bc

Aurora Alias Roro

book_age16+
148
FOLLOW
1K
READ
fated
powerful
brave
confident
drama
sweet
humorous
city
first love
sassy
like
intro-logo
Blurb

Dipublikasikan sejak : 28 Juni 2021

___________________

“Roro—“

“Aurora, Nyonya.”

“Oh iya, Aurora Prita. Tadi ‘kan sudah berkenalan dengan Oma Kumala. Sekarang, gilliran saya memperkenalkan putra-putri saya. Yang nomor satu, Ghibran—yang wajahnya paling kaku itu. Yang di sebelahnya, sedang mengupil itu, Ghani. Lalu, yang paling pendiam dan selalu sibuk dengan ipadnya itu, Ghazlan. Diingat-ingat ya, Ro..”

“Iya, Nyonya. Insyaallah sudah ingat sekali kedip! Ngomong-ngomong, produk Nyonya Risda tidak ada yang gagal lhoo..” puji Roro yang tengah mengagumi beberapa pria yang asyik dengan dunianya sendiri itu.

“Dan, yang terakhir, yang lagi nyemilin kacang. Namanya Ghea.” Roro hanya manggut-manggut saja. Matanya masih terfokus pada ketiga pria yang berparas tampan tanpa minus itu.

Sepertinya pekerjaan kali ini tidak se-membosankan perkiraannya! Ada para pria tampan yang akan mengisi hari-harinya ke depan.

Semangat, Roro!

***

Tidak betah menjadi pengangguran di rumahnya sendiri, membuat Roro Sri Widari memutuskan untuk mencoba peruntungan menjelajah kota, padahal ia merupakan orang kampung. Hingga ia menemukan rumah besar yang tengah membutuhkan tenaga mengurus lansia.

Apa yang ada dipikirannya?

Ya, melamar menjadi perawat lansia di rumah gedongan itu!

Tidak berijazahkan perguruan tinggi tak membuat tekadnya meredup. Buktinya, Roro mampu masuk ke dalam rumah mewah itu dengan mengerahkan segala pengetahuan yang ia miliki, dan tenaga uletnya.

Mengubah namanya menjadi Aurora Prita, siapa sangka hidup Roro dikelilingi banyak tuan-tuan muda?

Siapakah mereka?

Lantas, apakah Roro pure bekerja, atau sembari menyelam meminum air alias mencari pujaan hati—calon suami masa depannya kelak?

Semuanya terkemas cantik dalam kisah hidup Roro yang penuh dengan perjuangan ini!

________

desain cover by @molly.graphic

edit font di PixelLab

chap-preview
Free preview
AAR - 01
Bagi sebagian orang, suara ayam berkokok di pagi hari menandakan akan dimulainya segala aktivitas mereka guna mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Tetapi tidak dengan Roro Sri Widari. Gadis berusia 22 tahun itu sudah lulus dari bangku SMA-nya sekitar empat tahun yang lalu, dan sudah dua tahun ini Roro menganggur. Pertama, karena ia tidak betah bekerja di minimarket yang direkomendasikan oleh Bapaknya. Yang kedua, masih malas untuk bekerja karena ia selalu saja tidak betah dengan orang-orang di dalamnya, meskipun Roro tahu dunia kerja itu keras, tetapi dirinya masih bertahan untuk menganggur dua tahun ini. Menikmati hari-hari menjadi beban keluarga, segala nasihat bapak sudah seperti kaset harian yang tidak pernah ada habisnya. Roro Sri Widari, gadis itu tetap memutuskan untuk memainkan ponselnya menjelajahi dunia maya guna menemukan pekerjaan yang cocok untuknya sendiri. Dibalik segala sikap santai Roro yang menjadi pengangguran itu, sejujurnya banyak yang setiap siang dan malam selalu ia pikirkan. Tentang masa depan hingga menjadi istri idaman. Dengan kepercayaan dirinya akan anugerah wajah cantiknya ini, Roro berharap dapat menikah dengan seorang pria yang tajir mlintir-tir-tir! Status Roro jelas ; jomlo sejati. Masa SMA-nya sungguh monoton. Tidak mempunyai teman wanita apalagi pria! Roro lebih suka menyendiri, karena ketika ia diajak berbicara, maka yang diperbincangkan tidak akan pernah ada habisnya, mulai dari jalan Anyer-Panarukan yang dibangun pada masa kerja rodi, bisa sampai Indonesia merdeka di tahun 1945. Se-nyerocos¬ itu Roro Sri Widari. Hidup di kampung, memang terkenal dengan para gadisnya yang lugu, santun, dan pendiam. Sedangkan Roro? Kebalikannya! Gubrakkk! “Roro! Bangun! Kamu itu, anak gadis. Pagi-pagi bukannya mandi, bersih-bersih, malah tidur. Mbokya kamu tuh nyoba cari kerja. Apa nggak bosen setiap hari di kamar terus? Nggak kepengen dapat kerja, dapat uang. Lihat itu, Shinta! Dia kuliah di kota sambil kerja.” Dalam hati Roro membatin, “Ibu nggak tahu aja kalau Shintia jadi simpanan om-om di kota. Makanya bisa sampai membiayai kuliahnya sendiri.” Darimana Roro tahu segala update-an itu? Tentu saja dari ponsel yang tidak pernah lepas dari genggaman tangannya! Bukannya segera bangun dan melakukan apa yang diperintahkan oleh sang ibu, Roro justru menarik selimutnya dan menutupi telinganya menggunakan bantal empuk miliknya itu. “Astaghfirullah hal adzim, la ilaha illallah.. Bangun, Roro!” “……..” “Oke, kalau kamu nggak mau bangun, Ibu panggilkan Bapak sekarang juga!” putus Bu Lastri karena sudah geram dengan putri semata wayangnya yang semakin susah untuk diatur itu. “Bapak emangnya nggak kerja, Bu?” “Bapak lagi sakit! Makanya, jangan keasyikan sendiri dengan dunia kamu, Ro! Ayo, bangun sekarang!” Roro pun pada akhirnya bangun juga. Ia segera merapihkan ranjang tidurnya. Sembari telinganya masih terus mendengarkan segala ceramah panjang lebar sang ibu. “..Sholat, Ro—“ “Lagi ‘tanggal merah’, Bu. Tenang aja, iman Roro—insyaallah masih kuat kok. Meskipun di rumah jadi beban keluarga, di akhirat nanti, semoga Roro bisa mengantarkan Bapak dan Ibu ke surga. Aamiin..” Bu Lastri hanya bisa mengulum senyumnya. Inilah salah satu sikap Roro yang selalu saja bisa meredakan kemarahannya. Tidak berhenti di situ saja. Obrolan anak dan ibu itu masih berlanjut. “Kalau kamu mau mengantarkan kami ke surga, tutup auratmu, Ro.” “Belum siap, Bu. Nanti deh. Oke udah dulu ngobrol paginya, Roro mau mandi!” Gadis itu pun langsung mengacir begitu saja meninggalkan kamar ternyamannya. Berjalan sesantai mungkin menuju kamar mandi yang berada di belakang rumahnya. Untung saja bapaknya sudah membangun kamar mandi sendiri. Setidaknya, Roro tidak perlu bergabung dengan gadis-gadis desa lainnya untuk mandi di sungai. Belum lagi kalau sungai tiba-tiba keruh airnya. Fyuhh, apa kabar dengan kulitnya yang selama ini selalu terjaga karena rutin menggunakan sabun mandi khusus yang dibelinya melalui toko online.. Seusai mandi, niat Roro yang hendak menghuni kamar ternyamannya itu ia urungkan. Matanya menangkap seseorang yang tengah terbatuk-batuk di ruang tamu. Bapak? Perlahan namun pasti, Roro menghampiri sumber suara itu. Dan benar saja! Bapak tengah terbatuk-batuk di sana. Tanpa berpikir panjang, Roro segera mengambilkan segelas air putih kemudian menyodorkan pada pria paruh baya yang tadinya terbatuk-batuk itu. Belum ada perbincangan sama sekali, padahal gelas tersebut telah tandas airnya. Gugup, Roro pun mendudukkan dirinya di samping sang bapak. Menduduki sofa ruang tamunya yang sudah kuno bentukannya, yaaa..mungkin sebentar lagi akan hancur karena termakan usia. “Ro..” “Apa, Pak? Mau diambilin makan?” “Enggak, Bapak sudah makan kok. Apa Ibumu masih berbelanja di warung depan?” “Mungkin. Mau Roro panggilkan Ibu?” “Nggak usah. Bapak mau ke kamar saja, rebahan. Pusing kepala Bapak.” “Pusing kenapa?” “Lagi musim paceklik. Besok-besok kalau kita makannya pakai lauk garam, jangan ngeluh..” pesan Bapak dengan suaranya yang begitu serak. Jika biasanya Roro akan mencak-mencak tidak terima dan langsung berangkat ke sungai guna mencari ikan. Maka tidak dengan hari ini. Ada dorongan tak kasat mata yang membuat batin dan pikirannya saling beradu begitu keras. Hingga sepersekian detik bapak telah meninggalkan ruang tamu sederhana itu. Roro yang belum selesai berbincang dengan pria cinta pertamanya itu lantas menyusul ke dalam kamar. “Pak?” “Apa? Sabun mandimu habis?” “Nggak, Pak. Bukan itu.” “……..” Bapak yang sudah mendudukkan dirinya di kasur pun kini menatap Roro dengan tatapan bertanya. Apalagi memangnya yang dibicarakan Roro padanya selain meminta uang untuk kebutuhannya sehari-hari? Anak gadis tunggalnya itu memang selama ini segala kebutuhannya terpenuhi oleh kedua orang tuanya. Untung saja mereka masih sanggup. Dan untungnya, anak mereka hanya satu. Coba bayangkan jika lima? Sudah gantung diri di pohon mangga samping rumah! “Roro mau ke kota!” “APA!?” Bukan suara bapak yang menyahut. Melainkan suara ibu yang sudah berdiri di ambang pintu kamar pribadinya itu. Roro masih dengan wajah tegangnya pun kembali melanjutkan perkataannya tadi. “Roro mau pergi ke kota. Mau jalan-jalan sekaligus mencari kerja. Boleh ‘kan?” “Akalmu ketinggalan di kamar mandi, Ro?” Mendengar pertanyaan ibu yang terang-terangan tidak mempercayai ucapannya itu, Roro pun dengan tegas menggeleng. “Roro serius, Pak, Bu. Roro bosan di kampung.” “Bosan!? Padahal pekerjaan kamu hanya berdiam diri di dalam kamar sambil bermain HP, Roro! Ibu nggak percaya kamu bilang bosan..” “Ya sudah. Jadi, gimana? Boleh—“ “Nggak boleh! Di rumah aja. Lowongan pekerjaan di kampung banyak, Ro..” “Memangnya kalau di kota, kamu mau tinggal dimana? Makannya di rumah siapa?” Berbanding terbalik dengan respon ibunya yang sangat khawatir padanya yang merupakan anak gadis, bapak justru penasaran dengan segala pertimbangan akan keputusan Roro yang hendak pergi ke kota. Tatapan tajam bapak tidak bisa disembunyikan, dengan jelas Roro memperhatikan itu semua. Mendengar perkataan putri semata wayangnya hendak pergi ke kota, mungkin pria paruh baya itu terkejut. Putrinya yang selama ini hanya menjadi beban di dalam keluarga, enggan mencari pekerjaan di kampung dengan alasan tak suka dengan orang-orangnya, kemudian tiba-tiba dengan entengnya memutuskan untuk pergi ke kota tanpa pertimbangan. Eits, jangan salah. Semua telah Roro pertimbangkan. Sikapnya yang selama ini terlihat santai, tak lantas membuatnya malas berpikir dan memanfaatkan ponselnya untuk mencari koneksi sebanyak-banyaknya. “Roro bakalan tinggal di kos-an Ami, Pak. Ami, temen SMP Roro.” “Memangnya dia mau memberi kamu tumpangan selama tinggal di kota?” “Mau kok! Roro sudah bilang ke Ami.” “Ro, jantung Ibu lemah detaknya..” “Ibu! Roro belum sukses lhoo, Bu—“ “Astaghfirullah hal adzim..” Setelah menyebut dan mengusap dadaanya. Ibu pun beralih menatap bapak, “Pak, anakmu ini selalu buat Ibu nyebut!” Mengabaikan ucapan istrinya, Wibowo pun memutuskan keputusannya sebagai kepala rumah tangga di sini dan juga sebagai Bapak Roro. “Kalau memang kamu mau pergi ke kota, Bapak izinkan. Asal satu minggu di kota, kamu sudah mendapatkan pekerjaan.” “O—oke! Pasti Roro dapat, Pak, Bu.” “Bapak yakin dengan keputusan, Bapak? Ibu mungkin 7 hari 7 malam nggak bisa tidur, Pak..” ungkap Ibu dengan raut wajahnya yang semakin khawatir. “Bu, jangan kangen sama Roro sampai nggak bisa tidur lhoo..” “Ibu khawatir sama kamu, Ro! Kamu nggak peka sama perasaan Ibu. Bapakmu juga, kenapa bisa memberikan keputusan yang tidak masuk akal begitu!?” Sebagai seorang wanita, tentu ibulah yang paling merasakan pergolakan batin saat ini. Kekhawatiran ibu, tatapan sendu ibu, dan ketidakterimaan ibu akan keputusan bapak membuat Roro merasa bersalah. Namun, ia sudah bertekad, ia akan tetap berangkat. Besok! Malam harinya, Roro bersenandung seraya memasukkan beberapa baju-baju bagusnya ke dalam sebuah tas besar yang besok akan dibawanya untuk pergi ke kota. Tentang tumpangan hidup selama di kota, Roro berbohong. Ia sama sekali tidak menumpang pada Ami. Hubungannya dengan Ami saja sudah lost contact sejak beberapa tahun yang lalu. Berbohong demi diberikan izin, Roro benar-benar harus nekad. Semoga kedua orang tuanya tidak tahu. Jika sampai rencana mendapatkan pekerjaan di kota ini gagal, pulangnya punggung Roro yang akan menjadi sasaran. Pertama karena berbohong pada kedua orang tuanya mengenai Ami. Kedua karena ia tak mendapatkan apa pun dari kota. Jangan sampai! Memikirkannya saja Roro tak sanggup. Belum lagi nantinya membayangkan bagaimana ekspresi kecewa berat bapak dan ibunya. Roro menggeleng keras. Ia bertekad, “Harus. Jangan sampai gagal cari kerja! Apapun itu, asal jangan open BO atau jadi simpanan suami orang!” Teringat kasus Shinta, Roro bergidik ngeri. Tak bisa membayangkan, tubuh molek Shinta, wajah cantik ber-skincare mahal—semua itu didapat Shinta dari pekerjaan yang tidaklah halal, instan, dan sangat bertentangan dengan ajaran agama mereka. Roro Sri Widari menolak keras pekerjaan menjadi pekerjan s*ks komersial! Tanpa Roro sadari, sejak tadi ibu sudah mengintipnya yang tengah beberes itu. Sebuah tepukan di pundaknya lantas membuat Roro berjingkat. Ia dengan segala lamunnya tentang kehidupan di kota pun, runtuh begitu saja. “Nih..” “A—apa ini, Bu?” “Emang pernah lihat, di dalam amplop isinya daun!? Ambil. Ibu nggak mau putri semata wayang Ibu, kelaparan di kota. Kota itu kehidupan serba masing-masing, Ro. Kamu minta makan, nggak bakalan dikasih di sana. Beda sama di kampung!” “Iya, Bu. Roro tahu kok. Namanya kehidupan individualisme, Bu..” “Ah itulah pokoknya! Ibu yang hanya lulusan SD ini mana ngerti sih, Ro? Sudah selesai siap-siapnya?” Roro mengangguk, “sudah.” “Ya sudah, tidur lebih awal. Besok ‘kan kamu mau perjalanan jauh. Oh ya, besok Ibu yang akan antar kamu ke terminal. Bapak masih sakit, Ro. Ibu nggak mau sakitnya nanti tambah parah. Jarak rumah ke terminal cukup jauh, kita bisa naik angkot nanti. Besok harus bangun pagi, Ro! Awas kalau kamu kesiangan—“ “Siap, Bu! Udah ya, Roro mau tarik selimut dulu~” Anak kuraang ajar itu pun langsung merebahkan dirinya di kasur empuknya. Mengabaikan sang ibu yang raut wajahnya sudah kesal. Dengan tenaga yang ibu miliki, wanita itu pun memberikan tabokan terakhirnya malam ini di bokoong Roro. Sebelum besok hingga 7 hari, Roro-nya tidak akan ada di rumah. “Ibu!” “Biar makin seksi, makanya kudu ditabok.” “Alasan!” ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
19.5K
bc

My Secret Little Wife

read
115.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook