Memata-matai Mas Bayu

1191 Words
Bagian 6 "Nasi uduknya satu ya, Mpok, minumnya teh manis hangat," ucapku kepada Mpok Leni, penjual nasi uduk di pinggir jalan dekat komplek. "Baik, Neng. Tunggu sebentar, ya!" Aku memilih untuk sarapan di warung tenda pinggir jalan yang tidak jauh dari gang rumahku. Sengaja aku memilih tempat ini karena Mas Bayu biasanya melewati jalan ini. Mumpung lagi libur kerja, hari aku akan membuntutinya untuk menjawab semua kecurigaanku. "Ini pesanannya, Neng, silakan dinikmati." Pelayan warung tersebut meletakkan pesananku di atas meja. Satu piring nasi uduk yang dilengkapi dengan irisan telur dadar yang diiris tipis-tipis, irisan timun serta satu gelas teh manis yang masih mengepulkan asap telah terhidang di atas meja. "Terima kasih, Mpok." Aku mengambil sendok yang sudah tersedia di atas meja, lalu menikmati sarapanku setelah membaca doa terlebih dahulu. Hari ini harus kuungkap semuanya. Semoga saja kecurigaanku tidak benar. Semoga kontak yang bernama Andi hanya salah kirim pesan ke nomor Mas Bayu. Dan foto bayi itu? Ah, sudahlah, akan aku pikirkan nanti saja. Yang jelas aku harus menghabiskan sarapanku, karena butuh tenaga dan energi untuk mengungkap semuanya. Misi kali ini harus berhasil. "Mpok, aku ada urusan sebentar. Boleh nitip motor di sini, enggak? Soalnya takut ada razia, aku tadi lupa bawa SIM," ucapku kepada Mpok Leni. Aku sengaja beralasan seperti itu kepada Mpok Leni. Jika aku membuntuti Mas Bayu menggunakan motorku, pasti bakal ketahuan. "Boleh, Neng. Asalkan jangan lama-lama. Biasanya jam dua belas Mpok sudah tutup. Takut motornya hilang jika Mpok sudah tutup nantinya," jawabnya sambil membungkus nasi uduk pesanan para pelanggan. "Sebentar kok, Mpok. Enggak akan lama." "Boleh, Neng. Tapi kunci stangnya terlebih dahulu, ya." "Iya, Mpok. Makasih sebelumnya." Aku mendorong motorku ke samping warung Mpok Leni agar Mas Bayu tidak melihatnya. Tak lupa juga mengunci stangnya agar lebih aman. Hanya motor ini satu-satunya harta benda yang aku miliki. Motor pemberian Bapak ini lah yang selalu setia menemaniku mulai dari masih gadis hingga sekarang. Selalu setia mengantarku ke mana-mana. Ojek online yang aku pesan lewat aplikasi sudah tiba di lokasi. Ya, aku akan membuntuti Mas Bayu dengan mengendarai ojek online. Tapi kenapa Mas Bayu belum melewati jalan ini, ya? Padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan. "Kita berangkat sekarang, Neng?" tanya sang supir ojek. "Tunggu sebentar ya, Mas. Aku masih menunggu seseorang." "Baik, Neng!" Tak lama kemudian, mobil Mas Bayu pun terlihat melintas di hadapan kami. Jalan yang memang setiap hari ia lalui. "Ayo, Mas. Ikuti mobil itu." "Oke, Neng!" Supir ojek tersebut melajukan motornya dengan kecepatan sedang, sesuai perintahku. Aku sengaja memintanya mengambil jarak yang cukup jauh agar Mas Bayu tidak mengetahui jika ada yang mengikutinya. "Jangan sampai kehilangan jejaknya, Mas." "Iya, tenang saja, Neng!" Pikiranku mulai tidak tenang karena Mas Bayu sudah melewati toko materialnya. Berarti ia akan pergi ke suatu tempat. Jantung ini berpacu lebih cepat. Ada rasa takut yang seketika menyelimuti diri ini. Takut jika kecurigaanku ternyata benar. Namun, apapun kenyataannya aku harus siap. Cukup lama kami mengikutinya hingga akhirnya mobil yang dikendarai Mas Bayu berbelok memasuki kawasan perumahan elit. Apa yang akan dilakukan Mas Bayu? Kenapa ia masuk ke dalam kawasan perumahan elit tersebut? Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam otakku. "Neng, gimana? Kita ikutan masuk enggak ke dalam? Soalnya penjagaan di kawasan perumahan ini cukup ketat. Itu, ada satpam yang berjaga." Supir ojek itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah pos satpam. Benar, ada satpam yang berjaga di sana. "Masuk saja, Mas. Aku ingin tahu di mana mobil yang kita ikuti tadi akan berhenti." "Baiklah, Neng. Biasanya satpam yang berjaga di pos tersebut akan bertanya kepada orang asing yang bukan penghuni dari perumahan ini." "Gampang, biar aku yang jawab nanti." Supir ojek tersebut melajukan motornya kembali, dan benar saja, satpam yang berjaga menanyakan tujuan kami terlebih dahulu. Aku beralasan ingin menemui teman yang merupakan salah satu penghuni di perumahan tersebut. Syukurlah pak satpam tersebut percaya. Ternyata kawasan perumahan ini luas juga. Puluhan unit rumah minimalis dengan cat yang sama, berjejer rapi. Pasti harga rumah di sini sangat mahal. Ah, saking terpesonanya melihat rumah-rumah yang berjejer rapi di perumahan ini, membuatku lupa akan tujuanku semula. "Neng, bukannya itu mobil yang kita ikuti tadi?" Degh! Jantungku rasanya mau copot saat melihat mobil Mas Bayu terparkir di depan sebuah rumah minimalis. Semua cat rumah di sini sama sehingga sulit untuk membedakannya. Apa yang dilakukan Mas Bayu di rumah itu? Rumah siapa itu? "Neng mau turun di sini atau masih lanjut? Jika iya, ongkosnya nambah lagi ya!" "Iya, ntar ongkosnya aku tambahin." Aku langsung mengiyakannya karena sudah tidak fokus pada apa yang diucapkannya. Aku masih memantau, menunggu Mas Bayu keluar dari rumah tersebut dengan perasaan harap-harap cemas. Takut jika yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Lima menit kemudian, seorang lelaki yang sangat aku kenal keluar dari rumah tersebut bersama seorang wanita yang menggendong seorang bayi. "Mas, tunggu di sini ya, jangan kemana-mana," pintaku kepada supir ojek tersebut. Aku bersembunyi di balik mobil yang terparkir di hadapan kami sambil menyelidiki siapa wanita dan bayi yang sedang bersama Mas Bayu tersebut. Aku mengintip dari balik mobil, dapat kulihat betapa mesranya Mas Bayu dengan wanita itu. Mereka berdua tertawa bersama. Mas Bayu mengelus kepala bayi yang sedang digendong wanita tersebut, ia mengecup kening bayi itu, kemudian beralih mengecup kening wanita itu. Mesra sekali! Tak terasa cairan bening sudah mengalir begitu saja dari sudut netraku. Ada yang sakit di sini, di dalam hati ini. Mereka tertawa bahagia, sedangkan aku merasa sakit hati. Ternyata kamu telah mengkhianatiku, Mas! Kamu jahat, Mas. Mas Bayu mengunci pintu rumah tersebut, lalu mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah itu. Mas Bayu membukakan pintu mobil untuk wanita itu, mempersilahkan tuan putrinya untuk masuk ke dalam. Hatiku terasa tercabik-cabik menyaksikan pemandangan menyakitkan tersebut. Sakit bukan main. Tidak salah lagi, foto bayi itu yang aku lihat di galeri ponsel Mas Bayu. Tanganku mengepal, emosi sudah naik sampai ke ubun-ubun. Aku tidak tahan lagi menyaksikan pemandangan menyakitkan tersebut, sekaranglah saatnya, akan kulabrak mereka berdua. Tapi tiba-tiba batinku berkata 'jangan'. Jangan, Mona, kamu tidak boleh gegabah. Kamu harus menyusun rencana terlebih dahulu. Batinku berbisik. Baiklah, sekarang bukan zamannya lagi balas dendam dengan cara yang bar-bar. Aku akan membalas mereka dengan cara yang elegan dan akan kupastikan bahwa mereka akan menyesal sampai ke sumsum tulang. Setelah wanita itu duduk di jok depan, Mas Bayu mengitari mobilnya, lalu duduk di bangku kemudi. Sepersekian detik kemudian, mobil itu sudah melaju dengan kecepatan sedang. Aku langsung berlari menghampiri supir ojek tadi, memintanya untuk kembali mengikuti mobil Mas Bayu. Aku penasaran, mau pergi ke mana mereka. "Neng, kalau boleh tahu, siapa sih yang ada di dalam mobil itu? Suaminya Neng ya?" tanya sopir ojol tersebut di tengah-tengah perjalanan kami. Aku diam, sengaja tidak menjawabnya. "Suaminya diambil pelakor ya, Neng?" tanyanya lagi. "Nggak usah banyak tanya. Ikuti saja mobil itu, jangan sampai kehilangan jejaknya," jawabku cuek. Aku tidak ingin orang lain terlalu ikut campur dengan urusanku. Mobil Mas Bayu berhenti di depan sebuah klinik. Ya, lebih tepatnya klinik khusus anak. Mas Bayu membukakan pintu, kemudian keluarlah wanita yang sedang menggendong bayi itu dari dalam mobilnya. Lalu mereka pun masuk ke dalam klinik tersebut. Hatiku memanas. Rasa cemburu, marah, kesal dan juga kecewa berpadu menjadi satu. "Tunggu di sini, Mas. Aku mau masuk ke dalam. Jangan kemana-mana." "Baik, Neng!" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD