Delapan

2241 Words
“Kau kenapa, Sayang?” Pertanyaan yang membuat Julie terperanjat, lepas dari lamunan. “Kau sedang membaca sesuatu?” Pertanyaan kedua yang meluncur dari bibir John. Ia menatap Julie dengan tatapan lurus namun terasa lembut. Julie meletakkan ponselnya. “Aku sedang mengenali wajah seseorang.” Julie mengatakannya sebelum ia meneguk kopi dalam cangkir yang ia pesan beberapa menit lalu. “Siapa?” buru John dengan alis kiri yang naik. Menatap Julie dengan menilai saat ia sedang mengiris potongan daging steak di atas piringnya yang tinggal setengah porsi. “Seorang pria yang baru dikenal oleh Lili melalui aplikasi Cupit,” kata Julie dilanjut dengan memasukan sepotong daging ke dalam mulutnya. Mereka bertatapan. “Ini fotonya.” Julie menyodorkan ponselnya yang kemudian di terima John. Keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat. “Aku hanya merasa begitu familiar dengan wajahnya. Tapi dimana?” ungkap Julie, ia meraih gelas air putihnya. Meneguknya sedikit. “Kau sudah mencarinya di sosial media?” John memberikan kemungkinan. Julie terdiam sebelum menggelengkan kepala pelan. “Bekerja sebagai apa? Dimana?” Pertanyaan beruntun yang meluncur dari bibir John membuat Julie duduk tegak di kursinya, tepat di seberang John. Julie menelan ludah, menerima kembali ponselnya yang diulurkan John. “Lili belum mengatakan apa-apa tentang pria itu. Aku akan menanyakannya nanti.” “Pastikan pria baik-baik, Sayang. Kau harus memastikannya.” “Ya, aku akan memastikan akan hal itu. Karena aku yang memaksanya mengikuti akun itu.” Julie mengatakannya dengan wajah yang tampak serius sampai John mengulurkan tangannya, meletakkan telapak tangannya pada pipi Julie, membelai lembut. “Lili akan baik-baik saja,” ucap John disusul dengan senyum manis di wajah tampannya.   ***   William membiarkan ponselnya terus berdering saat Lili mencoba untuk menghubunginya secara video call. Ia tak mungkin menerima panggilan itu. Apa yang ada di kepala Lili tentang sosok Dean, bukan lah dirinya. Nicole telah memasang foto yang berbeda pada profile w******p-nya. Pria berperawakan tinggi besar, lebih besar dari tubuhnya. Janggut yang ditumbuhi bulu-bulu. Lili menghubunginya lebih dari lima kali, dan tak satu pun William menjawabnya. “Hi, Sayang. Kau sudah kembali?” tanya Nicole dengan wajah penuh senyum. Ia berjalan mendekat dengan mengenakan pakaian super seksi, kaos ketat merah dengan rok mini berwarna hitam yang panjangnya hanya satu jengkal dari b****g. Dan William bisa menebak Nicole tak mengenakan apa pun di balik rok yang dikenakannya. “Telepon dari siapa?” tanya Nicole penasaran saat ponsel itu kembali berdering. Ia melirik William dari sudut matanya. “Kenapa tidak dijawab?” tanya Nicole tajam. Keduanya saling bertatapan menghujam. “Jawab teleponnya, Will. Dia akan curiga.” “Tidak sekarang,” kata William dengan lantang sambil beranjak dari ranjang dan dengan cepat Nicole meraih lengan Willian dan mendorongnya hingga telentang di atas ranjang. “Kau tak bisa lari dariku,” ucap Nicole dengan seringai licik dan dibalas dengan senyum miring oleh William, menarik tangan Nicole hingga jatuh telentang di sampingnya sebelum ia menindihnya, menyambar bibirnya tanpa ampun. Membungkam Nicole sambil melucuti pakaiannya. Menarik keatas kaos yang dikenakannya, dan seketika kedua p******a besarnya langsung menyembul keluar. “Kau benar-benar b******n, Will,” ucap Nicole lantang dengan perasaan senang. Ia membiarkan William melucuti semua pakaiannya hingga telanjang sebelum William menelanjangi dirinya sendiri. “Aku milikmu, Baby,” timpal William sambil meraih telapak tangan Nicole dan meletakkannya di batang ereksi miliknya yang telah tegang. “Sure, Baby,” timpal Nicole menyambut ciuman panas William. Melumat bibirnya tanpa ampun.      Ketika gairah Nicole terbangun, William memasukkan dua jarinya ke dalam diri Nicole dan perlahan-lahan mulai menyebarkan cairannya, menggeser jari dan lidahnya di seluruh clit wanita telanjang yang ada dibawah tubuhnya. “Aku belum pernah o*****e lebih dari dua kali dalam hitungan jam, Will sialan. Oohhh…” desahan yang lepas dari bibir Nicole yang disambut William dengan mengulum salah satu p****g Nicole yang telah tegak. Dalam beberapa menit William menekan p******a Nicole ke atas wajahnya, sebelum menuju ke ujung o*****e lainnya. Menambahkan jari ketiganya William mulai menyetubuhi Nicole, keras, dengan jarinya hingga ia berteriak, “Oh sialan kau Will, jangan berhenti!” Merasakan gerakkan lidah William di seluruh celah yang basah kuyup bersamaan dengan jarinya, itu sudah cukup melemparkan Nicole menuju o*****e besar berikutnya yang tak mampu ia tahan lagi. “Oooohhhh… Wiiillll…Aku…Sungguuuuhh…eehmmm.” Nicole terengah-engah dan pening, mabuk dengan gairah saat William bergerak ke atas tubuhnya. William membungkuk ke arahnya hingga keduanya bertatapan dan pandangan yang William berikan pada Nicole benar-benar panas. “Kau menyukainya?” goda William meraih p****g Nicole dan memilinnya dengan gerakan lembut dan menggoda sampai Nicole perlu untuk menggigit bibirnya, menahan sensasi panas di sela kedua pahanya. “Jangan berhenti, Will. Jangan…aku…” desahan Nicole berhenti, tubuhnya menggelinjang, lehernya terlempar ke belakang saat jemari William kian dalam memasuki k*********a. “Sayang, kau rasanya begitu nikmat,” kata William sambil menjilati bibir Nicole. Nicole sangat terkejut, tiap seks yang diberikan William padanya selalu panas dan membuatnya gila. William seorang bad boy. Tapi anehnya, Nicole bahkan jadi lebih terangsang. Kepala William turun mendekat ke arah Nicole saat ia meraih bagian belakang kepalanya dan berkata “Sexy girl, Baby,” sebelum menarik Nicole kembali dalam ciuman yang luar biasa panas. Keduanya tidak memberi ampun satu sama lain saat mereka berciuman, lidah keduanya mendorong keras dan panas di mulut masing-masing. Ini tidak terbangun dengan lambat. Saling menyetubuhi satu sama lain dengan lidah, dan itu lebih eksplosif dari apa yang pernah keduanya rasakan. Nicole menarik mulutnya, menjerit ketika ia merasa gairah William menggesek miliknya. William telah membuat Nicole mabuk kepayang. Matanya yang jeli segera memahami apa yang sedang wanita itu rasakan. William mencondongank kepalanya ke depan lalu dia berbisik di telinga Nicole, “Sayang, kuharap kau telah meminum pilmu, karena aku akan bercinta denganmu malam ini tanpa kondom.” Ini seperti suara tembakan pistol mengumumkan bahwa perlombaan sudah di mulai. “Ya! lakukanlah, Baby. Aku sudah meminum pilku. F*ck me, Baby.”   ***    Lili pulang lebih awal, hanya ada beberapa pesan antara dirinya dan Dean. Lili hanya berpikir Dean sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia tak ingin memikirkan hal lain. Sampai di apartemen tepat pukul 6.00 pm. Lili mengunci pintu di belakangnya, menjatuhkan tasnya di atas sofa sebelum ia menjatuhkan tubuhnya sendiri di tempat yang sama. Menghela napas dengan dalam dan menghembuskannya perlahan. Lili merasakan dadanya sesak, dan ia ingin melepaskannya. Sekali lagi Lili membuka ponsel miliknya, tak ada pesan apa pun. Ia menatap langit-langit ruang tamu dalam apartemen. Ia baru menyadari beberapa sisi tampak catnya mulai terlihat berbeda. Ia merasakan ponselnnya bergetar dan sebuah pesan masuk. Dean : Kau menghubungiku, Sayang? Maafkan aku karena aku tidak mendengar. Aku masih ada pekerjaan. Aku akan menghubungimu nanti. Isi pesan yang seakan mengamini pikiran dalam kepala Lili. Dugaannya terasa benar. Pria itu sibuk. Lili : Aku sudah sampai di apartemen. Aku harap kita bisa berbicara banyak hal, Dean. Lili mengiriminya balasan, dan lagi-lagi hanya terkirim, dan masih tampak centang satu. Lili beranjak dari sofa, menyambar tas miliknya dan masuk ke dalam kamar. Ia merasakan tubuhnya sedikit demam, dan rasanya ia begitu lelah. Dirinya hanya ingin tidur. Lili meringkuk di atas ranjang usai melepaskan sepatu dan melepaskan coat yang ia kenakan. Rasanya luar biasa nikmat saat tubuhnya benar-benar telah mendarat di atas kasur. Lili meletakkan ponselnya di samping kepalanya yang berada di atas bantal. Mencoba untuk memejamkan mata, menyingkirkan rasa panas pada lingkar mata indahnya.   ***   Keduanya berbaring telentang dengan tubuh telanjang. William sibuk dengan pikirannya yang bercampur aduk. Ia belum bisa menerima informasi yang dimintanya tentang seorang Lili Dannett. Meski ia yakin, Steve atau Castel sudah mengiriminya. William melirik ke samping, tampak Nicole yang telah bersiap menyambar ponselnya di atas nakas. “Sudah waktunya kita mencari mangsa. Aku berhasil mendapatkan tangkapan besar,” ucap Nicole sambil berbaring miring menatap William. “Pria t***l itu telah mengirimi aku uang dalam jumlah yang besar,” ungkap Nicole dengan wajah bangga. Ia mengecup pipi William yang mematung. “Hi, Baby,” sapa Nicole yang membuat William terkejut. “Hi, sweety,” balas seorang pria. Nicole menyambar earphonenya dan William mengamati Nicole dengan seksama. Nicole yang berbincang dengan seorang pria dan tak lama setelahnya Nicole menjalankan ponselnya ke arah payudaranya yang telanjang. William mengerutkan keningnya. “Kau suka milikku, Baby?” goda Nicole dengan suara manja khasnya. William langsung beranjak bangun dari ranjang namun Nicole menyambar pergelangan tangan William dan memberinya isyarat untuk tetap berada di ranjang. “Buka bajumu,” ucap Nicole pada pria di dalam ponselnya. Jeda sebentar, Nicole memelototi William, ia menggeser posisi tidurnya. Menarik William untuk kembali ke sampingnya. “Yeaaaa, good Baby. Wow, aku suka milikmu,” ucap Nicole kali ini menatap layar ponselnya. Ia meraih tangan William dan betapa mengejutkannya, Nicole meletakkan telapak tangan William di atas k*********a. “Yeaaaa, aku menginginkan milikmu. Gosokan milikmu, Baby.” William tak menggerakkan tangannya, sampai Nicole memasukan jari milik William ke dalam k*********a, membuat William menatap dengan kaget. “Tunggu sebentar ya, Sayang,” ucap Nicole seakan meminta jeda sebentar. “Aku membutuhkanmu untuk membuatku datang dengan jarimu, Will. Tangkapanku yang ini tak kalah besar. Kau mengerti. Sebaiknya kau juga menghubungi gadis bodoh itu.” Nicole mengatakannya dengan penekanan dan mendengus kesal sebelum kembali tersenyum manis di depan ponselnya. William masih tak habis pikir dengan keberadaannya di tempat ini, di situasi yang membuatnya benar-benar muak. “Ooohhh, Sayang,” desah Nicole yang tiba-tiba membuat William terkejut dan ia merasakan jarinya telah masuk begitu dalam ke kemaluan Nicole. William bisa merasakan basah dan lembap di dalam lubang milik Nicole. Cairan yang keluar melewati sela jarinya yang dipaksa masuk. William menelan ludah, mencoba untuk menekan hasratnya yang dibangun Nicole. Ia menyambar ponselnya dengan tangan lainnya dan menghubungi nomor ponsel Lili. “Hi,” sapa Lili di ujung ponsel dengan suara parau. “Hi, Sayang,” balas William dan ia langsung menarik jemarinya dari kemaluan Nicole dengan tiba-tiba hingga wanita itu mengeram. William beranjak dari ranjang menyambar semua pakaiannya yang teronggrok di lantai. “Kau sudah tidur?” tanya William, ia melirik jam tangan miliknya. Waktu menunjukan pukul 10.00 pm. “Ya, aku sempat tertidur sore tadi. Dan---” William berjalan ke dalam kamar mandi. “Maafkan aku jika membangunkanmu,” sambar William. Lili beranjak dari tidur, duduk di tepian ranjang. “Tidak, aku memang sudah terbangun sebelum kau meneleponku.” Lili menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Kau sedang dimana? Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Lili beruntun. Terdengar suara kran air, disusul gemericik air. “Pekerjaanku.. Ya, baik-baik saja.” “Bagaimana kondisi ibumu?” tanya Lili lagi, tak menunggu waktu lama. Sunyi, kran telah dimatikan. Lili beranjak keluar kamar dengan bertelanjang kaki diatas lantai kayu yang terasa sedikit dingin. “Ibuku, kembali masuk ruang ICU,” suara William terdengar sedih. “Aku turut bersedih untuk kondisi ibumu, Dean.” William mendapati sosok Nicole yang berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan tubuh polos dari dalam cermin. “Karena itulah, aku hampir lupa menghubungimu.” “Tidak. Tidak apa-apa. Aku mengerti. Ibumu lebih utama bagimu, Sayang.” “Kau memanggilku sayang?” tanya William saat menyadari apa yang telah Lili katakan diakhir kalimatnya. Nicole memeluk William dari belakang, menyandarkan kepalanya pada punggung lebar William dan kedua telapak tangannya berada di dadanya. Sedangkan Lili merona malu, merasakan pipinya menghangat. “Aku…Aku…” “Aku senang mendengarnya. Kau mengatakannya dengan…” Kalimat William menggantung, ia mengeram dan bertahan untuk tidak melepaskan suaranya saat jemari Nicole telah berada di batang ereksinya, menggenggamnya sambil mengelusnya dengan gerakan lembut. “Dean, kau…kau baik-baik saja?” tanya Lili usai menunggunya tanpa suara. “Ya,” sahut William, terdengar ia menarik napas yang seakan tertahan begitu menyiksa. “Kau pasti lelah,” kata Lili. Lili membuka lemari es, meraih sekotak jus kemasan yang kemudian ia tuang ke dalam gelas kaca. “Ya, mungkin kau benar. Aku…” William kembali menggantungkan kalimatnya dan kini jemari itu telah berganti dengan lidah milik Nicole yang basah. Lili meneguk jusnya dan duduk di sofa. “Dean, kau disana?” tanya Lili bingung, meletakan gelasnya di atas meja. Tak ada suara, hanya gemericik air yang kembali terdengar. “Dean,” Lili memanggil dan tak ada jawaban. Lili memandangi ponsel di tangannya, memastikan jika ia masih terhubung dengannya. “Aku…aku…” William mencoba untuk melepaskan mulut Nicole dari miliknya, tapi sia-sia, lidah Nicole terus menjilat ereksi William layaknya permen. “Dean, kau…” William menghela napas dan dengan cepat ia mengatakan, “Aku akan menghubungimu lagi nanti. Bye.” Telepon terputus. Lili memandangi layar ponselnya yang kembali gelap. “Apa yang terjadi?” desis Lili seorang diri. “Kau benar-benar wanita b******k, Nicole,” geram William dan membiarkan dirinya bercinta dalam mulut Nicole yang bergerak maju-mundur di sepanjang k*********a. Gerakan yang lihai dan William tak tahan untuk tak menarik Nicole, gairahnya kini membawanya untuk melahap Nicole tanpa ampun. “Kau akan merasakan akibat perbuatanmu, b******k,” maki William saat berhasil menarik kedua lengan Nicole dan mendorongnya sebelum ia membalikkan tubuh Nicole. “Aku suka dengan semua hukumanmu, Will sayang, hahahaha…” balas Nicole dengan tawa panjang setelahnya sebelum berubah menjadi desahan penuh gairah saat William menghujamkan batang ereksi yang telah basah oleh cairan ludah milik Nicole. “Ooohh…Wiilll,” desah Nicole sambil berpegang pada tepian wastafel, mendapati dirinya yang b*******h. “Kau harus terima akibat kelancangamu, jalang,” maki William kali ini lagi sambil menghujamkan miliknya kian dalam dari lubang belakang milik Nicole dan wanita itu mendesah penuh gairah. “Oooohh, aku suka, Baby,” racaunya sambil membungkukan tubuhnya, memberikan akses bebas bagi William untuk bergerak maju-mundur dan kedua tangan William telah berada di kedua p******a Nicole yang bergelantung bebas, memilin kedua putingnya yang mengeras. “Oooohh, sialan milikmu sudah basah, Nic,” desis William tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan berhenti sayang, Jangan…” rintih Nicole dengan gairah, ia menegakkan tubuhnya, memindahkan salah satu tangan William ke arah k*********a. “Oohh, aku ingin klimaks di semua diriku, Will,” ucap Nicole dengan seringai menggoda dan William mendapatinya dari dalam cermin yang memantulkan bayangan keduanya yang telanjang dan tubuhnya terhubung dengan ereksi yang bergerak di lubang b****g Nicole dan jemari kiri memilin p****g serta jemari kanannya yang bergerak keluar masuk dalam lubang lembap v****a milik Nicole, “Ooohh, kau b******n seksi, Will,” desah Nicole saat lidah William menjilati kulitnya di sepanjang leher jenjangnya. “Aku tak tahan, Wiiiilll, Aku… ooohhh,” desah Nicole yang bersahutan dengan William, “Aaarrgghh, kau p*****r seksi, Nic.” William melepaskan miliknya dan dengan gerakan cepat ia memutar tubuh Nicole sebelum menghujamkan miliknya yang berlumur cairan ke dalam lubang v****a Nicole lalu memompanya dengan gerakan cepat. “I love you, baby,” desis Nicole dengan mimik puas bersamaan dengan William yang bergerak cepat menyodokan miliknya hingga batas terdalam dan miliknya menyembur disana. “Ooohhh…” desah Nicole dan William bersamaan.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD