S1 - BAB 1

1032 Words
Suara sahut-menyahut klakson kendaraan menjadi instrumen di jalanan pagi ini. Aku sudah biasa mendengarnya. Setiap pagi aku harus berusaha sendiri untuk bisa berangkat ke sekolah dengan uang saku yang tidak banyak. Tidak masalah, aku cukup menikmati kehidupanku. Tanganku melambai saat ada mobil berwarna biru muda—warna khas mobil arah sekolahku. Saat mobil itu berhenti aku langsung memasukinya. Dalam mobil belum terlalu banyak penumpang, hanya aku dan seorang ibu bersama anaknya yang masih Sekolah Dasar. Aku jadi teringat masa kecil. Aku juga sering diantar sekolah bersama ibuku. Ayah bekerja dan ibu setia mengantar dan menjemputku sekolah. Tak terasa senyumanku mengembang ke arah anak kecil yang juga sedang menatapku. Dia ikut tersenyum lalu tersipu. "Sekolah di mana, Neng?" tanya ibu dari anak manis tadi. Aku tidak langsung menjawab. "Di SMA Adiwangsa, Bu," jawabku pelan. Itulah kebiasaan burukku. Aku selalu saja malu dengan orang. Ingin rasanya lebih mudah berbicara dengan orang lain, baik baru atau lama kukenal, tapi ... sulit sekali melawan kebiasaan yang sudah melekat lama. Entahlah, rasanya kaku saja bicara dengan orang lain. "Wah ... di sana, kan, mahal banget, katanya siswanya anak konglomerat semua, ya, Neng?" Aku tidak paham ibu ini sedang menyindirku atau memang benar-benar bertanya. Pada intinya, memang benar, sekolahku sebenarnya sekolah yang terkenal sangat mahal, itu salah satu alasanku sering minder dengan siswa lain. Aku sekolah di sana pun karena beasiswa, dari bantuan sekolah itu aku bisa melanjutkan SMA tanpa memikirkan uang SPP bulanan dan beberapa p********n yang biasanya dikeluarkan sekolah lain. "Iya, Bu, tapi saya bisa masuk sana karena beasiswa." "Beasiswa? Waduh ... Enengnya pintar pasti, nih. Namanya siapa, Neng?" "Noura." Pembicaraan kami terhenti karena mobil sudah sampai di halte sekolahku. Aku tersenyum kecil sebelum akhirnya turun dari angkutan umum. Mungkin, hanya aku yang sekolah di sini menaiki angkutan umum yang harganya cuma dua ribu rupiah. Bahkan, sekolahku ini para siswa dan siswinya jauh lebih banyak yang membawa mobil sendiri. Termasuk Dane, ya, Dane memang anak orang kaya. Orangtuanya salah satu donatur di sekolah ini. Itulah sebabnya ia lumayan disegani. Ada yang ikut jalur beasiswa selain aku, tapi tidak pernah aku temui anak SMA Adiwangsa baik yang masuk reguler atau beasiswa menaiki angkutan umum. Paling ... menaiki motor. Aku tidak peduli, intinya aku harus fokus belajar, masalah sekolah naik apa itu urusan belakangan. Lagi pula mereka tidak akan sadar aku sekolah naik apa. Aku tersentak, hampir saja buku yang kupeluk jatuh ke tanah. Suara klakson mobil yang ada di belakangku ini sangat memekikkan telinga. Kepalaku spontan menoleh. Yang kudapati malah senyuman miring milik Dane yang sekarang sudah sering aku lihat. "Kita datang bersamaan, keren, kan?" ucapnya. Dalam hitungan detik perlakuan Dane sudah menjadi tatapan publik. Ini yang aku benci, aku tidak suka menjadi tatapan banyak orang. Aku tidak memedulikan Dane, aku langsung menunduk dan pergi begitu saja. Ini yang aku tidak suka dari Dane, dia selalu saja hadir dan menciptakan keramaian. Padahal, aku ingin menjadi apa adanya diriku, tanpa harus terkenal oleh warga sekolah, apalagi harus terkenal karenanya yang memang sudah terkenal di sekolah ini. *** Di kelas sudah mulai ramai. Aku selalu duduk sendiri sejak kelas X hingga sekarang sudah menginjak kelas XII, ya, tidak terasa sudah satu tahun lamanya aku hidup tanpa Athar. Seperti biasa, di saat orang-orang langsung berbaur dengan teman-temannya, aku lebih suka berbaur dengan n****+ dan buku harianku yang sudah terlihat usang. Buku harian itu sudah sangat lama—sejak aku masih Sekolah Dasar. Di dalam buku harian itu, banyak kenangan indah bersama Athar, dari mulai tulisan yang masih seperti ceker ayam sampai yang biasa saja seperti sekarang. Dahulu alasan aku bertahan adalah kamu. Namun sekarang, alasan aku bertahan adalah diriku. Kini aku sadar, bahwa bergantung dengan manusia adalah pilihan terburuk, sumber dari luka, kenangan buruk untuk masa depan. —Rara, 9/10/20 Kututup bolpoint-ku karena bel masuk sudah menggema. Dahulu, semenjak ibu dan ayah pergi aku mulai menutup diri. Sebenarnya aku tidak seperti ini. Aku gadis yang ceria. Aku ingin seperti dahulu, tapi itu sangat sulit. Sejak kelas empat Sekolah Dasar, aku sudah menjadi Noura yang pendiam, pasif dan tidak berguna. Untungnya dahulu ada Athar, waktu yang kita lalui tidak singkat, 12 tahun kita satu sekolah, dan berteman sejak kecil. Meski tidak berguna, aku akan berusaha untuk menjadi berguna. Salah satu caranya yaitu, dengan serius belajar. *** Saat bel istirahat tiba, aku sudah membiasakan diri dengan hal baru. Aku tidak mau menjadi wanita pasif lagi. Saat orang lain istirahat aku pun istirahat, walaupun hanya sendiri. Jalan menuju kantin itu melalui lapangan basket. Biasanya ada Dane sedang main basket di sana, tapi kali ini lapangan basket tampak sepi. "Es teh aja, Bu," ucapku setelah berhasil mengantre dengan yang lain. Aku memilih membawa bekal dari rumah, karena harga makanan di kantin sangat mahal, aku tidak sanggup jika harus membeli makanan kantin setiap hari, bisa-bisa aku pergi dan pulang sekolah jalan kaki. "Ra, kamu kok tadi langsung pergi?" tanya Dane. Datang tiba-tiba, bicara tanpa aba-aba, itulah kebiasaan Dane. "Aku enggak suka, kamu mungkin tau, lebih tepatnya takut," jawabku acuh seraya membuka bekalku. "Aku cuma mau buat kamu lebih dikenal orang banyak, kamu harus berkembang, Ra." Aku tidak peduli Dane bicara apa. Ini waktuku makan. Tiba-tiba segerombolan laki-laki datang menghampiri kami. Salah satu dari laki-laki itu menepuk bahu Dane. "Pelatih nyari lu, ayo ke lapangan, latihan basket," ucap dari salah satu segerombolan laki-laki itu. Aku tidak berani mendongak, bahkan kini aku menghentikan kegiatan makanku. Walaupun tanpa melihat, aku tahu kini Dane sedang menatapku. Dia memiliki tatapan tajam, aku tidak suka itu, yang aku suka adalah tatapan meneduhkan milik Athar. "Kamu mau aku temani?" tanyanya. Aku menggeleng. "Aku sendiri aja." "Kalau ada yang isengin kamu, panggil aku, bye." Setelah mengatakan itu dia langsung pergi bersama teman-temannya. Kuhela napas pelan saat mereka sudah pergi. Kulanjutkan kembali kegiatan makanku. Aku baru tersadar, ada sepiring spaghetti di hadapanku sekarang. Dane ini memang selalu seperti itu. Dia sering berlaku sesukanya tanpa persetujuaku. Satu tahun berteman dengannya, aku mulai mengenal sisi Dane yang beragam. Terkadang dia dingin, terkadang konyol, terkadang pula dia sangat halus. Namun, Dane yang sering terlihat di umum adalah Dane yang pendiam. Dia memiliki banyak teman dari kalangan laki-laki dan perempuan, teman dekatnya rata-rata orang berprestasi dan terkenal. Aku merasa malu menjadi temannya. Apakah ia menganggap aku temannya sungguhan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD