Nayef, Haran, dan Nahor hampir bersamaan. “Entah,” jawab Mikhael. Sekejap, ia berbalik arah dan pulang sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD