"Masalah ini karena ulah kamu sendiri, kan?" tanyaku gugup.
Tiba-tiba Dane menatapku dengan tatapan setajam elang.
"Ya, semua yang aku alami sekarang adalah salahku, semua ulahku," jawabnya dengan tatapan mencair.
"Aku benci ibu Athar saat itu, karena aku merasa kasihan dengan ibuku, dulu aku sangat sayang dengan ibuku, walaupun aku enggak tampakin itu dalam perbuatan sehari-hari. Tapi, bukannya membelaku, ibu malah menamparku saat itu, saat aku mencaci ibu Athar."
"Buat apa Ayah nikah lagi? Apa ibu masih kurang, Yah? Ayah bukannya pintar? Kenapa untuk urusan kayak gini jadi bodoh? Aku tau tante Arafah cantik, lebih cantik dari Ibu, tapi, kalau dia mau ambil Ayah dari Ibu, sama aja dia seperti pelacur."
Dane langsung ditampar oleh Ibunya. Ayahnya tidak bicara apapun, tangannya mengepal keras. Ia tidak menyangka, anaknya yang masih berusia delapan tahun sudah bisa bicara seperti itu.
"Kenapa Ibu tampar aku? Aku belain Ibu!"
Ibu Dane menangis lalu menggeleng. "Karena kamu udah keterlaluan, Dane. Kata-kata kamu itu kasar. Ibu ... Ibu enggak nyangka kamu bicara seperti itu. Masuk ke kamar, Dane, masuk! Ibu marah sama kamu."
"Mulai saat itu aku jadi sedikit aneh. Aku juga enggak tau kenapa. Aku jarang sekolah, Athar juga udah jarang main ke rumahku, karena aku emang selalu di kamar dan enggak mau keluar. Aku pernah hampir mau bunuh adikku sendiri yang masih berusia ... satu tahun kalau enggak salah. Aku enggak sadar, Ra.
"Sampai akhirnya keluarga aku ngira aku gila." Tiba-tiba Dane tersenyum miring. "Dari situ aku mulai benci keluargaku. Mereka bawa aku ke psikiater, terus ... aku diinap di rumah sakit jiwa, aku berontak di sana. Aku acak-acak semuanya, aku sakiti diriku sendiri, infus aku tarik paksa sampai aku kekurangan darah. Aku benci dunia, benci semuanya saat itu."
Kutatap Dane lekat-lekat. "Kamu bisa memperbaikinya, Dane."
Dane tersenyum miring. "Udah aku duga kamu bakal bicara kayak gitu, pada dasanya semua orang cuma bisa memberi saran, tanpa tahu apa yang dirasa orang yang ia beri saran itu. Enggak semudah itu, Ra, apa yang udah terjadi sangat lama itu enggak mudah diperbaiki."
"Tapi apa salahnya mencoba?" Tanpa sadar aku seolah-olah malah menekan ia untuk melakukan hal yang bukan menjadi kebiasaannya.
"Aku kira kamu beda dengan yang lain, nyatanya sama." Dane menghela napas pelan. Lalu bangkit.
Baru saja ia hendak pergi, tapi urung saat tanganku menahan ia untuk melangkah hanya dengan menarik ujung baju kaosnya.
"Maaf, Dane, aku salah."
Lagi-lagi Dane menghela napas, kenapa dia jadi suka menghela napas. Dia duduk kembali. Ternyata, Dane tidak seseram yang aku kira, dia sudah mulai pandai mengontrol emosinya. Seharusnya bisa saja, kan, dia langsung memukulku.
"Ra ... aku butuh semangat bukan dorongan yang buat aku justru semakin ... enggak berdaya." Dane mengacak-acak rambutnya sambil menunduk. "Aku tau, ini semua salahku, tapi ... bukan berarti harus aku, kan, yang memperbaiki segalanya?"
Aku takut bicara lagi, Dane benar-benar mengikuti perkataanku, saat marah dia memilih pergi daripada menggunakan kekerasan. Aku takut membuatnya marah, lalu dia pergi dan lupa kembali. Jujur saja, Dane banyak membantuku, aku tidak akan mudah melupakannya begitu saja. Terlebih, kini hanya dia orang yang dekat denganku.
"Apa kamu ada saran aku harus gimana, tanpa terus menyalahkanku?"
Dane ini memang aneh, sudah jelas dia yang membuat masalah ini, ya, aku tahu saat itu dia pasti terluka. Ditampar saat membela, dikira gila saat terpuruk, siapa yang tidak sakit hati, apalagi orangtua yang melakukannya.
Namun, bukan berarti dia harus sampai berlebihan seperti ini.
"Aku tipe orang yang memilih membuktikan daripada membenci," ucapku pelan.
"Membuktikan, maksudnya?"
"Kalau membenci itu kita enggak akan dapat apa-apa, Dane. Hanya dapat bara yang kalau tersulut pasti mengeluarkan api, tanpa pernah ada kemajuan, tapi kalau membuktikan. Kita akan dapat banyak keberuntungan."
"Gimana caranya?"
"Kamu coba hilangkan benci yang tertanam di diri kamu itu, aku tau kok susah, perlahan tapi pasti, sambil terus kamu buktikan kepada keluarga kamu, kalau kamu bukan orang gila. Lagi pula kamu pandai, masuk kelas pun kelas unggulan yang isinya orang berprestasi, kamu sering mewakili sekolah dan menang, apa yang kurang? Terus kamu kembangkan."
"Itu udah aku lakukan, dan berhasil. Lalu aku harus apa lagi?"
Aku terdiam. Benar-benar aneh saranku ini, jelas-jelas apa yang aku katakan sudah Dane lakukan. Kutepuk pelan keningku. Aku jadi bingung mau bicara apa.
Sebenarnya aku ingin katakan, cobalah untuk membuka lembaran baru bersama keluarganya, tapi, pasti dia bakal marah lagi dan pergi.
"Aku bingung, Dane."
Pembicaraan kamu terhenti saat tiba-tiba ada yang datang sambil menitihkan air mata. Itu Faya, adik Dane.
"Kakak ... Faya mohon, maafin ibu, maafin mama, maafin ayah, maafin Faya, kami janji bakal melakukan yang terbaik untuk Kakak. Kak, ibu nangis terus saat sadar, dia tau kalau Kakak yang donorkan darah untuk ibu, ibu sampai pingsan beberapa kali, dia terus manggil nama Kakak. Kami rindu Kakak."
Hatiku mencelos, kutatap wajah Dane. Tidak ada guratan kesedihan sama sekali di wajahnya. Dia ini memang benar-benar laki-laki yang keras kepala. Apa yang sudah menjadi keputusannya sulit untuk diganggu gugat. Namun, tega kah ia terus seperti ini, aku saja tidak tega melihatnya.
Faya mengambrukkan tubuhnya ke tanah, ia bersujud di kaki Dane. "Faya mohon, Kak, kembali. Faya mohon. Mama bilang, kalau dengan mama dan ayah bercerai Kakak akan kembali, dia akan memilih untuk bercerai, Kak."
Bukannya menampakkan ekspresi iba, Dane justru malah tertawa. "Baru sekarang dia berpikiran seperti itu? Setelah semuanya udah mendarah daging dalam hidupku?" Ia buang wajahnya jengah. "Ya! Aku akan kembali kalau ayah dan dia bercerai, tapi, sekarang. Bagaimana?"
Tiba-tiba tanganku reflek menyentuh jemari Dane. Aku menggeleng melas saat Dane menoleh ke arahku.
"Fay, jangan cari luka, di dekatku kamu akan terus terluka, baik batin atau fisikmu. Berbahagialah bersama mereka. Jangan memikirkan aku, bahkan, ayah dan ibu enggak pernah seperti ini kepadaku."
Faya bangkit lalu menggeleng. "Walaupun Faya harus mati di tangan Kakak kalau semua akan membaik, Faya rela, Kak."
Dane terdiam beberapa saat hingga akhirnya tertawa kembali. "Kamu tua sebelum waktunya, Faya. Pergi sana!"
"Kak ...."
Dane tidak menggubrisnya.
"Kak Faya mohon ...."
Lagi-lagi Dane tidak menggubrisnya.
Dan untuk yang ketiga kalinya. Dane langsung bangkit. "Sekali lagi kamu bicara, bukan kamu yang akan aku bunuh, lebih baik aku membunuh diriku sendiri!" Mata Dane menyorot tajam. Tangannya mengepal. Bahkan urat-urat di tangannya berkeluaran.
Tanpa bicara apapun lagi Dane langsung pergi begitu saja.