"Aku sulit mendeteksi apalagi mengontrol emosiku, tapi denganmu, dia dan Athar, entahlah. Mungkin kalian punya sisi tersendiri yang membuat jiwa agresifku mengalah."
"Dia itu siapa?"
Dane terdiam lalu tersenyum. "Dia adalah wanita pertama yang kucintai dan kubenci."
Aku terdiam beberapa detik hingga akhirnya memilih untuk tidak meneruskannya.
Dane menoleh ke arahku yang kini merubah haluan ke kaca mobil. Lagi dan lagi langit mendung, bulan-bulan hujan tahun ini sangat parah menurutku.
Mataku terhenti pada sebuah masjid yang sedang dihimpuni banyak remaja berbaju putih. Sepertinya mereka sedang meminta sedekah untuk pembangunan masjid. Mataku tak teralih, hingga akhirnya tanpa sadar mobil yang dikendarai Dane berhenti tepat di depan masjid itu.
Aku sampai memundurkan kepalaku saat Dane mendekat. Ternyata dia hanya membuka kaca jendela lalu memanggil salah satu remaja seusia kami yang sedang berdiri berdampingan di depan masjid itu.
"Dari kami, doakan semoga kami segera pulih," ucap Dane sambil tersenyum, senyuman miring yang sering kali ia tampakkan. Wanita itu tersipu disenyumi Dane.
"Terima kasih, semoga Allah melindungi kalian dan segera memulihkan apa yang membuat kalian terluka." Setelah mengatakan itu, dia pergi ke teman-temannya. Dane tidak tanggung-tanggung mengasih uang, aku tidak tahu berapa lembaran uang merah itu, dan aku tidak tahu Dane mendapatkannya dari mana, kalau itu uang jajannya, pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya.
Dane menyuruhku menutup kembali kaca mobil, setelah itu ia melajukan mobilnya lagi yang sudah tertinggal jauh dengan mobil-mobil lain.
Dane menaikkan kecepatan kemudi. Aku sudah terbiasa diajak joki sama abang-abang angkutan umum, jadi tidak kaget kalau Dane mengendarai mobil cepat. Bahkan abang-abang angkot lebih parah, selain cepat dia juga oleng-olengan, sementara Dane, dia hanya cepat saja, jalannya tetap lurus tanpa oleng-olengan.
"Kamu pernah ada niatan untuk lebih mendekatkan diri sama Allah?" tanya Dane tiba-tiba setelah ia berhasil mengejar mobil-mobil peserta lain. Aku mengangguk ragu. Aku memang pernah ada niatan untuk merubah diri, tapi ... aku hanya niat, sampai detik ini belum sama sekali ada upaya yang kulakukan untuk merealisasikan niatku itu.
"Keluargaku bukan ahli agama, tapi ibunya Athar." Tiba-tiba Dane menghentikan ucapannya. Dia menoleh ke arahku yang juga menoleh ke arahnya.
"Kenapa sama ibu Athar, Dane?"
"Aku gagal lagi menyembunyikan privasiku sama kamu," ucapnya seraya mengacak-acak rambut frustasi.
"Kalau kita nyaman sama seseorang, terkadang mudah sekali untuk mengatakan hal yang berbau privasi kepadanya. Jadi, kita harus benar-benar bisa mengontrol diri dan pandai melihat sisi orang itu, apakah dia membuat kita nyaman karena ada yang ia mau, atau tulus. Di dunia ini, apapun bisa fake, bahkan yang udah terlihat sangat tulus. Kamu simpan kalau masih ragu mengatakannya sama aku, aku enggak akan tanya, tapi kalau kamu mau cerita, aku siap dengar."
Dane mengusap puncuk kepalaku sekali tanpa menoleh. Kulihat dia tersenyum tapi tak bicara lagi setelahnya.
***
Sesampai di lapangan pertandingan, hujan turun sangat deras, untungnya kegiatannya di tempat tertutup. Dane langsung didekati banyak wanita, Dane tidak sombong, dia akan menyahut jika dipanggil, jika ada yang mengajaknya foto dia mau, asal tidak berdua, aku pun tidak tahu apa alasannya. Mungkin dia tidak mau ada orang yang men-share fotonya seolah-olah mereka memiliki hubungan spesial. Bagus juga, hal itu bisa dijadikan tindakan preventif. Tidak hanya itu, dia juga menerima pemberian orang, dalam bentuk apa pun itu, entahlah, aku bingung Dane itu sebenarnya orang seperti apa dan bagaimana. Terkadang dia membuatku merinding, terkadang dia membuatku kagum.
Kini, aku hanya mengintilinya di belakang, seperti bodyguard bayangan. Ternyata di dunia nyataku pun ada laki-laki yang diidolakan banyak wanita lalu menyambut dengan ramah.
"Dulu waktu ada kak Athar, kak Dane enggak pernah mukulin orang, eh sekarang pas dia dekat sama perempuan itu, kak Dane jadi kayak dulu lagi."
Telingaku memanas, ini yang aku tidak suka, berdampingan dengan Dane hanya menambah benalu di kehidupanku. Semakin hari pasti banyak yang membenciku.
Dane memutar arah ke belakang, tepat ke depan adik kelas yang baru saja membicarakanku tadi. Aku tidak tahu ternyata dia juga mendengar.
Adik kelas itu langsung senyum salah tingkah didekati Dane. Dane tersenyum ke arahnya, aku tahu ragam jenis senyum Dane, tapi kali ini, aku tidak yakin senyuman itu tulus. Sebelum terjadi apa-apa, lebih baik aku mencegahnya.
"Dane ...."
Dane mengangkat tangannya, menyuruhku untuk diam. Dia menaruh tangannya di bahu adik kelas tadi, pertama hanya sekedar menaruh, lama-kelamaan kulihat dia malah mencengkeramnya—adik kelas itu meringis.
"Paham?" ucap Dane, senyumannya sama sekali tidak luntur. Adik kelas itu mengangguk, entah bahasa isyarat apa yang sedang mereka dialogkan.
Dane menepuk dua kali bahu adik kelas itu lalu berbalik ke arahku. "Ayo," ucap Dane seraya berjalan mendahuluiku.
"Kenapa, sih, kenapa muka lu pucat?"
"Lu enggak paham apa?"
"Kenapa?"
"Gua mau nangis."
Semakin menjauh aku semakin tidak mendengar apa yang mereka ucapkan.
***
Setelah acara selesai, dan kemenangan diraih oleh SMA Adiwangsa, para peserta langsung digerumuti wanita. Di saat orang-orang sibuk berjuang mendapatkan perhatian dari laki-laki yang mereka suka, aku hanya diam saja. Duduk di tempat yang kini hanya tinggal aku seorang.
Sampai akhirnya Dane yang mendekat ke arahku. "Mau minum?" tanyanya. Tangannya sudah penuh oleh minuman, makanan, bahkan ada juga surat.
Aku menggeleng. "Aku mau ke sekolah."
Dane menoyor keningku menggunakan jari telunjuknya. "Hari ini free class, mikirin apa, sih? Di sekolah ada apa?"
Dane menaruh makanan, minuman dan surat yang ia dapatkan ke bangku. "Makan di luar, yuk, udah enggak usah balik lagi ke sekolah." Dane langsung menarik lenganku.
"Itu makanan kamu ...."
Dane menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Jangan berisik," ucapnya setengah terkekeh.
Bisa-bisanya dia membuang apa yang sudah orang beli untuknya. Kalau aku menjadi wanita yang memberikannya, besok-besok aku tidak akan mau lagi memberikan Dane.
Dane mengajakku ke sebuah kafe bernuansa putih perpaduan cokelat s**u. Lihatlah, dia masih memakai baju basket lengkap, hanya sepatu saja yang sudah diganti dengan sandal eiger. Dan aku, aku masih memakai baju putih abu-abu. Terlihat sekali nakalnya bukan? Di jam sekolah malah ngafe.
"Kamu suka kopi atau cokelat?"
"Kopi."
"Sama," ucapnya sambil terkekeh. Menurutku, Dane saat tertawa seperti joker, tepatnya joker versi tampan.
"Mau makanan apa?"
"Aku enggak tau makanan di cafe itu ada apa aja, udah terserah kamu aja."
Untuk kedua kalinya Dane mengusap pucuk kepalaku. Dia semakin hari semakin kurang ajar sekali.