Bab 3. Skandal dengan Si Most Wanted

1971 Words
"Lo bawain semua barang-barang gue. Tas gue, buku-buku paket gue, sepatu gue, bekal gue, pokoknya semuanya lo yang bawa. Hari ini tangan gue lagi mager." Erina menyerahkan semua barang-barang miliknya dengan begitu mudahnya, menumpuknya di tanganku hingga hampir menenggelamkan kepalaku saking banyaknya. Ia tidak peduli aku keberatan atau tidak, karena yang terpenting baginya saat ini adalah santai dan santai, tanpa beban sedikitpun. Sudah saatnya kembali membabu. "Cepet bawa barang gue tanpa ada yang jatuh sedikitpun." Dengan penuh hati-hati aku turun dari tangga, lebih memprioritaskan barang-barang milik Erina dibandingkan denganku sendiri. Satu saja barang yang jatuh tanpa sengaja bisa membuat rumah terguncang oleh suara amarahnya yang begitu menggelegar. Setelah memasukkan semua barang-barangnya dengan selamat sampai ke dalam mobil, itu artinya aku juga sudah selamat. Cukup senang, tapi tidak sesederhana itu. Mobil penuh dengan barang-barang milik Erina dan aku tidak punya tempat lagi di dalam mobil itu. Tanpa perlu menunggu Erina lagi, aku sudah tahu mau melakukan apa setelah ini. Ya, apa lagi kalau bukan penyiksaan? "Gue lari aja ke sekolah. Gak ada tempat duduk buat gue di dalam." "Bagus deh kalau lo sadar diri. Mobil ini emang gak pantes dimasukin sama lo," ujarnya mengejekku. Ia mendorong bahuku, "Jangan deket-deket mobil gue, nanti mobil gue kotor. Ingat, lo harus sampai di sekolah sebelum gue sampai. Kalau gue yang lebih duluan sampai, mampus lo!" Ancamnya, menunjukkan jari tengahnya padaku, bahkan sampai meludah di depanku. "Iya," balasku terpaksa, tahu persis dengan tabiatnya yang seperti apa. Jika aku menolak, maka dia akan semakin mengancam. Dia hanya bisa mengancam dan mengancam. "Aku pastikan tidak akan telat." Tepat setelah ia menyalakan mesin mobilnya, tepat pula dengan kupaksakan kakiku berlari menuju sekolahan. Lari secepat mungkin, napas perlahan tercekat dengan rasa lelah yang begitu luar biasa. Dari rumah sampai ke sekolah jaraknya cukup jauh, apalagi harus melewati jalan raya yang ramai dengan kendaraan roda dua hingga roda empat. Jika aku tidak berhati-hati menyebrangi jalan raya, bisa saja aku ditabrak. Sayangnya, jika kalian mengatakan aku bodoh, dengan sukarela akan kuterima panggilan itu, bahwasanya aku adalah manusia yang bodoh. Tapi yang perlu kalian ketahui, yang kupunya saat ini hanya kakiku saja, aku tak punya uang sepeser pun untuk mengojek. Apakah aku punya pilihan lain selain berlari? Mengejar sisa waktu yang diberikan Erina? Tidak, selain menuruti perintah Sang Putri Raja. Lelah mungkin terasa, kaki lemas sepanjang perjalanan membuatku hampir menyerah, keringat membanjiri sekujur tubuhku hingga membuat baju sekolahku basah padahal masih sangat pagi, tapi asa yang kupunya untuk sampai sekolah tepat waktu tidak boleh terputus begitu saja. Aku harus terus berusaha, terpaksa pun tidak apa. "Ayo semangat, Abi. Jangan ngeluh," kuperingati diriku sendiri. Hampir membuatku menangis, memikirkan kenapa aku bisa semenderita ini. "Ingat, kamu masih punya dua kaki, manfaatkan itu sebaik-baiknya. Jangan menyerah, tetap berjuang sampai badan tidak mampu bangkit lagi," gumamku sepanjang perjalanan. Napasku tercekat, ngos-ngosan, tidak sanggup lanjut lagi. Aku beristirahat sebentar, memegang lututku yang rasanya mau copot dari tempatnya. Tidak jauh dari tempatku sekarang, aku sudah melihat gerbang sekolah dengan cat berwarna keemasan. Senyumku merekah, ada rasa kebanggaan tersendiri yang kurasakan. Senang sekali rasanya bisa kuat berlari hingga sampai di sekolah. Mungkin aku cocok jadi atlet lari, atau mungkin atlet lari dari kenyataan? "Huft... Ayo, Abi. Bentar lagi sampai." Baru saja aku mulai berlari lagi, aku tidak melihat ada batu besar di depanku dan malah membuatku tersandung, terjatuh, menggelinding di tepi jalan raya. Beruntungnya tidak ada kendaraan yang lewat, atau badanku mungkin saja bisa putus di tempat, tapi sayangnya, lututku yang jadi korbannya. "Awww!" Spontan aku berteriak kesakitan, lutut ku lecet dan terasa begitu perih. Dan berdarah. Paket komplit sekali pagi ini. Menghela napas panjang dan berat. Dunia kejam sekali padaku. "Baru aja senang mau sampai sekolahan, eh malah kesandung gini. Mana lututku berdarah lagi. Hadeh... Ada-ada aja." Mobil Erina lewat begitu saja di depanku. Mataku melotot, mulutku menganga terbengong, separuh dari diriku tidak terima Erina lebih dulu sampai di sekolahan, tapi separuhnya lagi memang salahku sendiri. Kenapa aku malah jatuh tersandung dan memotong waktu untuk bisa sampai tepat waktu? Itu lah kesalahanku. "Ya udah lah... Mau gimana lagi? Nasibku udah kayak gini. Erina duluan datang, otomatis aku bakal dihukum setelah ini." Aku pasrah, tidak memaksa kakiku tuk cepat-cepat sampai sekolah lagi. Luka lecet di lututku membuatku tidak bisa leluasa berjalan, tertatih-tatih seperti anak kecil yang baru belajar jalan. Setidaknya aku tidak ketinggalan jauh. Hingga akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolah, Erina dan gengnya sudah pasang badan menungguku. Tampak jelas mereka sudah tidak sabar memberikan hukuman, apalagi dengan senyuman miring meremehkan yang selalu terpasang di bibir mereka. Lipatan tangan di depan d**a membuat mereka tampak begitu arogan, ya memang seperti itu lah mereka. Tidak jauh berbeda. "Lamban banget sih!" Erina menarik tanganku penuh paksaan menuju mobilnya yang sudah terparkir cantik. "Bukan pintu mobil gue, dan bawa semua barang-barang gue beserta barang temen-temen gue ke dalam kelas!" Perintahnya padaku. Sebenarnya aku tidak terima, tapi aku harus menyanggahnya dengan cara apa? Aku tidak punya kekuatan untuk menolak Erina ataupun teman-temannya. Segera kubuka pintu mobil dan mengambil semua barang-barang yang berjejer cantik dan rapi di kursi penumpang belakang. Kutumpuk menjadi dua bagian, dan mengambil satu bagian, "gue bawa sedikit-sedikit dulu. Nanti gue balik lagi bawa sisa barang-barang lo sama temen-temen lo," kataku dan membawa tumpukan barang-barang pertama. Sekuat tenaga kutahan kakiku yang terluka, terlebih lagi saat naik tangga. Rasanya begitu perih, kulit lututku seperti dirobek lagi setiap kali aku melangkah. Sampai-sampai aku mengigit bibirku sendiri saking menahan rasa perihnya. Andai Erina merasakan hal yang sama, apakah dia sanggup? Aku bisa pastikan dia akan menangis seperti anak kecil dan mengadu pada mama, kemudian pada akhirnya aku lah yang menjadi samsak paling empuk mereka. "Mau gue bantu?" Kugeser tumpukan barang-barang Erina ditanganku tuk melihat orang yang baru saja menawarkan bantuan untukku tuk pertama kalinya seumur hidupku. Di luar dugaan, ternyata Adam lah orangnya. "Mau apa dia sekarang? Aku takut Erina marah," batinku. "Maaf, tapi lo lagi ngomong sama gue?" Kupastikan sekali lagi, kali saja aku salah dengar. Tapi, yang ada dia malah mengangguk, kemudian nyengir memperlihatkan senyumannya yang terlihat manis? Aku mengakui itu. Pantas Erina tergila-gila padanya, sampai-sampai sekedar bersapa saja dengan cowok yang satu ini, Erina sangat melarangku. "Iya, gue mau bantuin lo," katanya. "Hmm... Bukannya gue gak mau terima tawaran lo, cuman gue hanya mau ambil jalur aman aja. Gue gak mau jadi bulan-bulanan semua cewek-cewek di sekolah ini hanya karena kebaikan lo sama gue yang pasti membuat mereka salah paham." Aku melengos, melanjutkan tuk masuk ke dalam kelas. Aku tidak tahu kalau cowok itu ikut juga masuk ke kelasku. "Perlu berapa kali lagi lo bolak-balik bawa barang-barang mereka?" Tanyanya padaku. Ternyata dia tahu. Setelah kemarin dia tahu dalang dari pemalsuan tulisan tangan, sekarang dia tahu tabiat Erina dengan geng-gengnya. Setelah ini, apa lagi yang dia ketahui? Dan untuk apa dia repot-repot mau tahu? Cukup mengherankan. "Emangnya kenapa? Mau seribu kali pun gak ada hubungannya sama lo. Mending lo tebar pesona aja deh, keliling kelas atau gimana kek, terserah lo yang penting jangan temui gue. Jujur aja deh, gue gak mau berurusan sama lo." Aku menggeser tubuhnya karena tubuhnya menghalangi langkahku tuk balik mengambil barang-barang milik tuan putri dengan geng-gengnya. "Padahal niat gue baik, lho." Dia tetap tidak mau membebaskanku begitu saja, tetap mengikutiku. Bahkan sekedar berjalan beriringan di lorong sekolah pun sudah banyak yang melirik ke arah kami berdua. Cukup membuatku risih, aku yang selama ini tidak pernah diperhatikan, malah sekarang hampir semua orang mata melirikku. Akibat ulah cowok terkenal yang satu ini. Sampai parkiran, Erina dan gengnya langsung menoleh memperhatikanku. Pasti Erina marah lagi sama aku. Tangannya melipat di depan d**a, mendengus kesal penuh dendam kesumat. Mungkin kalau tidak ada Adam di sampingku, dia akan menjambak rambutku hingga tercabut sampai akar-akarnya, saking marah dan kesalnya mereka padaku. Lalu aku harus apa? Aku sudah menyuruh cowok terkenal rebutan semua cewek-cewek ini menjauh dariku, tapi dia malah semakin mendekat. Aku tidak mungkin berteriak maling supaya dia berlari pergi, jelas itu bukan dirinya. Aku sudah berusaha. Kuambil sisa barang-barang Erina yang belum kubawa, lalu ditambah lagi dengan barang-barang temannya hingga di batas mampuku. Sayup-sayup kudengar Erina bergosip dengan gengnya. "Eh, kok bisa si pembantu itu dekat sama Adam? Bukannya papa Adam itu pemilik sekolah ini ya? Sudah pasti selera pertemanannya tinggi, gak rendahan kayak si pembantu itu." "Palingan bentar lagi dijadiin pembantu juga. Mana mungkin Adam mau sama cewek kayak dia. Adam itu tipenya high class kayak Erina." "Iya, bener banget. Palingan dijadiin pelampiasan aja." Kemudian mereka tertawa-tawa meremehkan ku. Aku cukup kecewa dan malu mendengar ucapan mereka terhadapku, seakan-akan mereka Tuhan yang tahu persis apa saja yang aku alami selama ini. Mereka menganggapku sebagai pembantu, bahkan terang-terangan menyebutku murahan. Apa mereka gak malu dengan mulut mereka sendiri? Tidak malu dengan hati kotor mereka? Aku saja malu mendengarnya. "Sini, gue aja yang bawa. Lo bawa yang ringan-ringan aja." Adam mengambil alih barang-barang yang mau kubawa. Jujur, agak senang, sedikit meringankan bebanku, tapi amarah Erina membuatku harus mikir berkali-kali. Kenapa dia bisa sebaik ini sama aku? "Gak," tolakku, mengambil tumpukan barang itu lagi. "Mending lo balik ke kelas lo aja deh, jangan kotori tangan lo sama pekerjaan gue yang kayak pembantu." "Tapi gue gak tega sama lo. Lutut lo lecet, pasti perih, ditambah lo larian dari rumah sampai ke sekolah. Apa lo gak lelah? Gue aja lelah liat lo!" Dari mana dia tahu aku larian dari rumah sampai ke sekolah ini? Dari mana dia tahu lututku lecet? Apa dia memasang satelit di atas kepalaku dan bisa mendeteksi kemanapun aku pergi? Lucu sekali. Tapi, bagus. Pertanyaan yang sangat bagus dan untuk kesekian kalinya aku akan menjawab kalau aku lelah. Mereka semua tidak tahu kalau rasa lelah dan sakit sudah tercipta beriringan denganku. Sukar sekali rasanya bagiku mendapatkan rasa cinta dan sayang. Sepertinya aku harus menyelami lautan samudra yang luas, melewati gunung dan lembah, bertahan di kobaran api hingga akhirnya tubuhku remuk tak terbentuk, baru akhirnya aku bisa bahagia. Artinya apa? MUSTAHIL. "Biar lo gak lelah, ya jangan liat gue. Sesimpel itu." Aku melengos membawa barang-barang itu sendirian. Aku juga tidak peduli dengan tatapan kebencian dari Erina dan geng-gengnya. Sesuatu yang paling tidak bisa aku mengerti di dunia ini adalah kenapa cowok seperti Adam tidak bisa di kasih tahu dalam satu kali? Lagi-lagi dia mengikutiku dengan membawa sisa barang-barang milik teman-teman Erina. Mau tidak mau, dia membuat ribut satu sekolah dengan beranggapan kalau aku dan dia ada hubungan. Padahal, TIDAK SAMA SEKALI. "Lo keras kepala juga ya ternyata," celetukku tertuju pada Adam. Cowok itu terkekeh. "Ya, anggap aja gue begitu. Senyamannya lo aja mau anggap gue kayak gimana." Oke, cukup unik. Aku pikir dia akan mengelak dan melawanku seperti Erina dan geng-gengnya. Dia cukup baik, cukup perhatian pada orang kecil sepertiku ini. Semua barang-barang milik Erina dan geng-gengnya sudah aku tata rapi di masing-masing meja milik mereka. Aktivitas membabu pagi ini selesai dengan bantuan cowok terkenal incaran semua cewek satu sekolah. "Oke, karena lo udah baik sama gue, gue cuman bisa kasih ucapan terima kasih aja. Kagak ada traktiran, gue gak punya uang. Jadi, jangan terlalu berharap sama gue kalau lo nolong gue lagi kedepannya, karena lo gak bakal dapat apa-apa," ujarku pada cowok yang sedari tadi mengikutiku terus. Aku merasa seperti buronan, yang gerak-geriknya diperhatikan penuh curiga. Banyak siswa-siswi yang mulai berkumpul di depan kelasku, hanya untuk satu jawaban—melihat bagaimana si pembantu ini berinteraksi dengan majikan barunya selain si Tuan Putri dengan geng-gengnya. "Gue bakal terima ucapan terima kasih lo asalkan lo mau ikut gue ke ruang UKS," katanya, tapi malah menarik tanganku, membelah kerumunan siswa-siswi yang semakin berdatangan memenuhi depan kelas. "Astaga, pasti sepulang sekolah Erina akan memukulku. Alamat punggung memerah, bahkan mungkin membiru." Batinku, takut dengan hukuman yang menantiku sampai rumah nanti. "Lo gak perlu bawa gue ke UKS. Gue gak kenapa-napa, kok," ucapku, berusaha menolak. "Mata gue masih sehat. Jalan lo pincang gitu, kok." "Tapi gue gak kenapa—" "Lo mau jalan sendiri ke UKS atau gue gendong lo?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD