Seperti yang Dane katakan sebelumnya, dia akan terus datang menjemputku untuk berangkat sekolah bersama. Hari ini adalah hari terakhir aku bisa rehat-rehat dalam belajar, Senin nanti aku sudah harus belajar baik-baik, akan ada Penilaian Akhir Semester, yang akan menjadi penentu. Tidak terasa, sudah enam bulan aku menjadi anak kelas tiga SMA.
Dan yang seperti Dane katakan sebelumnya, dia memang benar-benar terus membelikanku sarapan pagi yang awalnya aku anggap aneh.
Sebenarnya aku merasa tidak enak kalau Dane terus mengeluarkan uang untukku. Namun, Dane itu tipe orang yang akan lebih marah kalau apa yang ia berikan tidak diterima. Dahulu aku pernah menolak pemberiannya. Dia marah, marahnya dia tidak membentak-bentak. Justru, membuatku merasa bersalah.
"Apa ini, Dane?" tanya Noura.
"Aku beli makanan tadi di depan."
"Aku udah sarapan, Dane."
"Aku udah antre dan jalan ke kelas kamu lho."
"Tapi aku beneran udah kenyang, atau kamu kasih ke teman kamu aja."
Dane menatap Noura tajam. Ia ambil bingkisan yang sebelumnya ada di tangan Noura. Lalu berbalik dan membuang makanan itu ke tong sampah, tepat di depan Noura.
Setelah insiden itu, Dane juga jadi tidak banyak bicara. Sampai akhirnya Noura meminta maaf dan Dane menjelaskan kalau ia tidak suka orang lain menolak pemberiannya.
Mataku mengerjap saat ada lambaian pelan di depan wajahku.
"Bengong."
Aku terkekeh. "Udah sampai, ya?"
Dane keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu untukku. "Lagi mikirin apa, sih?" tanyanya saat aku sudah keluar dari mobil dan kita sekarang berjalan beriringan.
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Analisisku mengatakan, kalau ada perempuan ditanya sedang memikirkan apa oleh laki-laki yang ada di sampingnya, lalu ia menjawab dengan gelengan kepala sambil tersenyum, tandanya yang ia pikirkan itu sebenarnya laki-laki yang bertanya."
Tanpa sadar tanganku reflek memukul pelan lengannya sambil tertawa. Oh Noura, apa ini kamu?
Dane tersenyum melihatku tersipu.
"Besok Minggu, aku jemput kamu, ya?"
"Mau ke mana?"
"Kita jenguk nenek bareng, sekaligus ...."
"Sekaligus?"
Dane menghentikan langkahnya, kita berjalan di tepi, jadi tidak mengganggu orang-orang yang sedang berjalan.
"Aku mau kenalin kamu ke keluargaku."
Bibirku mengatup-ngatup, mataku membulat, aku benar-benar tidak menyangka Dane akan melakukan ini. Apa ini tandanya ia akan kembali menjadi Dane yang baik kepada keluarganya. Ya Allah, jika iya, aku akan bersyukur sekali, aku ikut bahagia.
"Apa kamu akan tinggal sama keluarga kamu lagi?"
Dane menggeleng. "Aku tetap tinggal di apartemen."
Wajahku langsung berubah lesu.
"Sampai tanggal 31 nanti, soalnya sayang, aku udah minta ayah bayar sewa satu bulan, masih ada tujuh hari lagi. Jadi, mulai tanggal satu Januari nanti aku mulai tinggal di rumah."
Mataku berbinar, aku jadi sering melakukan hal reflek, tadi memukul lengan Dane, sekarang aku malah menggenggam kedua tangannya.
"Iya, kah?"
Dane mengangguk. Dia ikut menggenggam tanganku. "Terima kasih, Ra."
"Aku juga berterima kasih sama kamu, Dane."
Aku menoleh ke kanan ada tembok, saat menoleh ke kiri, ada beberapa orang menatap ke arah kami, bahkan ada yang sambil berbisik. Ah, aku lupa kalau laki-laki yang ada di hadapanku ini adalah laki-laki idaman banyak wanita. Aku langsung melepas genggaman tanganku dan tangannya lebih dulu.
"Ayo kita ke kelas, sebentar lagi bel."
***
Sama seperti Athar, Dane juga hadir menjadi ladang ilmu untukku. Dari orang sekitar, aku bisa mencari ilmu baru, bahkan, tanpa sadar, saat orang-orang diam tanpa bicara pun, banyak ilmu yang dapat kita petik. Ternyata memang benar, setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Dari jalan pun aku bisa memetik banyak hikmah.
Athar yang mengajarkanku banyak hal, yang setiap saat k****a buku harian akan terasa ia hidup kembali, setiap datang ke pemakamannya akan terasa seperti berbicara langsung padanya. Dia orang berjasa dalam hal pertemanan di hidupku. Karena aku tahu, orang yang paling berjasa dalam hidupku tentunya ibu dan ayahku, lalu nenekku.
Athar mengajarkanku agar tidak menindas dan jangan pernah mau ditindas, sementara Dane mengajarkanku untuk menjadi orang yang lebih meninggi, lebih aktif, agar tidak pasif dan seperti sampah.
Entah perasaan seperti apa yang bisa mewakili rasaku terhadap Athar dan Dane. Mereka memiliki sisi berbeda dalam hatiku. Mereka orang yang ingin kukenalkan pada dunia saat aku sudah sukses nanti setelah orangtua dan nenekku.
Orang pendiam sepertiku, sebenarnya tidak ingin terus-menerus diam. Aku juga ingin aktif, ingin mudah beradaptasi, ingin mudah mendekat dan memiliki teman banyak. Namun, itu sangat sulit. Mungkin, bagi orang yang sudah biasa seperti itu akan mengeluarkan segala tipsnya. Namun, itu sama sekali tidak membantu, sebab apa yang terjadi pada kita adalah ulah kita sendiri dan kitalah yang harus memperbaikinya, itu pemikiranku dulu.
Namun tidak dengan sekarang, kita itu memang makhluk sosial yang perlu mengenal dan saling membantu, orang lain itu memang sangat diperlukan pun memerlukan kita, itu hakikat sesungguhnya.
Dari jalan aku bisa belajar lika-liku kehidupan.
"Ra ...."
Tubuhku spontan berbalik, Dane berjalan ke arahku, bibirnya tersenyum, syukurlah, sekarang dia sudah jarang menampakkan senyuman miringnya yang lebih terkesan seperti seringai itu.
"Ayo ke perkiraan."
Aku mengangguk, kita berjalan beriringan. Sepanjang perjalanan kita terus mengobrol, entah mengapa rasa canggung sudah hilang, aku dan dia sudah seperti saudara sendiri. Itu menurutku.
"Nanti mau makan dulu atau langsung ke rumah sakit?" tanyanya saat sudah ada di mobil.
"Antar aku ke rumah aja, Dane, aku harus ganti pakaian dulu."
"Oke, nanti aku jemput lagi, ya?"
"Aku bisa sendiri kok, Dane."
Dane menoleh ke arahku. "Aku juga mau jenguk ibuku, kita sekalian?"
Senyumanku langsung mengembang, mungkin semalam Dane habis berpikir panjang dan menemukan jawaban dari segala kegundahan, aku bahagia jika pilihannya adalah kembali ke keluarganya, mengalah untuk bahagia.
"Oke."
Aku pikir dekatnya aku dengan Dane akan menumbuhkan bibit masalah baru seperti di n****+-n****+. Karena Dane yang aku kenal adalah laki-laki populer, bisa saja seharusnya aku dimusuhi perempuan-perempuan yang mengaguminya, lalu melabrakku, membuat hidupku tidak tenang. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Semakin aku dekat dengan Dane, aku merasa orang lain pun ikut segan denganku. Bahkan laki-laki yang sering menggangguku sudah tidak pernah mengganggu lagi. Perempuan di kelasku sudah mulai mengajakku bicara, mengajak satu kelompok, bahkan tadi aku ditawari kerja kelompok bersama.
Noura ... bukankah ini kehidupan yang kamu impikan.
Tanpa sadar senyumanku mengembang.
"Kamu lagi mikirin apa, sih? Daritadi kok kayaknya senyum-senyum terus?"
Aku terkekeh. "Aku lagi bahagia, Dane."
Dane tersenyum tanpa menatapku. "Aku berharap kamu selalu bahagia."