Part 1. Lari Yaa Lari
"Kei.... tunggu ibu, naaak. Aduuuh Kei sayang, jalan saja ya, ibu capek banget." Seorang perempuan berpakain lusuh, memakai ransel yang juga tampak lusuh, tampak sibuk mengikuti anak kecil sekira usia hampir lima tahunan yang berlarian ke sana ke mari karena terlalu gembira. Mereka sekarang berada di sebuah taman permainan terbesar di Indonesia.
Dufan, ya... Dufan. Taman bermain yang menggembirakan untuk anak-anak. Seperti Keisha, putri perempuan berpakaian lusuh itu, apalagi mereka berasal dari kampung jauh dari Jakarta. Butuh perjuangan untuk akhirnya dia bisa membawa putrinya ke Dufan. Memenuhi permintaan putri cantiknya. Sebenarnya dia tidak mau lagi datang ke Jakarta, kota kelahirannya, kota di mana dia dibesarkan. Semua karena trauma yang masih membekas di otak dan tubuhnya.
Perempuan berpakaian lusuh yang sekira berusia 29 tahun itu, walau tampak lelah tapi tetap tersenyum dan mencoba mengikuti putrinya yang berlarian, berlompatan tak tentu arah karena terlalu gembira. Bagi anak seusia putrinya dan berkemampuan ekonomi sepertinya, Dufan seperti dunia mimpi yang menjadi nyata. Rasanya tak percaya bahwa dia akhirnya bisa ke Jakarta dan bermain di Dufan. Sesuatu yang biasanya hanya putrinya dengar dari cerita teman-temannya di kampung. Padahal putrinya tahu diri, tidak pernah memintanya untuk datang ke Dufan. Tapi beberapa minggu lalu, Keisha, putri cantiknya berulang tahun. Dan cucu pemilik galeri batik tempatnya bekerja memberi kado tiket kereta pergi pulang Jakarta ke kampungnya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberanikan diri berangkat ke Jakarta. Hanya berdua dengan putri cantiknya itu.
"Kei... tunggu ibu... sayang. Jangan lari jauh dari ibu, nak. Dufan sedang ramai, ibu takut nanti Kei terpisah dari ibu.” Perempuan itu berteriak sambil menyeka peluhnya. Ternyata Jakarta tetap saja panas, padahal dia sudah pergi dari kota ini sejak enam tahun lalu.
"Ha ha ha... ibu ayoo dong, kan kata ibu, ibu masih muda pasti ibu bisa kejar aku." Putrinya tetap saja berlari, terlalu gembira.
"Duh Kei... istirahat dulu ya, sebentar saja. Lagian kita belum makan siang dan sholat dhuhur loh. Dari tadi begitu masuk Dufan, Kei langsung lari sana lari sini. Ibu sampai pusing. Panas juga cuacanya nih. Sini nak, putri ibu, duduk dulu di sini. Minum dulu." Ajak si ibu muda itu kepada putrinya.
Setelah duduk beberapa saat di bangku yang tersedia, Kei, si gadis kecil cantik itu segera menegak habis minuman di botol yang mereka bawa.
"Yaah bu, maaf, minumnya Kei habiskan. Haus banget bu." Tuturnya dengan wajah memelas.
"Iya, gak pa pa nak, nanti kita beli lagi ya, sekalian beli makan siang." Jawab perempuan itu sambil mengelus rambut ikal panjang putrinya. Sangat mirip dengan suaminya, ayah putrinya itu.
"Iya ibu. Kei lapar bu, mau makan nasi yang banyak. Lauknya sedikit saja gak papa kok bu, sayur sama nasi yang banyak. Jadi perut Kei gak kelaparan pas Kei main. Kan masih banyak permainan yang belum kita coba ya bu."Kata putrinya dengan cerdas.
Ibu muda berpakaian lusuh itu mengangguk dan kembali mengelus sayang rambut ikal panjang putrinya. Wajahnya selalu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang sempat mendiami hatinya, bahkan mungkin sampai sekarang masih bercokol nyaman di suatu tempat di sudut hatinya. Ibu muda itu segera membuka tas ranselnya dan mengambil sebuah dompet, yang juga sebenarnya tak layak disebut dompet. Hanya sebuah gumpalan kain agak tebal yang dia jahit tangan di sisi kanan kiri kain itu dan diberi pembatas di tengahnya. Dibukanya dompet itu dan matanya secepat kilat menghitung lembaran yang tersisa. Dia harus pintar mengatur pengeluaran selama di Jakarta walau hanya dua hari.
Uang yang dibawanya sangat terbatas. Lagipula dia tak menyangka, tiket terusan Dufan ternyata sangat mahal, baginya sekarang. Dulu, jauh sebelum kejadian itu, dia tak pernah memikirkan berapa nominal rupiah yang dikeluarkannya. Toh saldo kartu atm miliknya dari beberapa bank yang disediakan papanya, selalu penuh. Yaaah, itu dulu. Beberapa tahun lalu. Saat ia masih menjadi kesayangan keluarganya.
"Bu... kok malah melamun? Kei lapar bu. Jadi beli makan siang atau tidak? Kalau uang Ibu tidak cukup, Kei akan makan roti yang dibawa dari kampung kemarin gak papa kok bu." Kata putrinya sambil menggoyang tangannya pelan. Berusaha menyadarkan ibunya yang sering melamun.
"Eeh iya... Maaf Kei sayang, ibu tadi sedang berpikir akan beli apa untuk Kei makan siang. Mmm Kei belum pernah mencoba makanan ala Jepang kan ya? Kita beli itu saja yuk, di restoran depan itu." Ajak ibunya. Seketika wajah cantik anak kecil di hadapannya menjadi cerah. Mengangguk senang.
"Boleh ibu?? Kita makan di restoran? Benar bu? Waah pasti makanannya enak-enak banget ya bu? Tapi pasti mahal ya bu? Uang ibu cukup? Kalau tidak cukup, makan roti saja Kei tidak apa-apa bu."
Perempuan muda itu terenyuh hatinya. Bahkan putrinya yang masih balita saja sudah tahu kondisi ekonomi mereka. Tak pernah mau menyusahkannya dengan meminta berbagai hal yang biasa diminta anak-anak seusianya. Makanan, pakaian dan boneka. Kei sangat pengertian padanya. Sangat penurut. Pintar. Cantik. Dan sungguh mirip ayahnya. Yang bahkan mungkin tak pernah tahu bahwa dia mempunyai darah daging yang bahkan sudah sebesar ini.
Perempuan muda itu segera mengajak putrinya menuju restoran cepat saji yang menyediakan makanan ala Jepang. Kei pasti akan suka, apalagi porsi lauknya lumayan banyak. Jadi untuk berhemat, dia akan pesan nasi dua. Lauk dan salad bisa barengan dengan putri kecilnya. Dia harus pintar mengatur pengeluaran.
"Kei, duduk di sini ya. Tetap di sini saja, jangan ke mana-mana. Ibu akan pesan makanan dulu. Sebentar saja kok sayang." Ibu muda itu kemudian berjalan menuju antrian pembeli makanan.
Kei mengangguk, seakan mengerti pesan ibunya. Digoyangkannya kakinya mengikuti senandung lagu anak-anak yang sering didengar dari ibunya. Suara ibunya sungguh merdu saat menyanyi, apalagi mengaji. Membuatnya juga rajin mengikuti ibunya menyanyi dan mengaji.
Saat itu ada sepasang lelaki dan perempuan yang sudah selesai makan dan berniat meninggalkan restoran. Si perempuan muda yang tampaknya sedang hamil itu, secara tak sengaja melihat Kei. Dia takjub dengan kecantikan gadis kecil itu.
"Eeh.. lihat deh gadis kecil yang duduk di pojokan situ. Cantiiik banget. Duuh, semoga dede bayi di perut juga bisa secantik dia. Tapi kok kaya dejavu ya, rasa pernah lihat. Tapi di mana ya?" Perempuan cantik yang sedang hamil itu, sengaja mengganggu lelaki tampan di depannya, yang tampak bete karena harus menemaninya ke Dufan.
"Hmm..." Si lelaki tampak cuek saja, mengabaikan perkataan perempuan hamil nan cantik di depannya, dan tetap asyik dengan gadgetnya.
"Iiih kok aku dicuekin sih? Aaah yaa... dia mirip kamu pas kecil. Lihat deh, ingat gak fotomu pas lagi di taman depan rumah? Lagi nangis sambil bawa sendok? Nungguin makanan nambah tapi datangnya lama?" Kembali perempuan cantik itu mencoba mencari perhatian dari lelaki di depannya.
"Apaaa siih? Manaaa?" Dan ketika lelaki itu menoleh sekilas ke arah gadis kecil yang dimaksud, seketika dia terdiam. Ada rasa nyeri mendadak menjalar si sudut hatinya. Gadis kecil itu memang mirip dirinya dulu. Hanya kulit gadis itu tampak kuning langsat. Sedangkan dia kecoklatan.
"Tuuh mirip kan? Iya kan?" Perempuan cantik itu masih mencoba mencari pembenaran.
Lelaki itu mengangguk. "Kira-kira berapa umurnya ya? Mungkin dia sepantaran dengan anakku." Desisnya perlahan. Mengangkat wajahnya ke atas, mencoba mengusir bayangan seorang perempuan yang pernah dia sakiti teramat sangat. Sudah hampir enam tahun berlalu. Dan dia sudah putus asa mencari keberadaannya. Dia pergi dalam keadaan hamil muda, tanpa pernah dia tahu. Sungguh, sampai sekarang dia sangat menyesali tindakannya saat itu, yang dibutakan oleh emosi sesaat, dibutakan oleh kekecewaan, dibutakan oleh ketidakpercayaan.
Mengusir istrinya begitu saja, tanpa pernah mau mendengar alasan yang ada. Mengusir istrinya yang dia tak tahu sedang hamil, sedang mengandung anak mereka. Dan yang lebih menyakitkan lagi, istrinya pergi tanpa membawa uang sepeser pun. Sungguh, dia amat jahat. Merasa menjadi lelaki paling berengsek di dunia ini.
"Masih mau lanjut main apa enggak? Lagian panas-panas gini kenapa minta main ke Dufan sih? Mana lagi hamil pula. Kamu ngidam kok ya aneh-aneh sih." Katanya pada perempuan cantik di hadapannya. Diletakknya gadgetnya ke saku dan bersiap pergi.
"Mau laaah, masih mau main halilintar. Yuuk, buruan ngantrinya takut udah panjang aja."
"Apaaa? Halilintar? Roller coaster? Kamu kan lagi hamil?"
"Yang naik kamuuu laaah, aku nemenin aja sampai atas. Debay pingin lihat kamu jejeritan, apalagi dengan muka lempeng gitu, pasti seru deh!"
Si lelaki tinggi itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Akhirnya mereka berdua keluar outlet resto makanan Jepang itu, tapi sebelumnya kembali si lelaki itu melihat sekilas ke arah anak kecil yang sedang asyik bersenandung. Entahlah... mendadak ada keinginan untuk memeluk anak kecil cantik itu. Tapi, bisa-bisa dia dihajar massa karena dikira penculik anak.
Mengabaikan keinginan itu, mereka berdua segera meninggalkan resto cepat saji tersebut dan menuju ke area permainan yang dimaksud oleh si perempuan hamil itu.
Sudah takdirnya, karena sesaat setelah mereka keluar resto, perempuan berpakaian lusuh itu datang menghampiri putri cantiknya. Meletakkan nampan berisi makanan ala Jepang, yang baru pertama kali akan dicoba oleh putrinya. Perempuan berpakaian lusuh itu bahkan tak tahu, bahwa ayah gadis kecil itu, mantan suaminya, tadi sempat ada di resto yang sama dengannya.
"Nah ini Kei... silakan dimakan. Ini makanan ala Jepang. Nasinya ibu sengaja beli dua, buat Ibu dan Kei, tapi lauknya kita barengan gak papa ya nak?" Pinta perempuan itu sambil meringis. Uangnya semakin menipis padahal baru besok mereka akan kembali ke kampung.
"Iyaa ibu... tidak apa-apa. Kei senang bu, harum sekali makanannya. Pasti enak ya bu? Ibu bisa masak seperti ini? Kalau bisa, kapan-kapan kalau uang ibu lagi banyak, tolong masakin buat Kei ya bu?" Pinta Kei dengan mata membulat penuh harap.
"Insya Allah, sayang. Kita berdoa dulu baru makan ya, habis itu main lagi. Kan tadi kita sudah sholat, jadi nanti mainnya bisa lebih puas."
Mereka berdua makan dengan nikmat. Sesekali Kei tersenyum bahagia karena makanan yang dirasanya sungguh enak.
Saat berjalan hendak memutuskan akan main permainan apa lagi, tanpa sadar mereka melewati antrian permainan halilintar yang sangat penuh, mengular.
"Eeh... itu kan gadis kecil cantik tadi. Waah sepertinya sama ibunya. Ibunya juga cantik, tapi sayang bajunya lusuh gitu. Eeh bentar sepertinya aku pernah melihat wajah ibunya. Tapi... di mana ya?" Perempuan muda yang sedang hamil tadi, berkata pada lelaki di depannya yang sedang bad mood karena harus antri untuk wahana permainan yang dia sebenarnya tak mau main.
"Nu... lihat deh... perempuan itu kan... istrimu bukan?"
Sontak lelaki tadi segera menoleh ke arah yang dimaksud. Dan dia kaget melihat gadis kecil tadi sedang berjalan dengan riang, digandeng oleh seorang perempuan berpakaian lusuh, dan perempuan itu adalah orang yang dicarinya selama hampir enam tahun ini!
"Tunggu... tunggu... itu Lista... Kalista... Kalista Fayya tunggu aku!!"
Lelaki itu berteriak menyebut nama perempuan itu . Berharap perempuan dan anak kecil itu mendengarnya. Dia berusaha keluar dari antrian yang mengular. Tapi sungguh sulit. Tak mau kehilangan akal, dia segera menarik tangan perempuan hamil tadi.
"Ikut aku. Itu Kalista. Ya Tuhan... Kalista. Kalista-ku... Misiii.... permisi... ini ada ibu-ibu mau melahirkan..!!!" Teriaknya pada pengantri wahana itu yang tampak cuek saja.
"Kalista... Lista ... Tunggu..." Teriaknya sekuat tenaga, saat melihat perempuan berpakaian lusuh itu semakin menjauh.
"Bu... sepertinya ada yang panggil nama ibu deh." Tarik Kei ke tangan ibunya, karena sekilas mendengar suara seseorang memanggil nama sang ibu.
"Oh ya... mana Kei?" Berdua mereka celingukan. Dan akhirnya perempuan itu, Kalista, berhasil menemukan sumber suara yang memanggil namanya. Beberapa detik mata mereka beradu. Sebelum akhirnya Kalista sadar, untuk harus segera berlari, membawa Kei sesegera mungkin menghindari lelaki itu, mantan suaminya. Lelaki yang sangat dirinduinya, tapi tak ingin ditemuinya.
"Kalista ... tunggu... tunggu aku...! Aku bilang tunggu!!"
Lelaki itu, yang pernah menikahinya walau hanya beberapa bulan. Yang sungguh amat dicintainya, namun terkadang dibencinya. Dia... tak mau bertemu lagi dengan masa lalunya. Lari... ya lari... bersama Kei, putrinya. Anaknya dari lelaki itu.
|
|
|
Jakarta, 3 Mei 2019