Bab 9. Seharian Bersama Adam 1

3294 Words
Sepercik cahaya memaksa masuk ke indra penglihatanku, begitu susah untuk membukanya meski barang satu detik saja. Sayangnya, aku tidak bisa bermanja-manja saat ini. Itu bukanlah aku, dan bukanlah hal yang boleh aku lakukan. Terlebih kala aku merasakan ada seseorang di sekitarku, membuatku sedikit ketakutan. Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan padaku? Dan kenapa aku bisa terdampar di tempat ini dalam keadaan mata terpejam seperti ini? Awalnya aku begitu takut menghadapi sebuah kenyataan yang bisa jadi memberikan dua kesempatan, buruk dan sangat buruk. Iya, tentu saja, mana mungkin aku mendapatkan kesempatan baik, bahkan napasku pun sudah diakuisisi oleh Mama dan Erina. Akan tetapi, semakin aku bertahan, semakin terasa aneh. Tidak hanya merasa ada orang di sekitarku sekarang ini, tapi sedikit terdengar ada suara seseorang yang sedang mengobrol. Entah dengan siapa. Apakah aku harus membuka mataku sekarang? Atau diam dan mendengar dengan catatan entah sampai kapan ini berakhir. Di satu sisi, entah kenapa tenggorokanku terasa kering dan panas. Aku rindu rasa air yang membasahi tenggorokanku, rindu dahaga yang mendinginkan panasnya tenggorokan. Dan ya, aku baru saja ingat satu hal kalau penyebab aku terbaring sekarang di sini tidak lain dan tidak bukan karena pingsan. Untuk alasan apa lagi? Aku dihukum di atas terik matahari yang tidak bisa diukur lagi betapa panas dirinya. Hanya dengan sebuah alasan, telat. Dan kembali, aku ingat satu hal lagi, aku tidak sendirian, melainkan dengan pria yang bernama Adam. Mengingat Adam, seketika aku membuka mataku. Bersamaan dengan itu, aku mendengar suara laki-laki dari arah sampingku. Dan benar, itu memang Adam, membelakangiku. Pria itu sedang mengobrol dengan seseorang dari HP canggihnya, entah dengan siapa. Aku tidak peduli, benar-benar tidak mau mengurus itu lagi. Satu hal yang ada di pikiranku saat ini hanyalah aku harus keluar dari sini dan bergabung ke kelas. Bisa jadi setelah sampai di kelas aku harus menerima hukuman karena tidak mengikuti kelas, atau bisa jadi semua kelas sudah dibubarkan. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur di sini, tidak ada jam dinding yang bisa memberitahuku jam berapa saat ini. "Aku hanya dihukum keliling lapangan, bukan masalah yang sangat serius, Pa. Papa jangan terlalu berlebihan seperti itu. Tidak ada yang suka dengan sikap orang yang seperti itu." Dalam hati, aku cukup kagum dengan laki-laki ini. Ia berbicara dengan Papanya, menasehati Papanya bahwa memang berlebihan itu sangat tidak diperlukan. Hmm… andai aku punya HP saat ini dan Papa menelponku, menanyakan alasan kenapa aku bisa dihukum setelah pihak sekolah memberitahunya. Mungkin aku akan merasa diperhatikan, disayangi dengan tulus. Atau pura-pura juga tidak masalah, yang terpenting aku bisa merasakan kasih sayang perhatian orang tua pada anaknya yang pada umumnya. Sayangnya, itu hanyalah harapan dan mimpi yang sangat susah aku dapatkan di dunia nyata. "Bermimpi manis saja kamu, Abi. Itu lebih baik daripada kecewa dengan realita," gumamku tipis. Memang badanku tidak terluka, sedikitpun, tapi rasanya hampir seperti remuk. Entah saat aku jatuh mengenai apa, benda tumpul atau apa, aku tidak tahu. Namun ya, berusaha sebaik mungkin dan tidak menimbulkan suara, aku sangat mengusahakan itu saat ini agar Adam tidak menyadari pergerakanku. Salah satu keuntunganku saat ini adalah letak laki-laki itu yang jauh dan dalam posisi membelakangi, aku bisa mudah bergerak tanpa takut. Diam sejenak, aku merasakan hal yang sama persis seperti pada saat terakhir kali aku bertahan di lapangan. Pusing yang amat terasa meski hanya sekelebat, sedetik saja namun amat luar biasa. Salahnya aku yang tidak bisa menjaga kesehatanku sendiri. Ah, tidak, bukan salahku, tapi salah keluargaku yang menganggapku sebagai b***k mereka. Aku dipekerjakan seperti buruh yang tidak dibayar, sepeserpun. "Iya. Aku jamin kelakuanku tidak akan merusak nama baikmu di sekolah ini. Aku sudah cukup tahu dan cukup mengerti posisiku, Papa. Tidak perlu berlebihan, secepatnya aku akan mengurus ini tanpa campur tanganmu." Aku masih mendengarkan Adam berbicara dengan Papanya. Terkutuk aku yang berani mendengar percakapan mereka, itu seharusnya menjadi urusan pribadi Adam dengan Papanya. Tapi ya sudahlah, keinginanku kali ini hanya keluar dari sini. Perlahan tapi pasti, aku menurunkan kakiku. Brankar yang aku pakai sedikit menimbulkan suara deret tiap kali bergerak, membuatku harus ekstra hati-hati. Satu kaki sudah berhasil turun, tinggal satu kaki lagi. Tapi aku jamin, setelahnya tantangan ku lebih menantang dari ini. Perjuanganku kabur dari ruangan ini tanpa sepengetahuan Adam jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Ini bahkan masih secuil. Kalau dipikir-pikir, lebih mudah langsung berlari dengan catatan Adam akan mengetahuinya, daripada melambat-lambatkan pergerakan seperti ini dan membuat pikiran penuh dengan harapan basi. "Aku tidak bisa ikut acara keluarga, Pa. Aku telat pulang, ada les privat. Sepertinya Papa lupa." Kedua kakiku sudah berhasil turun. Baru saja hendak mulai maju satu langkah, bertepatan dengan itu aku melihat badan Adam yang hendak berbalik. Begitu luar biasa, refleksku sangat cepat. Aku langsung berbalik, naik ke brankar lagi dan menaikkan selimut. Tentu saja mataku kupejamkan lagi. Kembali ke mode awal. "Intinya aku akan pulang telat, Pa. Setelah les, aku kayaknya mau refreshing pikiran dulu. Hari ini ada satu orang yang bikin pikiranku agak kacau." Aku tidak mungkin salah dengar, Adam tertawa setelah menyebutkan seseorang yang sudah berani merugikan pikirannya. Aku jadi penasaran, siapa kiranya orang itu. Dia sangat luar biasa bisa mempengaruhi laki-laki nomor satu di sekolah ini. Sepertinya orang itu harus diberikan sebuah penghargaan dan namanya harus dipajang di buku sejarah. Ah, terdengar berlebihan. Bisa jadi orangnya adalah dirinya sendiri. Bukankah selama ini musuh terburuk adalah diri sendiri? "Sudah aku katakan. Papa tidak perlu ikut campur. Urusanku tetaplah urusanku, Papa tidak perlu pusing. Cukup urus pekerjaan Papa dan nama baik Papa saja. Aku tutup." Pertanda Adam sudah menyelesaikan obrolannya dengan papanya. Pertanda juga untukku harus benar-benar serius memulai sesi kepura-puraan ini. Iya, pura-pura masih tertidur, padahal beberapa menit yang lalu sudah merancang kabur. Kalau dipikir-pikir, aku cukup nakal juga. Setidaknya tidak senakal dan seburuk perilaku Erina padaku selama ini. Bak keheningan yang dibelah suara tapak kaki memekakkan telinga, aku mendengar suara langkah Adam. Sangat jelas. Anehnya, itu membuatku takut. Mungkin aku takut ketahuan pura-pura tidur, atau mungkin sesuatu hal lain yang belum aku sadari dari dalam diriku. Semakin terdengar jelas, semakin aku memejamkan mataku dengan erat. Bahkan cubitan tanganku di selimut semakin kuat. "Gue tidak mungkin salah lihat. Perasaan terakhir kali gue tidak pakaikan selimut deh," ujar Adam yang membuatku seketika merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Melebihi kebodohan Erina. Sorry to say, aku harus terpaksa menganggap kalau Erina adalah orang yang bodoh sekaligus malas. Selain karena tugasnya dikerjakan olehku bahkan celana dalamnya pun dicuci olehku. Definisi sang putri yang tidak pantas diakui demikian. "Bangun. Tadi gue udah liat lo udah sadar." Tidak ada gunanya aku pura-pura tidur lagi sekarang. Perlahan aku membuka mataku dan yang aku lihat pertama kali adalah seringai anehnya. Aku tidak bisa mengartikan apa arti seringaian itu, aku tidak tahu banyak tentang hal seperti itu. Tapi yang pasti adalah aku sangat malu saat ini. Sangat. Aku tidak bisa menggambarkannya. Ingin sekali rasanya kabur dari depan Adam, dan tidak memperlihatkan diri lagi di depannya. Andai bisa. Aku tidak tahu mau mengatakan apa setelah ini. Duduk setengah badan, menunduk dan memainkan jari tanganku yang bahkan tidak salah sedikitpun. Ini rasanya sangat canggung. Otakku blank, tidak ada ide untuk membuka percakapan apapun dengannya. Beberapa saat aku sengaja menggerakkan mataku tuk melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh laki-laki itu kali ini. Dan kalian tahu apa yang dia lakukan? Dia menatapku. Kaget. Aku sontak langsung membuang muka seolah aku baru saja ketahuan telah melakukan hal yang paling salah di dunia ini. Padahal aku hanya baru menemukan dia yang masih menatapku. Seharusnya aku tidak begini, bukan salahku. Salah Adam yang tidak mau melihat ke lain. Anehnya lagi, aku senang, aku ingin berjingkrak. Aku merasa menang, tapi aku yakin aku akan kalah. Itu pasti. "Bagaimana keadaanmu? Udah baik-baik aja, kan?" Agak terkejut kala tangan Adam mendekati dahiku, yang membuatku spontan menepisnya. Agak kasar, bahkan rasanya itu terdengar seperti tamparan. Astaga, aku mungkin terlalu kasar padanya. Dia bahkan sampai melotot ke arahku sambil mengelus tangan yang tadi aku tepis. Berharap dia tidak memasukkan itu ke dalam hatinya dan punya dendam pribadi padaku. Jangan sampai laki-laki ini bekerjasama dengan Erina untuk membalasku. Kalau sampai itu terjadi, aku benar-benar tidak akan percaya lagi dengan semuanya. Hanya karena hal kecil, malah dibesar-besarkan. "Gue minta maaf. Gue ngaku salah," kataku dan cepat-cepat membuka lilitan selimut di tubuhku. Setelah selimut itu lepas, aku turun dari brankar. Aku harus segera keluar dari ruangan ini, dengan atau tanpa Adam. Lebih baik laki-laki ini tidak ikut. "Kalau gue boleh tahu, ini sudah jam berapa dan sudah masuk mata pelajaran yang ke berapa?" Aku bertanya pada Adam, senantiasa menunduk enggan menatapnya. "Gue harus balik ke kelas secepatnya atau hukuman gue makin bertambah tiap jamnya. Gue gak mau pingsan lagi dan merepotkan banyak orang, termasuk lo. Tapi by the way, gue sangat berterima kasih lo mau nolong gue." Tatapanku terus lurus pada sepatu lusuh bekas milik Erina. Kapan lagi aku punya sepatu bagus? Tidak akan pernah. Jangankan itu, punya sepatu baru saja tidak pernah. Selama ini aku hanya bisa memakai bekas milik Erina. Seolah sangat haram bagiku menyentuh barang-barang baru, apalagi sampai bermerek. "Sepertinya lo gak bisa masuk ke kelas sekarang," ujar Adam. "Kenapa?" Tanyaku seketika, mengangkat kepalaku memandang Adam. Tentu aku tidak punya pertanyaan lain selain ini. Aku harus tahu alasannya, setidaknya itu sedikit membuat hati terasa tenang dan ikhlas menerima hukuman esok harinya. Tapi ya, Adam tetap lah Adam. Dia malah nyengir alih-alih menjawab. Aku sedikit merasa tersinggung, terlebih ketika ia bergantian melihatku dari atas ke bawah. Iya, aku sadar, bahasa kasarnya aku sampah dimanapun aku berada. Orang-orang tidak perlu sampai sejelas itu menunjukkan betapa rendahnya diriku. Aku paham, aku sadar, dan aku terima. Aku tidak bisa mengubah ini sesuai dengan yang aku inginkan, sebab itu tidak akan mungkin, lebih tepatnya sulit. Apakah ada orang yang bisa mengerti aku tanpa ada alasan? Aku membutuhkannya. "Gue tahu gue kumal, kayak pengemis. Lo tidak perlu sampai seperti itu memandang gue." Kubuang mukaku, cukup merasa sakit hati dengan perihal ini. Saking kesalnya perasaan yang aku rasa sekarang, aku sampai melipat tangan di depan d**a. Sayangnya gelagat tubuh yang seperti ini tidaklah cocok denganku. Membuatku tidak nyaman. Dalam sekejap aku menurunkan tanganku kembali. "Jawab sesuatu atau gue anggap lo emang benar-benar hina gue dengan tatapan lo yang kayak gitu," kataku lagi. "Gue enggak pernah hina lo. Mungkin lo merasa tersinggung, tapi gue enggak pernah melakukan itu. Sama sekali." "Terus?" Kalau memang bukan menghina, apa maksudnya? Setidaknya dia menjelaskan apa niatnya alih-alih mencari alibi lain. Dasar laki-laki, banyak alasannya. "Lo tadi ngetawain gue sambil mandang gue dari atas sampai bawah. Kalau bukan menilai rendah gue, apalagi?!" "Gue ketawa bukan karena gue menghina lo. Gue ketawa karena lo bertekad mau ke kelas, padahal ini sudah bukan jam pelajaran lagi." "Maksud lo?" Tanyaku lebih jelas lagi. Apakah maksud dia ini sudah waktunya pulang? "Ini sudah waktunya pulang?" Tanyaku. Adam mengangguk. "Iya. Ini sudah sore." Astaga. Refleks aku menepuk dahi sendiri. Alamak! Apa yang akan Erina katakan nanti kalau aku sudah sampai rumah? Dia pasti akan mengadu, mengatakan hal yang tidak-tidak pada Mama dan Papa. Dia akan melebih-lebihkan cerita, nada suaranya, bahkan segalanya tentangku hingga nama baikku semakin buruk di depan Mama dan Papa. Dan aku yakin, setelahnya Mama akan semakin membenciku dan Papa akan semakin mengabaikan aku. Maka pertanyaan terbesarnya, untuk alasan apa lagi aku bertahan? "Terus gimana?" Tanyaku bingung, sedikit resah. "Tasku?" Bergegas mencari keberadaan tasku. Aku pikir ada di sekitarku, tapi tidak ada. Aku mencari ke semua sisi yang ada di ruangan ini, sedangkan Adam hanya berdiam di tempat semula. Dia hanya menatap tanpa berniat membantu. Toh aku juga tidak butuh bantuannya. Atau bisa jadi aku membutuhkannya? Aku tidak menemukan tas koyak itu. Baiklah. Aku mengaku kalau aku memang membutuhkan bantuannya. Meski menanggung malu yang teramat sangat besar, aku membulatkan tekadku menghadap Adam. "Lo bisa bantu cariin tas gue?" Aku sangat berharap setelah ini dia mengangguk mengiyakan. "Tas lo udah gue buang." Kalau sebelumnya aku kaget karena dia mau menyentuh keningku, kali ini aku lebih kaget dengan dia yang membuang tasku. Tasku! Itu harta berharga bagiku. Mungkin semua orang bisa memiliki tas yang lebih layak, mewah dan lebih baik. Tapi bagiku itu sudah yang terbaik. Aku tidak punya uang untuk membeli yang terbaik lagi. "Apa?! Lo buang tas gue?" Cowok itu mengangguk santai. "Iya. Gue buang tas lo." Ulangnya lagi, bahkan lebih santai dari sebelumnya. Ia juga menunjuk ke arah luar ruangan. Mungkin di sana lah ia membuangnya. "Lagian buat apa lo pakai tas itu terus? Lo gak bisa lihat kalau tas itu sudah bolong, sudah penuh sama jahitan tangan, banyak robekan juga. Secara logika, tas itu sudah tidak layak pakai—" "Secara logika, lo tidak boleh dan tidak bisa membuang barang yang bukan milik lo," aku menyela Adam, bahkan rasanya aku ingin melampiaskan kekesalanku yang semakin menebal untuknya. Tidak ada ketakutan yang aku rasakan kini. Tidak ada pula kecanggungan yang tadi begitu dominan terasa. Malah, aku ingin mencekiknya demi rasa yang tidak bisa tergambarkan kini. "Itu barang gue, bukan barang lo. Se tidak layak gimanapun barang yang gue pakai, itu bukan urusan lo. Mungkin bagi lo itu sampah, tapi bagi gue itu barang berharga. Stop jadi orang ngeselin. Lo ngerti, kan?" Tidak ada gunanya aku berlama-lama dengan Adam. Aku bahkan sengaja menabrak bahunya kala melintasinya. Itu sengaja. Catat, SENGAJA! "Lo gak bisa keluar dari ruangan ini begitu saja. Gue masih pegang kuncinya." Seakan ada yang menarik rem kakiku, aku seketika berhenti melangkah, berbalik menghadapnya lagi. "Dimana kuncinya? Gue mau keluar dari sini. Gue mau ambil tas gue. Di sana ada barang yang sangat penting, bahkan lebih penting daripada ketemu sama lo." "Percuma." Dan dia menjawabnya dengan itu. Pantas kah aku bersabar pada pria ini? Kalaupun ia, dengan alasan apa? Sepertinya sangat tidak penting berbuat baik dan sabar pada pria yang dengan kurang ajarnya membuang barang milik orang lain yang bahkan bukan miliknya. Cowok ini sangat sesat. "Lo udah tidur di uks ini dari pagi sampai sore, sedangkan tiap siang staf kebersihan di sekolah ini membuang sampah. Kalau pun lo cari sekarang, aku yakin itu percuma. Mending beli baru aja." "Tapi gue gak punya uang!" Seketika aku langsung berteriak dan mengatakan itu. Kesabaranku sudah habis, padahal kalau dipikir-pikir cowok ini ada benarnya juga. Tas itu lebih layak dianggap sebagai sampah, bukan sebagai wadah penyimpanan buku pelajaran. Mau bagaimana lagi, aku memang semiskin itu. "Gue enggak punya uang atau apapun yang bisa dijual supaya gue bisa punya tas lagi. Kalau tas gue udah diangkut entah kemana sama orang kebersihan, artinya gue udah gak bisa cari dan punya tas gue itu lagi. Terus kalau udah gitu, gimana caranya gue sekolah?" "Harus pake kresek?" Tanyaku. "Atau pakai karung?" Aku memberikan opsi lain lagi. Benar-benar aku ingin bertengkar dengan Adam saat ini. "Gue bisa beliin lo tas," mudah bagi Adam mengatakan itu. Secara dia anak yayasan sekolah ini, dan dia digadang-gadang sebagai siswa paling kaya di sekolah ini. Hanya harga sebuah tas, itu adalah urusan yang paling mudah baginya. "Tapi gue gak butuh!" Aku menolak. Untuk apa aku menerima pemberiannya setelah ia mengambil barang berharga milikku? Tidak mau sakit untuk kedua kalinya, itu istilahnya. Bagaimana kalau setelah dia membelikanku tas, dia akan meminta banyak hal padaku karena sudah membuatnya mengeluarkan uang yang bahkan tidak bisa aku ganti? Heh, itu bahkan lebih menjijikkan daripada yang Erina lakukan. Setidaknya Erina memberikanku tempat tinggal, meski aku tidak merasakan kekeluargaan di sana. "Lo pasti akan butuh." Adam mendekat, mengeluarkan sebuah kunci dari saku celananya. "Dan kalau gue boleh memberi nasihat sama lo, jangan terlalu keras. Kelak itu yang bikin lo kesusahan. Kalau ada orang yang mau berbuat baik sama lo, terima. Jangan nolak." Dan itu membuatku bungkam. Kubiarkan Adam menang. *** Seumur hidupku, aku tidak pernah bepergian jauh selain daripada ke rumah dan ke sekolah. Pernah naik mobil, tapi dalam kondisi harus menerima segala caci makian bahkan hinaan Erina dan Mama yang bahkan tidak pernah ikhlas membersamaiku. Maka akan aku katakan dengan lantang meski itu akan sangat menyusahkan kalau aku lebih nyaman jalan kaki kemanapun aku pergi, sejauh manapun lokasinya. Memang sesekali aku akan tersesat dan bertanya-tanya pada banyak orang. Sekali lagi, itu lebih baik daripada aku bertanya pada Erina yang meski nada bicaraku kecil namun selalu dibalas dengan lantang olehnya. Tidak masuk akal. Kali ini, sore ini aku bersama orang lain. Dengan Adam tepatnya. Dia membuatku tidak bisa menolak ucapannya, lebih tepatnya lagi kalau aku juga membutuhkan tas bagaimanapun keadaannya. Ya mungkin satu-satunya kemungkinan yang aku dapatkan setelah mendapat tas baru itu, nanti ketika di rumah Erina dan Mama akan menginterogasi hingga ke akar-akarnya dan paling parahnya bisa jadi mereka menggunting-guntingnya. Aku bisa menjahitnya lagi dan tampilannya tidak akan jauh berbeda dari tas yang sebelumnya. Ah sudahlah, aku tidak mau memikirkan itu lagi. Kepalaku makin pusing. Jujur saja, aku ingin minum, tapi aku enggan mengatakan itu pada Adam. Aku juga lapar. Kenyataannya, uang satu rupiah pun tidak aku miliki. Sudahlah, tahan saja sampai nanti di rumah. Adam menarik tangan kiri ku, mengarahkannya ke pinggangnya. "Pegangan yang erat. Gue mau ngebut soalnya jalanan agak sepi. Biar gak lama di jalan, biar lo juga bisa makan cepat-cepat," ujarnya. Sejujurnya, aku agak kurang mendengar apa yang dia katakan. Tapi dari gerak-geriknya, dia mau aku pegangan erat di pinggangnya. Ya ini salahku juga karena aku terlalu menjaga jarak, bahkan aku sampai mau di ujung dudukan motor itu. Aku hanya takut ada yang melihat kami berdua keesokan harinya banyak skandal yang terdengar. Siapapun tidak ada yang mau kena masalah, bukan? Tapi baru saja aku berpegangan di pinggangnya, Adam benar-benar menambah kecepatan motornya. Dia mengebut, aku merasa melayang. Bukan untuk hal-hal seperti gombalan atau hal lainnya, tapi jujur saja aku jarang pakai motor. Aku tidak terbiasa diajak ngebut di jalan apalagi sampai merasa melayang dan berpegangan erat pada orang yang bahkan tidak pernah diduga sebelumnya. Rasa melayang ini anehnya terasa nyaman, dan aku suka. Membuatku sedikit menikmati rasa bebas yang inginkan, atau memang seperti ini lah rasanya yang sebenarnya? Ah, itu indah. "Abila!" "Iya?" Sedikit mencondongkan badanku agak ke samping, demi mendengarkan apa yang mau diucapkan Adam. Dia memanggil di tengah kesibukannya yang harus fokus ke jalanan, bukankah itu artinya apa yang mau dia sampaikan sangat penting? Atau mungkin aku lah yang berlebihan. "Enggak jadi. Nanti saja." Harapanku pupus, padahal aku sudah sangat penasaran. Aku ingin tahu apa yang mau dia katakan, dan dia menjatuhkan semangatku. Tapi ya sudahlah, itu bukan masalah yang harus dibesar-besarkan. Aku hanya berharap dia mengingatnya dan mau mengatakannya nanti. Kalaupun tidak juga bukan masalah. Lampu merah demi lampu merah kami lewati. Aku tidak tahu dia mau membawaku kemana, cukup malas juga untuk bertanya padanya. Kalau dia rasa itu perlu, dia pasti akan memberitahu sesuatu. Kenyataannya, sepanjang jalan dia terdiam dan aku juga menyesuaikan. Sampai akhirnya motornya berhenti di sebuah rumah makan. "Lo lapar ya?" Tanyaku yang sebenarnya tidak penting sembari turun dari motornya, atau mungkin saja itu kode dari cacing di perutku kalau aku juga sedang lapar. "Enggak," jawab Adam. Dia pun juga turun dari motornya. Cara dia membuka helmnya dan cara dia memperbaiki tatanan rambutnya, itu sangat dan sangat luar biasa. Aku akui dia terlihat sangat tampan kala itu, bahkan tidak saat yang demikian juga bisa diakui dengan sangat sadar. Maka tidak heran Erina dan banyak siswi yang lainnya yang mengejar-ngejarnya dan menjadikannya sebagai cowok impian alias most wanted di sekolah. "Terus?" Tanyaku, sebenarnya random. Aku tidak tahu mau melakukan apa untuk menghilangkan rasa kekagumanku padanya tadi. Tenang saja, itu hanya sekejap, selebihnya aku masih kesal padanya. "Kalau lo gak lapar, kita gak usah mampir. Langsung aja ke rencana awal, biar kita juga cepat pulang. Gue yakin gue udah ditungguin di rumah." "Lo laper, belum makan. Jangan sampai lo pingsan lagi hanya karena cacing di perut lo lelah demo seharian." Adam membuka jaketnya, memakaikan itu untukku. Lagi, aku kagum dengannya. Bahkan sebelum aku sadar, Adam menarik tanganku, menggenggamnya di hadapan banyak orang. Astaga, bagaimana kalau di antara banyak orang itu ada yang dari siswa-siswi di sekolah? Bagaimana kalau mereka tahu dan menyebarkan rumor ini? Bahaya. Sangat bahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD