Sepuluh

1285 Words
Lili selalu menyukai terjun bebas antara tertidur dan terjaga di setiap paginya. Beberapa detik setengah sadar yang berharga sebelum ia membuka matanya, dan mendapati dirinya percaya bahwa mimpi-mimpi mungkin adalah kenyataan baginya. Untuk saat ini, sedetik lebih lama, Lili menikmati khayalannya. Bayangan alami yang mengizinkan dirinya untuk membayangkan bahwa ia bisa menjadi siapa saja, bisa berada di mana saja, dan ia bisa mencintai bahkan dicintai oleh siapa saja. Ia merasakan ada bayangan di atas kelopak matanya dan seketika terbuka. Cahayanya begitu terang hingga ia perlu menutup matanya dengan tangan untuk melindunginya dari cahaya matahari. “Baru hari Jumat,” desis Lili saat menyadari ia masih harus pergi ke kantor dan bertemu dengan Amber. Lili baru akan beranjak saat ponselnya bergetar karena sebuah pesan masuk. Dean : Selamat pagi, Baby. Aku begitu merindukanmu dan ingin segera bertemu denganmu. Lili mendapati dirinya tersenyum saat membaca ulang isi pesan yang diterimanya pagi ini. Lili : Selamat pagi. Aku juga ingin segera bertemu denganmu. Bagaimana keadaanmu di sana? Lili melangkahkan kakinya meninggalkan kamar menuju ke dapur untuk membuat secangkir kopi sebelum memulai semua kegilaan hari ini.  Dean : Kabarku tidak baik. Ibuku dalam keadaan kritis dan saat ini aku menjadi anak yang tak berguna. Pesan masuk saat Lili menuang kopi ke dalam mug kesayangannya. Matanya membulat. Lili : Apa maksudmu dengan anak yang tak berguna, Dean? Lili menyesap kopinya dengan pelan, menyesapi aroma kopi yang menguar dari dalam mug yang digenggamnya. Aroma yang mampu memantik setiap saraf di kepalanya. Dean : Aku berada jauh dari rumah dan tak seorang pun yang dapat menolong ibuku. Dean : Aku harap hanya diriku yang mengalami hal ini. Dua pesan yang masuk dengan selisih waktu kurang dari satu menit. Kalimat yang dikirimkan Dean membuat sekujur tubuh Lili menegang, ada kecewa, amarah yang dirasakan disetiap katanya. Lili : Tak seharusnya kau mengatakan itu. Kau bisa kembali jika kau memang menginginkannya Dean. Berpikirlah jika ibumu akan baik-baik saja. Semoga harimu menyenangkan. Balasan yang Lili kirimkan. Ia menyesap kopinya sekali lagi, dan lebih banyak kafein yang masuk mengaliri setiap pembuluh darahnya. Lili menunggu beberapa detik namun tak ada balasan dan Lili memutuskan dirinya untuk mandi dan bersiap untuk memulai harinya.  Ia tak ingin melanjutkan percakapan. Ia membutuhkan energi positif untuk bisa menghadapi Amber dan kegilaan dalam tekanan kerjanya. Lili menenggelamkan dirinya dalam bathtub, menikmati sensasi air hangat yang menutupi tubuhnya hingga ia tak menyadari balasan dan panggilan telepon dari Dean.   ***   “Waktumu hanya tinggal hari ini dan besok, Will. Apa yang kau lakukan terlalu cepat untuk membuatnya tersadar dan menjadi waspada.” Suara Nicole terdengar mengintimidasi. William menatap dengan tajam dari sudut matanya. “Sebaiknya kau menghubunginya,” imbuh Nicole saat menatap percakapan w******p antara William dan Lili pagi ini dan berakhir tanpa balasan. “Aku sudah mencari tahu tentang mangsamu, Will. Seorang editor penerbitan. Kencan terakhir setahun yang lalu, aku rasa jika aku tidak salah.” “Kau mendapatkannya?” tanya William menyelidik. Nicole tersenyum miring. Ia berjalan mendekat ke arah William yang berdiri dan menyandarkan pinggulnya ke meja di belakangnya. Nicole berjalan lamban dan terlihat anggun dalam balutan pakaian seksi. “Aku yakin dia wanita yang kesepian. Mungkin kau harus membuatnya tergoda padamu,” ucap Nicole dengan suara yang dibuat menggairahkan, ia telah berdiri tepat didepan William, tersenyum lebar dan sebelah telapak tangannya ia letakkan di atas d**a William yang sedikit terbuka karena beberapa kancing kemejanya dibiarkan terbuka. Menampakkan kulit William dan mengenai telapak tangan Nicole. “Seperti aku menggodamu, Nic?” timpal William bagai pancingan untuk Nicole. Wanita itu menggerakkan tangannya diatas permukaan kulit William. “Ya, seperti kau menggodaku,” balas Nicole sebelum ia menyambar bibir William dan mereka berciuman. Nicole melahap dengan rakus, melumat dan menyecap setiap sela kulit mulut William, namun sialnya deringan ponsel dari Lili menghancurkan kerakusannya. “Darinya?” Dibalas dengan anggukan oleh William. Nicole langsung menyambar ponsel itu dari tangan William. “Apa yang akan kau lakukan?” dengus William. “Melakukan yang seharusnya pria lakukan untuk menarik simpatiknya,” kata Nicole sambil menatap dengan tajam. “Kau meragukan ku?” sindir William. Nicole menurunkan ponsel di tangannya, menatap William sepenuhnya. “Kau merasa patut aku ragukan?” balasan sindiran yang diberikan Nicole. Keduanya bertatapan tajam sebelum suara ketukan dipintu terdengar sebanyak tiga kali dan Nicole bertanya dengan lantang, “Siapa?!” “Marcus!” Suara lantang dari balik pintu dan membuat Nicole bergegas untuk membukanya, meninggalkan William di belakangnya yang masih berdiri di tempatnya dan bergeming. “Ayah,” desis Nicole. Marcus muncul dari balik pintu. Matanya mengamati Nicole dan William bergantian dan keduanya hanya diam tanpa ada sepatah kata pun keluar. “Ada apa dengan kalian?” “Hanya perdebatan kecil,” sahut Nicole dengan sudut mata menghujam William. “Aku mencarimu untuk sebuah tugas, Will.” William tak langsung menjawab. Tatapan matanya tertuju pada Marcus yang masih menatapnya dengan pandangan mata menilai. “Malam ini kita akan beraksi di Grangemouth,” ungkap Marcus dengan tarikan sebelah bibirnya. Ia berjalan mendekat pada sebuah meja dan mendapati layar laptop milik Nicole yang tetap terbuka dan menampilkan percakapan dengan para mangsa. “Lili,” desis Marcus, ia melirik Nicole dan William bergantian sebelum kembali menatap layar laptop. “Gadis yang terlalu cantik untuk kau jadikan mangsa, Will,” sindir Marcus. “Ayah,” dengus Nicole dengan suara tajam, membuat Marcus berbalik dan keduanya saling berhadapan. “Aku ingin mendengar pendapat William tentang gadis itu,” ucap Marcus sebelum tatapannya berpindah pada William yang masih bersandar pada meja yang ada di belakangnya. Tatapan yang di dapat William tak hanya dari Marcus, tapi Nicole juga, terasa menghujam dan ada amarah memancar. “Kau benar Marcus, dia memang gadis yang cantik dan…” Kalimatnya menggantung, William melirik Nicole dari sudut matanya, mencoba untuk melihat reaksi Nicole yang kian mendengus marah, “…dan juga sangat baik,” imbuh Will. “Jangan pernah kau macam-macam, Will. Atau kau akan terima akibatnya,” geram Nicole dengan wajah yang tampak memerah, dan rahangnya mengatup rapat. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Will setelahnya. Keduanya bertatapan tajam dan banyak letupan amarah yang mulai tampak jelas. “Aku akan mencari gadis itu dan menyingkirkannya. Kau cam kan itu,” ucap Nicole bernada ancaman dan penuh penekanan sebelum ia pergi meninggalkan Marcus dan William, menyisakan bantingan pintu di belakang langkahnya. Suara derap sepatu bot yang dikenakan Nicole terdengar menuruni anak tangga dengan cepat. “Abaikan dia. Ada yang lebih penting dari transaksi permen kalian.” Marcus melangkah dua langkah sebelum berbalik untuk berhadapan dengan William. Pandangan keduanya saling bertemu. “Aku ingin kau ikut dalam transaksi kali ini. Aku sudah mendengar laporan mengenaimu dari Billy Hunt.” Ekspresi wajah dan suara Marcus terasa mengintimidasi, kenyataan bahwa sepak terjang William diamati dan ditandai, ia tak boleh lengah apa lagi sampai ceroboh. “Apakah laporan yang kau dapat cukup membuatmu percaya padaku, Marcus?” Marcus terdiam, tak langsung merespon untuk beberapa detik sebelum ia tersenyum miring. “Polisi bodoh yang aku masukan ke dalam kepolisian sudah tewas satu untuk mangsa Brigitt, dan hal yang sangat mungkin jika mereka juga memasukan orang ke dalam kelompokku, di antara kita.” Keduanya masih saling menatap tanpa melepaskan satu sama lain. Marcus dengan penilaiannya, ia mencoba untuk mengamati perigai William. Dan begitu juga sebaliknya, William mencoba uintuk tetap bersikap wajar meski ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Apa ada yang kau curigai?” tanya Will dengan suara yang coba ia tekan agar tidak beretar. “Aku masih belum yakin. Tidak menutup kemungkinan jika itu juga dirimu.” William mengangguk pelan, memamerkan senyum tipis diwajahnya, matanya tetap tertuju pada Marcus. “Baiklah, dengan senang hati kau mempercayaiku,” ungkap William, ia menghela napas, “Kau telah menyelamatkanku dari tugas permen Nicole,” imbuh William dengan lugas dan disambut Marcus dengan senyum lebar dan seakan mengejek. “Kita akan mulai siang ini untuk ke beberapa titik dan berakhir pada transaksi itu. Aku tunggu kau di bawah tiga puluh menit lagi.” William mengangguk dan Marcus beranjak setelahnya. Meninggalkan William di ruangan milik Nicole. William menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kelegaan. Memastikan Marcus telah pergi dan ia berjalan ke arah pintu, mencoba untuk mengamati, dan dugaannya benar, Marcus masih berdiri di balik pintu, William langsung mengeluarkan ponsel rahasianya dari dalam saku. William : CCTV Grangemouth, malam ini. Isi pesan yang dikirimkan William pada kedua rekannya Steve dan Castel.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD