Bagian 9
"Hana, kamu cari di sana! Cepetan dong, jangan lelet!" perintah ibu mertua kepada Hana sambil menunjuk laci meja rias.
"Udah, Bu. Emang enggak ada," sahut Hana.
"Cari lagi, ayo!"
"Capek, Bu. Udah dibongkar semua tapi tetap aja enggak ketemuan. Coba Ibu geledah Mbak Mona. Siapa tahu ada di kantongnya. Ayo, Bu."
"Mona, cepat berikan ATM-nya. Ibu sudah capek. Ayolah!"
"Enggak ada, Bu. Udah Mona bilang enggak ada!"
"Awas ya, kalau terbukti kamu berbohong, Ibu tidak akan memaafkanmu. Camkan itu!" Ibu mengeluarkan kata-kata ancaman. Siapa takut?
Tak berapa lama, kedua manusia serakah itu akhirnya terduduk lemas di atas lantai. Sepertinya mereka kelelahan. Syukurin! Emang enak?
"Capek!" keluh Ibu.
"Hana juga, Bu!"
Aku tersenyum puas melihat mereka berdua. Bu, Hana, kalian tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang kalian cari.
"Mona, kamu sudah gajian belum?"
Setelah gagal mendapatkan ATM-ku, Ibu kemudian menanyakan soal gajiku.
"Sudah bulan ini. Bulan depan belum," jawabku santai.
"Hana mau mengikuti study tour ke Bali. Hana butuh biaya untuk itu. Ibu minta kamu usahakan uangnya. Ibu tidak mau jika Hana sampai tidak ikut dalam acara itu." Ibu mengucapkannya dengan penuh penekanan.
Masa iya? Aku harus menuruti semua perintah ibu mertua yang tidak pernah menyukaiku? Sorry ya, tidak akan!
"Kenapa nggak minta sama Mas Bayu saja, Bu?"
"Keuangan Mas Bayu sedang menipis karena Mas Bayu sedang mempersiapkan acara akikahan anaknya." Hana langsung menutup mulutnya setelah mengucapkan kata-kata itu. Ia keceplosan!
"Mas Bayu sedang mempersiapkan acara akikah? Akikahan siapa? Kami kan, belum punya anak!" Aku pura-pura tidak mengetahui apa-apa.
"Bukan, Mbak. Itu tadi, anu, Hana salah ngomong."
"Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dari Mbak, Hana?" Aku menatapnya dengan tatapan tajam.
"Nggak ada. Ayo, Bu. Kita pergi dari sini." Hana langsung berdiri, lalu menarik tangan ibunya.
"Tunggu dulu. Ibu belum selesai." Ibu berhenti sesaat di depan pintu.
"Mona, kamu siapin makan siang. Ibu sama Hana belum makan. Buruan! Nggak pake lama!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka berdua pun meninggalkan kamarku.
Siapa juga yang mau disuruh-suruh seperti itu? Memangnya aku ini pembantu, apa? Mulai sekarang, jangan harap aku mau menuruti kemauan kalian.
Aku merebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengunci pintu terlebih dahulu. Hari ini sungguh melelahkan. Aku ingin beristirahat dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Baru beberapa menit mata ini terpejam, Ibu sudah menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil namaku.
"Mona … makan siangnya mana?"
Ibu terus saja menggedor-gedor pintu. Ah, ibu mertua memang tidak bisa melihatku tenang sedikit. Pasti beliau akan mengganggu hingga aku menjalankan semua perintahnya.
Diri ini terlalu lelah untuk melakukan semua itu. Terserah Ibu mau bilang apa. Yang jelas saat ini tubuh dan pikiranku sangat lelah dan aku butuh istirahat.
Kuambil speaker murottal yang ada di atas meja rias, memutar ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan volume yang cukup keras. Dengan begitu, aku bisa istirahat karena tidak lagi mendengar teriakan Ibu.
***
[Assalamualaikum, Dek. Mas cuma mau bilang, malam ini Mas tidak bisa pulang karena harus ke luar kota untuk mengantar bahan bangunan pesanan pelanggan, ya!] Isi pesan dari Mas Bayu.
Sudah kuduga, pasti Mas Bayu ingin bermalam di rumah wanita yang bernama Andini itu. Mas Bayu sengaja mencari-cari alasan untuk mengelabuiku.
[Kalau begitu, aku ikut denganmu, Mas.] Segera kubalas pesan dari Mas Bayu. Aku sengaja mengirim pesan seperti itu untuk melihat bagaimana reaksinya.
[Gak usah, Mas perginya berdua dengan Amar. Kamu di rumah saja sama Ibu dan Hana.]
Benar, kan? Mas Bayu menolak untuk mengajakku. Lagian aku tahu kok, itu cuma akal-akalannya saja.
[Jangan lupa untuk mengecek semua pintu dan juga jendela. Pastikan semuanya telah dikunci, ya.]
Aku memilih untuk tidak membalasnya lagi. Begitu pandainya Mas Bayu menyembunyikan semua ini dariku.
Selama ini aku terlalu percaya dan tidak pernah menaruh curiga sedikitpun padanya. Ternyata diam-diam Mas Bayu bermain api di belakangku, bahkan sampai punya anak dengan wanita lain.
Pantas saja Mas Bayu mengurangi jatah bulananku dengan alasan toko materialnya sedang sepi. Ternyata ia telah membagi uangnya untuk menghidupi keluarga barunya.
Ini semua tidak adil. Mas Bayu sengaja membebaniku untuk mencukupi semua kebutuhan di rumah ini, sehingga membuatku harus ikut bekerja agar semuanya bisa tercukupi. Di luar sana, malah ia memanjakan wanita selingkuhannya itu dan memenuhi semua kebutuhannya.
Ibu dan Hana ternyata terlibat juga dalam hal ini. Mereka sekongkol untuk menyakitiku. Benar-benar keterlaluan!
Ini tidak bisa dibiarkan. Cukup sudah! Aku tidak terima diperlakukan terus menerus seperti ini.
***
"Mona, kamu kok' sekarang makin bandel, sih? Nggak pernah lagi nyiapin makanan untuk Ibu dan Hana!" ucap Ibu begitu aku keluar dari kamar.
Ya, sudah beberapa hari aku tidak mau lagi menyiapkan makanan untuk keluarga ini. Jangankan memasak, sekadar beberes rumah saja pun, aku enggan.
"Kamu mau ke mana malam-malam begini, Mona?" tanya Ibu.
Aku tidak menjawab.
"Kamu dengar Ibu nggak sih?" Ibu mencecarku dengan berbagai pertanyaan, membuat kepalaku semakin pusing.
"Mau keluar, Bu. Cari angin," jawabku sekenanya.
"Permisi, Bu!" Aku berjalan melewati beliau, tapi baru beberapa langkah saja, Ibu kembali memanggilku.
"Jangan lupa beli makanan buat Ibu, sekalian buat Hana. Kamu tidak kasihan? Kami belum makan dari siang tadi."
Aku berbalik badan, kemudian menengadahkan tangan ke Ibu, "Mana uangnya, Bu?"
"Kamu 'kan punya uang. Pakai uangmu saja. Jadi mantu kok' pelit bangat. Hitung-hitungan sama mertua sendiri!"
"Apa Ibu lupa? Uang tabungan Mona 'kan udah diambil sama Ibu dan juga Hana, uang dari mana lagi, coba?"
"Itu terus yang dibahas. Ibu yakin kamu masih punya simpanan."
"Udah nggak ada, Bu!"
"Awas saja jika Bayu sudah pulang, akan Ibu adukan semuanya. Lama-lama Ibu makin tidak suka sama kamu. Udah mandul, pelit lagi. Entah apa yang dilihat anakku dari darimu!"
"Hentikan, Bu. Berhenti menghina Mona. Selama ini apapun yang Ibu katakan, Mona selalu diam dan tidak pernah membantah. Tapi kali ini Ibu sudah benar-benar keterlaluan. Mona tidak suka dihina seperti ini." Aku menatap tajam manik mata wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Selama ini aku begitu menghormatinya, tapi beliau malah seenaknya menghinaku.
Aku memutuskan untuk meninggalkannya. Jika terus berada di dalam rumah ini, Ibu akan terus saja mengomel. Tidak akan ada habisnya.
Kukeluarkan motor dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan ibu kota yang masih ramai, hingga akhirnya aku putuskan untuk singgah di sebuah warung pecel lele.
Aku memesan nasi dan juga lele goreng serta teh manis. Setelah pesanan datang, aku langsung menyantapnya karena memang perutku sudah lapar. Tadi pagi hanya sarapan nasi uduk di warung Mpok Leni.
Tidak peduli lagi pada ibu mertua dan adik iparku itu. Mereka pasti masih memiliki uang, hanya saja selalu mengharap dariku.
Setelah selesai makan malam, aku singgah di apotek. Membeli sesuatu yang mungkin dibutuhkan nantinya. Setelah itu, aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, ternyata Ibu dan juga Hana belum tidur. Mereka sedang makan bakso di ruang tengah sambil menonton televisi.
"Kamu lihat, Mona? Kami masih bisa makan tanpa uangmu itu. Lihat nih, ada bakso dan juga pizza. Mau? Tapi sayangnya Kami tidak sudi membaginya denganmu," ucap Ibu sambil mengangkat mangkuknya untuk memperlihatkan isi dalam mangkuk tersebut kepadaku.
"Nggak usah, Mona sudah kenyang. Tadi Mona makan steak di restoran." Aku sengaja berbohong untuk memanas-manasi mereka.
"Tuh, kan? Dasar kakak ipar pelit. Mbak Mona benar-benar keterlaluan!"
Aku tidak lagi menghiraukan mereka, gegas aku masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya.
Ya Allah, sampai kapan aku kuat menghadapi semua ini? Aku lelah! Mungkin lebih baik aku pergi dari rumah ini, meninggalkan Mas Bayu yang sudah jelas-jelas membagi cintanya dengan wanita lain. Tapi sebelum itu, aku harus melakukan sesuatu.
Bersambung