12 - Rumit

1401 Words
Alena dan Devan sama-sama memejamkan mata mendengar omelan yang lebih mirip dengan teriakan dari seorang guru penanggung jawab utama dari kegiatan perkemahan tersebut. Saat ini mereka berada di tenda utama, tempat para guru berada. "Bisa-bisanya kalian berdua terpisah dari kelompok! Seharusnya kalian belajar dengan sungguh-sungguh saat kegiatan pramuka di SMP agar setidaknya bisa meninggalkan jejak kalian sehingga kami tidak pusing tujuh keliling mencari keberadaan kalian berdua!" Pak Wawan terus mengomel. Sedangkan guru-guru di sekitarnya menatap baik Devan maupun Alena sedikit prihatin. "Bagaimana jika hari ini teman-teman kalian tidak berhasil menemukan kalian? Bukannya selamat yang ada malah jiwa kalian melayang karena kelaparan dan hipotermia di dalam hutan sana! Saya ini sebagai penanggung jawab utama acara ini selama bertahun-tahun baru kali ini menjumpai kejadian semacam ini dan...." Sementara Devan terus mengomel, Devan memposisikan duduknya dengan nyaman. Punggungnya menyandar di kursi dan ia menunduk. Matanya sudah siap terpejam jika saja seseorang tidak menyenggol lengannya dengan sengaja. Devan mendesis, mendelik pada wajahnya sendiri. Sumpah, jika jantungnya tidak kuat mungkin sekarang ia sudah mati kena serangan jantung sebab masih terkejut dan tidak percaya dengan apa yang sedang menimpanya. Ia saat ini berada di tubuh seorang cewek dan Alena ada di tubuhnya. Devan menarik napas dalam. Seharusnya sekembalinya mereka ke camp, Pak Wawan memberikan istirahat yang cukup pada mereka berdua alih-alih menceramahi tanpa jeda. Seharusnya Pak Wawan lebih tau bahwa mungkin saja kedua siswanya itu lebih membutuhkan waktu untuk setidaknya menenangkan diri setelah tersesat dan berada semalaman di tengah hutan. Atau mungkin membiarkan mereka berdua minum secangkir teh hangat sebelum diomeli habis-habisan oleh beliau? Namun Pak Wawan tidak peduli. Ini semua menyangkut reputasinya sebagai seorang guru sekaligus penanggung jawab acara camping setiap tahun. Setelah sekitar setengah jam yang menyiksa, akhirnya Devan dan ALena dipersilahkan meninggalkan tenda utama. "Sudah sana! Kalian boleh istirahat!" usir Pak Wawan kemudian mengakhiri sesi ceramahnya. Tanpa basa-basi, Devan dan Alena berdiri dan segera meninggalkan tempat itu. "Sumpah, ya! Pengen banget gue tabok tuh mulut si kakek-kakek tua! Nggak lihat gue capek dan pengen berbaring di tenda nyaman gue dari tadi?" gerutu Devan, ia mengorek-ngorek telinganya demi mengeluarkan suara Pak Wawan yang masih terngiang di sana. "Hush! Nggak boleh gitu! Biar bagaimanapun beliau itu guru kita!" tegur Alena. Devan melambaikan tangan acuh. "Bodo ametlah, gue balik dulu. Butuh tidur." Selepas berkata demikian, Devan pun meninggalkan Alena, ia sudah berjalan ke arah camp miliknya. ALena menghela napas. Ia juga lelah dan ia butuh istirahat. Berbalik, ia pun menuju camp miliknya bersama Rani dan Gea. Alena baru akan memasuki tenda saat suara seorang cewek menegur. Cewek itu tiba-tiba merangkul lengannya, membuat Alena kebingungan setengah mati. "Kyaaa, ya ampun Devan!!! Lo pasti ke sini nyariin gue, kan? Lo pasti kangen kan sama gue? Oke, lupakan tentang Intan-Intan s****n itu. Di sini, hanya gue satu-satunya cewek yang paling kuatir sama lo! Bahkan semalem gue nggak bisa tidur karena takut lo kenapa-kenapa!" Ia bohong. Rani justru tidur dan ngorok terlebih dahulu dari pada Gea yang masih sibuk men-stalk i********: milik Aldi. "Devan?" tanya Alena. Sedangkan Rani menatapnya dengan sebuah senyum manis manja menggoda untuk membuat Devan terkesan. Cewek itu masih bergelayut manja di lengannya. Seketika itu juga Alena ingat jika ia berada dalam tubuh Devan. Dan ditatap seperti itu oleh Rani membuat ia merasa jijik sekaligus mual. Bagiamanapun ia tetaplah Alena, seorang manusia berjenis kelamin perempuan dan memiliki orientasi s*****l yang normal! "Lepas!" seru Alena, berusaha menyingkirkan tangan Rani dari lengannya. Tetapi entah terbuat dari apa cewek itu, bukannya mengendur, pelukannya malah semakin kuat. Tak segan-segan, Rani bahkan sudah menyandarkan kepala di bahu Alena alias tubuh Devan. "Nggak usah malu-malu sama gue. Toh kita pernah pacaran selama seminggu," tukas Rani dengan suara yang dibuat-buat manja. Sumpah, Alena merinding saat itu. Ia pun berusaha melepas pelukan Rani dari tangannya. Namun belum juga rangkulan itu terlepas, sebuah suara membuat Alena menoleh. "Heh, Rani s****n! Devan itu cowok gue! Minggir lo!" Teriakan seorang cewek menyebabkan perhatian Rani dan Alena tersita. Di sana ada Maudi, seorang cewek cantik dengan pakaian ketat hingga membentuk tubuh dan rok mini kekurangan bahan. Cewek itu menatap galak pada Rani lalu dengan cepat mendekat. Maudi menarik tubuh Rani yang ajaibnya bisa langsung telepas begitu saja, membuat Alena mendesah lega dan mengucapkan banyak terimakasih dalam hati. "Dasar cewek kegatelan!" maki Maudi kemudian. "Nggak punya malu apa meluk-meluk cowok gue?!" "Apa sih! Elo yang kegatelan!" balas Rani tak mau kalah. Ia mendorong tubuh Maudi dengan keras. Maudi tidak jatuh terjengkang ke tanah. Alih-alih, ia menyentakkan kepala dan menatap nyalang ke arah Rani. "Lo berani sama gue?! Lo nantang gue? Mau gelud?!" "Siapa takut!" tantang Rani. Tak terhindarkan lagi, akhirnya sebuah adegan jambak-jambakan penuh drama terjadi dengan disaksikan oleh murid-murid di sekeliling tenda. Kali ini mereka tidak tau jika yang sedang diperebutkan adalah seorang Alena yang sedang terjebak di tubuh Devan, bukan Devan yang asli. Alena menghela napas panjang sembari memijit pelipis, sepertinya masalah akan semakin rumit dimulai dari sekarang. * * * Devan membuka pintu tenda dan mendapati dua temannya, Malik dan Sigit, tengah berbaring santai sembari bermain ponsel masing-masing. Sempat terheran-heran karena melihat siapa yang masuk, dua cowok itu langsung berdiri menghindar. Devan menatap mereka sekilas sebelum melempar ransel yang ia bawa dan menjatuhkan badannya begitu saja di alas tidur dalam tenda. Malik dan Sigit saling berpandangan, lalu menatap Devan aneh yang sudah menutup kedua matanya. Devan lelah dan ia ingin tidur. Merilekskan badan yang saat ini terasa pegal. Mungkin karena efek tidur di atas rumput semalaman. "Heh, lo ngapain di sini? Gila ya?" Malik berkata lebih dahulu. Suaranya setengah berbisik penuh peringatan. Masih memejamkan mata, Devan tampak tidak peduli. Dua teman cowok yang juga merupakan anggota tim basket itu memang terkadang sangat rese padanya. Karena tidak ada respon, lagi-lagi Malik dan SIgit bertatapan, berpikir bahwa gadis yang sekarang ada di sana sudah tidak waras. Bagaimana mungkin dengan PD nya ia memasuki tenda cowok? "Heh! Bangun woi!" Kali ini Sigit menyentuh lengan Alena, berharap cewek itu menurut. "Ini tenda cowok b**o! Lo kalau mau ngajak kita enak-enak besok aja pas udah balik ke Jakarta," lanjut Sigit, yang disambut oleh ringisan setuju dari Malik. Duo g****k berotak m***m!  Sebab cewek tersebut masih tak bergeming, akhirnya dengan anggukan isyarat kecil, Malik dan Sigit pun melakukan apa yang kini ada di benak mereka.  "Lo bawa 'pengaman' nggak?" bisik Malik. "Nggak ada rencana buat ginian jadi nggak bawa. Udah keluarin aja di luar!" balas Sigit. "Tapi gue nggak biasa ngeluarin di luar! Kalau khilaf gimana dong?" "Yeh, si g****k cupu amat! Nanti gue ajarin deh!  Yang penting inget, jangan sampai telat nyabut rudal lo saat lo udah ngerasa di ujung! Lo nggak mau kan punya bayi sekarang?" Malik nyengir sambil menggeleng. "Rudal gue bisa dipotong sama nyokap bokap kalau sampai gue bikin bayi!" terangnya ngeri. "Nah!" balas Sigit. "Makanya lakuin hati-hati. Oke?" Devan mendengar bisikan kedua cowok itu dan merasa sedikit terganggu. Entah kenapa apa yang mereka bicarakan sedikit membuatnya merinding. 'Bocah-bocah gila! Mau mati apa di camp main gituan? Lihat aja, sebelum kalian berbuat m***m di tenda suci ini, gue bakal tendang b****g kalian berdua!' batin Devan dalam hati. 'Lagian cewek gila mana yang mau meladeni dua cowok di tenda yang ada cowok populernya kayak gue? Yang ada tuh cewek bakal mohon-mohon ke gue!' Devan sama sekali tidak menyadari jika dialah sosok cewek yang dimaksud oleh SIgit dan Malik. Cowok itu masih lupa sama sekali jika ia ada dalam tubuh Alena. Malik dan Sigit telah mengambil posisi masing-masing. Mereka duduk di sisi kanan dan kiri Alena, lalu berbaring canggung malu-malu meong. "Heh, kita bakal ngasih apa yang lo mau tapi lo jangan berisik ya," bisik Malik di telinga kanan Devan, membuat Devan mengernyit. "Inget, jangan berisik!" Kini Sigit berbisik di telinga kiri Devan, membuat bulu kuduk Devan berdiri tak nyaman. Namun ia masih memejamkan mata berusaha santai. "Kalau lo ngerasa nggak bisa tahan buat nggak bersuara, lo bisa cium gue atau Malik. Mengerti?" lanjut cowok itu. 'Oke, ada yang nggak beres' pikir Devan. 'Kenapa mereka berbisik-bisik di telinga gue? Mereka pikir gue ce-' Pikiran Devan buyar begitu mengingat hal penting. Cowok itu membuka mata cepat. Bukankah ia sedang berada dalam tubuh Alena saat ini? Bertepatan dengan kesadaran akan posisinya tersebut, tangan Malik sudah menyentuh dadanya, sementara Sigit mulai mencium pipinya. "Aaaaaarrrghhh!!' Devan berteriak, segera bangkit dari posisi tidurnya. Malik dan Sigit terkejut setengah mati, mengikuti Devan untuk mengambil posisi duduk. Mereka bertiga saling bertatapan was-was. "Hush! Udah gue bilang jangan berisik!" tegur Sigit. "Bisa gawat kalau ada guru yang dengar!" Devan mendesis jijik. Ia mengibas-ngibaskan tubuhnya merinding. 'Kuampret! Gue barusan mau dinodai sama dua cecunguk ini?!' "Dasar cowok-cowok k*****t s****n berotak m***m!" Devan berteriak, mengambil ranselnya dan memukul baik Sigit dan Malik bergantian. Malik dan Sigit berusaha menghindar. Tenda tersebut pun heboh dengan dua sosok cowok remaja dan satu cowok yang terjebak dalam tubuh seorang cewek. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD