“Inna! Sudahin menjaga anaknya, anak juga gak mungkin di bawa burung, lah. Kan gak nangis, urus dulu suami kamu itu? Kamu menikah ya harus urus suami, meskipun kamu itu baru melahirkan, paham?!” ketus Salamar wanita tua berumur sekitar 59 tahun yang saat ini telah sah menjadi ibu mertuaku, ohh,ya aku Nirinna Faresta Soetarjo—atau yang lebih akrab di panggil Inna.
Deg! Jantungku terasa ngilu tiap kali ibu mertaku melontarkan kalimat-kalimat untukku yang selalu sakit mengenai jantungku. Aku sadar kehadiranku tidak begitu di harapkan olehnya, karena menantu yang dia harapkan adalah seorang PNS atau minimal bidan, sedangkan aku hanya pekerja kantoran dengan posisi staff. Meskipun mungkin secara gaji aku bisa saja lebih tinggi tapi secara gengsi untuk masyarakat negara berkembang ini adalah mereka menyanjung tinggi PNS, yang sudah pasti di anggap sejahtera karena memiliki pensiunan. Tapi, di kantorku juga kami memiliki pesangon dan iuran dana JHT dari BPJS, emang sih dari segi nominal pasti berbeda. Yang jelas, kami pegawai kantoran swasta ini, di anggap pekerjaan kurang mapan, setidaknya di hadapan mertuaku dan keluarga besarnya.
“Kamu bisu, ya? Di panggilin gak nyahut? Anakmu itu bukan anak emas yang harus di tungguin tiap saat, anakmu itu Cuma nambahin beban buat anak ku, lagian…ngelahirin anak pertama kok perempuan, kelihatan banget kualitas kamu sebagai istri itu tidak ada artinya sama sekali…” gerutu mertuaku yang memang selalu berkata kasar kepadaku, bahkan kalimat kasar itu terkadang di lontarkan di hadapan suamiku, tapi suamiku selalu memilih diam, karena dia tidak akan pernah bisa menolak apapun yang di katakna ibunya, dia tidak pernah sekalipun membelaku di hadapan ibunya
“Iya, Buk. Inna lagi ngelepas s**u Savana, Buk. Savana baru saja tertidur, kalau di lepas gitu aja takutnya terbangun, Buk….” Jawabku aku buat selembut mungkin dan aku tambahi bumbu senyum, karena tabiat mertuaku kalau melihat senyum hilang dari wajahku, hal itu menyatakan aku sudah tidak betah tinggal di rumah ini dan seolah meminta aku untuk pergi meninggalkan rumah ini.
“Mantu kok ngelawan sama mertua, kamu! Kalau dia sedang menyusu, ya tinggal di lepas aja kenapa rupanya? Udah macam dia putri saja gak boleh terbangun, mau kau anakmu mati karena tidur saja? Dasar ibu gak punya wawasan tapi sok hebat kau!” ucap mertuaku lagi, kembali aku menghela nafas panjang dan mengelus d**a sambal berkata dalam hati ‘Sabar Inna, semua akan indah pada waktunya…’ Aku selalu berkata demikian untuk membuat hatiku sedikit tenang, karena menangis pun percuma terlebih untuk saat ini, aku tidak mau terlalu sering menangis karena mengganggu kualitas ASI ku.
“Bukan ngelawan, Buk. Inna Cuma mau nidurkan Savana dulu, biar dia nyenyak tidurnya dan tidak rewel pas Inna tinggal bekerja di dapur…” jawabku menekan intonasi suara agar tetap stabil.
“Lepas saja, dan letak di situ. Anakku mau kerja itu, kamu sengaja ya? Biar suami kamu kena sanksi ke atasannya karena telat pergi kerja, Cuma gara-gara nunggu sarapan dari istri yang tidak tau di untung?!” ucap mertuaku terpaksa aku lepaskan anakku yang baru mulai tertidur dalam keadaan menyusu.
Ya Allah berilah aku kekuatan dan kelapangan hati menjalani semua cobaan kehidupan ini.
Hanya itu yang bisa aku katakan dalam hati untuk membuatku semakin tegar, menghadapi ibu mertua dan suamiku. Aku memang menantu di rumah ini, tapi mereka memperlakukanku layaknya musuh. Aku adalah wanita karier yang memilih menikah tapi tetap kerja, pertimbanganku banyak. Tapi hal itu sempat menjadikan boomerang untukku, ketika pernikahanku yang berjalan tiga tahun belum juga di karuniai anak.
Aku di anggap pembawa sial dan lain sebagainya, yang jelas kalimat tidak baik untuk di dengar. Dan ketika tiba-tiba aku mengandung, rasa bahagiaku setengah mati karena aku berfikir, mungkin selama ini ibu mertua dan suamiku rajin menyiksaku karena aku belum memiliki anak, sehingga mereka kecewa dan melampiaskan kekecewaannya dengan memakiku.
Nyatanya tidak, buktinya hari ini, setelah aku melahirkan cucu untuknya, mertuaku masih tetap kasar terhadapku.
“Kok lambat banget jadi orang! Buruan!” teriak ibu mertuaku justru kali ini membuat anakku terbangun terlebih ketika aku melepaskan air s**u dari bibir mungilnya.
“Bentar, ya Buk. Savana terbangun malahan, takutnya kalau di paksa malah nangis, Buk…” ucapku mencoba menego dengan ibu mertuaku berharap dia merelakan aku menyelesaikan aktivitasku menyusukan Savana putri kecilku yang baru aku lahirkan.
“Budeg banget kamu jadi orang. Tinggal letakin saja! Ngeyel, dasar mantu durhaka! Cepat sekarang turun! Atau mau kamu di cerai anakku, Hah?! Kamu pikir sulit apa cari mantu baru? Anakku itu PNS! Sudah pasti banyak yang antri meskipun duda!” ucapnya kasar kembali membuatku harus mengelus d**a.
Maafin Mama Sava sayang, Mama harus jahat sama kamu, Nak.
Bisikku lalu melepaskan bibir Savana yang sedang asyik menikmati air s**u. Dan gak perlu di tanya lagi, bayi mungil ku itu menangis sejadi-jadinya, tapi aku harus meninggalkannya di kamar sendirian, karena mertuaku pura-pura tidak dengar dengan suara tangis putriku, dia justru menatapku dengan tajam seolah ingin memakanku.
Setengah menangis aku terburu-buru menuruni tangga dan menuju dapur membuatkan sarapan pagi untuk suamiku. Karena pikiranku yang sedikit kacau, maklum aku adalah ibu baru yang bener-bener masih butuh di beri perhatian lebih. Seminggu melahirkan seharusnya aku di manja seperti Kakakku di perlakukan oleh suaminya. Tapi, namanya nasib orang pasti beda-beda. Dan aku tak ingin mengeluhkan kehidupan rumah tanggaku.
“Inna! Apa-apaan ini masakanmu, Asin!!”
Suara pecahan piring berserakan di lantai menambah kebisingan rumah ini, mulai dari tangis bayiku yang mungkin ketakutan atau kelaparan aku juga tidak memahami arti tangisan bayi.
“Maaf, Mas. Inna lagi gak fokus, Savana nangis Mas…” ujarku meminta pembelaan suami yang menikahiku lebih dari tiga tahun.
“Maaf, Maaf! Emang semua aman selesai dengan meminta maaf? Kamu semakin kesini semakin ngeselin jadi orang!” teriaknya membuat suasana semakin panas, dan mau tak mau aku mulai terpancing emosi. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi menanggapi apa yang di lontarkan suamiku.
“Mas! Seharusnya kamu itu ngerti, aku baru melahirkan, Mas. Baru seminggu, di tambah Savana nangis. Kamu juga bukannya bantu nemenin Savana malah mainin Hp di sini, kerja samalah Mas! Kita ini suami istri loh!” teriakku tak kalah kuat suaranya.
“Sudah, San. Kalau memang sudah gak kuat, ceraikan saja istrimu. Istri gak becus gini di pertahanin, apa yang mau kamu banggain coba!”
Suara sumbang ibu mertuaku yang menambah bumbu agar kobaran api pertengkaran rumag tangga semakin bergejolak.